MOJOK.CO – Musim bendera di bulan Agustus ingatkan fakta bahwa bendera Merah Putih Indonesia tidak unik. Tinggal dibalik, jadi bendera Polandia. Diubah dimensinya sedikit, jadi bendera Monako. Perlu ganti desain nggak nih?
Bulan Agustus dan bendera Merah Putih ibarat dua cermin yang tepat saling berhadap-hadapan. Hasilnya, satu sama lain saling memantulkan refleksi yang tiada terbatas. Disebut juga sebagai efek atau ilusi cermin infiniti. Saya menganalogikan demikian karena menurut saya, Agustus begitu identik dengan bendera Merah Putih. Di sisi lain, bendera Merah Putih sangat mengingatkan kepada bulan Agustus.
Agustus, festival Merah Putih
Pada Agustus, orang Indonesia akan melihat bendera Merah Putih lebih sering daripada bulan apa pun. Merah Putih tak hanya bertengger pada tiang tinggi di muka kantor-kantor pemerintah. RT-RT bisa dipastikan banyak yang memasangnya pada sejumlah titik di lorong-lorong perkampungan maupun kompleks perumahan, ditemani umbul-umbul serta gapura yang dipermolek. Dikomando maupun tidak, masing-masing keluarga lazim mengibarkannya pada tiang pendek di muka rumah mereka.
Memasang bendera Merah Putih juga harus tepat. Benderanya satu tiang penuh. Bagian warna merah harus dipastikan di atas, jangan sampai terbalik. Kalau sampai tak pasang Merah Putih, atau pasang dengan tidak proper, ya siap-siap saja digunjingkan tetangga hingga diomeli ketua RT.
Pun jika ketua RT wara-wara untuk pasang bendera Merah Putih, sebaiknya tak perlu nyeleneh dengan malah memasang bendera negara lain atau bendera klub bola favorit. Nanti urusannya malah jadi panjang. Soalnya yang ngingetin bisa jadi sudah bukan Pak RT. Siap-siap saja disambangi polisi maupun tentara dari polsek dan koramil terdekat, dalam urusan yang sama sekali tidak meningkatkan prospek untuk menjadi menantu mereka. Seperti kejadian di Depok, Jawa Barat ini. Belum lagi kalau dapat bonus di-bully warganet karena jadi contoh buruk tidak cinta bangsa dan negara.
Masih soal bulan Agustus, pedagang musiman penjual bendera juga muncul menjadi pemandangan di sejumlah tepi jalan raya. Termasuk dalam masa pandemi Covid-19 seperti sekarang, mereka tetap ada yang menggelar lapak. Ya, bagi orang Indonesia, penjual bendera pada Agustus adalah sama lazimnya dengan penjual terompet jelang Tahun Baru, pedagang hidangan takjil pada bulan Ramadan, juga penjual kambing jelang Hari Raya Kurban.
Identiknya Agustus dan Merah Putih bagi orang Indonesia tentu sudah sangat dipahami hal ihwalnya. Ini bertalian erat dengan keberanian serta keberhasilan para pendiri bangsa untuk menyatakan kemerdekaan negara ini, 76 tahun silam.
Soal rangkaian kejadian pada sekitar Agustus 1945, banyak orang Indonesia yang sanggup menyebut apa saja yang terjadi hari-hari itu. Tak cuma soal pembacaan Proklamasi Kemerdekaan oleh Sukarno-Hatta di rumah Jalan Pegangsaan 56 pada 17 Agustus jelang siang, atau penetapan UUD 1945 sebagai konstitusi negara pada esok harinya. Tak sedikit yang bisa menyebut soal “penculikan” ke Rengasdengklok yang dilakukan para pemuda terhadap Sukarno dan Hatta pada 16 Agustus. Bahkan, pasti ada juga yang dapat berkisah soal episode sowan ke Dalat pada 8-14 Agustus yang dilakukan Sukarno, Hatta, serta dr. Radjiman Wediodiningrat, menemui Marsekal Terauchi. Tentang semua kronologi tadi, “terima kasih” tentu patut diucapkan kepada pengajaran sejarah ala sekolah-sekolah di republik ini—yang bukan rahasia lagi cenderung obsesif mengidealkan siswa-siswi hafal tanggal dan tahun.
Soal Agustus 1945, orang Indonesia sudah dari kapan tahun melestarikan semacam humor kelam—yang entahlah bagaimana perasaan orang Jepang kalau mendengarnya. Pasalnya konten “guyonan” ironis turun-temurun itu berisikan semacam puji syukur bahwa Amerika Serikat mengirim bomber B-29 ke atas Hiroshima pada 6 Agustus dan Nagasaki pada 9 Agustus. Menjatuhkan Little Boy serta Fat Man sebagai dua malaikat maut yang langsung mencabut nyawa 129.000-226.000 manusia. Sering dibilang oleh orang sini bahwa pengebomatoman dua kota itu telah berjasa mempercepat merdekanya Indonesia.
Bendera Merah Putih kurang berciri khas
Bagi saya pribadi, begitu maraknya pengibaran bendera Merah Putih pada Agustus sekaligus mengingatkan pada satu fakta visual. Merah Putih-nya Indonesia itu sebagai bendera harus diakui kurang berciri khas.
Untuk orang-orang di luar Indonesia sana, terlebih bagi orang-orang Eropa, bendera Merah Putih Indonesia terasa seperti versi terbalik dari bendera putih merah Polandia. Belum lagi ada Monako yang secara pilihan warna dan pola benar-benar menyerupai Merah Putih-nya Indonesia. Berhubung saya bukan anak desain, jadi terus terang tidak sampai teliti membedakan merah dan putih di bendera Indonesia itu berapa tepatnya menurut hitungan RGB maupun CMYK. Di mata saya, bendera Indonesia dan Monako itu sama persis warna serta polanya.
