MOJOK.CO – Kalau percaya sains kayak belajar teori evolusi, kenapa iman saya dipertanyakan? Sains dengan agama kan tak harus love-hate-relationship gitu.
Ketika Redaktur Mojok, Ahmad Khadafi, dengan bedebah mengirim pesan pendek, “