Perbedaan yang masih tersedia dan mudah dikenali antara merah putih Indonesia dengan merah putih Monaco ya cuma soal dimensi. Merah Putih Indonesia memakai format 2 : 3 dalam hal lebar dan panjangnya; bendera Monako memakai format 4 : 5.
Soal siapa dari antara Indonesia atau Monako yang bisa menyebut diri negara paling layak menjadi negara berbendera merah putih, sepertinya urusan ini tidak bisa diselesaikan oleh buku karya Muhammad Yamin, 6.000 Tahun Sang Merah Putih. Sebab, dari kali pertama terbit pada 1958, belum ada yang sempat menerjemahkannya ke dalam bahasa Prancis, lalu mengirimkannya ke istana Dinasti Grimaldi sana. Padahal kalau penerjemahan karya penting Yamin tadi dilakukan, plus disambung dikirimkan ke Monako, pihak Dinasti Grimaldi bisa saja lho jadi sadar bahwa orang Nusantara sudah pakai ikon-ikon bernuansa merah dan putih sejak 5.000 tahun sebelum lahirnya Dinasti Grimaldi pada 1160, sehingga mereka mau mengganti bendera Monako dari merah putih jadi bendera berlambang Sirkuit Balap Monte Karlo, misalnya.
Saya sendiri sih aslinya tidak seberapa serius merujuk kepada 6.000 Tahun Sang Merah Putih manakala merunut akar kesejarahan bendera negara kita. Saya lebih percaya Merah Putih yang sekarang merupakan turunan bendera merah putihnya Indonesische Vereeniging (IV) alias Perhimpoenan Indonesia (PI), organisasi pergerakan para mahasiswa Indonesia di negeri Belanda pada paro pertama abad ke-20. Merah putih ala PI tepatnya memiliki tambahan ikon berupa kepala kerbau pada tengah bendera. Merah putih ala PI tadi contohnya menghiasi gedenkboek alias buku peringatan ulang tahun mereka yang ke-15 pada 1923.
Sejak kapan Merah Putih jadi warna Indonesia?
Yang paling awal dan ada buktinya muncul di kulit buku kenangan Indonesische Vereeniging di negeri Belanda, 1924 – ada kepala banteng di tengahnya.
Merah putih pun berkibar saat Kongres Pemuda 1928, dg dua sayap garuda di tengahnya. https://t.co/kgraCHpPTZ pic.twitter.com/T6AoOQoHb1
— Potret Lawas (@potretlawas) August 14, 2019
Melihat merah putih berkepala kerbau ala PI, saya merasa bahwa keberadaan tambahan ikon pada lembaran bendera sebenarnya bisa memberi suatu ciri khas yang signifikan. Mungkin sekian tahun ke depan, Indonesia tertarik untuk menyegarkan desain bendera nasionalnya menjadi lebih berciri khas dengan menambahkan ikon tertentu tepat di tengah desain pola warna dasar Merah Putih yang ada sekarang.
Toh, penyegaran desain bendera nasional yang sifatnya perubahan kecil hingga yang malah perubahan drastis bukanlah hal yang benar-benar aneh bagi negara-negara di dunia. Britania Raya, Prancis, Amerika Serikat, Tiongkok, Jerman, dan Afrika Selatan ialah beberapa negara yang punya pengalaman, bahkan ada yang sampai beberapa kali, mengubah desain bendera resmi. Kalau negara-negara itu bisa melakukan hal semacam tadi, mengapa Indonesia harus menutup diri dari kemungkinan melakukan hal yang sama? Ya, contohnya dengan perubahan bersifat minor: menambahkan ikon pada desain bendera yang sudah dipakai selama ini.
Namun, untuk ikon yang ditambahkan ke bendera Merah Putih Indonesia, saya tentu tidak menyarankan kepala kerbau. Takutnya malah kelihatan kayak logo perusahaan abon atau rambak krecek.
Tentu ikon yang saya bayangkan paling pas ditambahkan ke dalam desain bendera Merah Putih adalah lambang Garuda Pancasila. Kalau bukan itu, perisai Pancasila patut pula dipertimbangkan.
Jika penyegaran desain bendera nasional malah berani merambah kepada pola warna yang digunakan pada bidang bendera, Indonesia bisa memertimbangkan pola warna yang dipakai oleh TNI AL untuk ular-ular perang di kapal-kapal mereka, yakni 5 setrip merah horizontal berpadu dengan 4 setrip putih yang juga horizontal. Konon, bendera Majapahit juga macam itu bentuknya.
Pola warna lain yang patut pula dipertimbangkan adalah yang ada di lambang Pelni. Itu tepatnya berupa bidang bendera yang dibagi menjadi empat kotak persegi panjang merah putih.
Apa pun pola warna yang dipakai, apakah tetap pakai pola dua bidang besar atas-bawah seperti sekarang, atau ala ular-ular perang TNI AL, atau ala empat kotak gaya Pelni, dan seterusnya, hal-hal yang paling dapat menghadirkan ciri khas kepada bendera Indonesia adalah penambahan ikon di tengah bendera, berupa Garuda Pancasila atau perisai Pancasila.
Nah, soal membuka kemungkinan menyegarkan desain bendera nasional suatu saat kelak, aslinya pada setuju nggak sih?
BACA JUGA Kemerdekaan Indonesia Lahir dari Hoax dan esai Yosef Kelik lainnya.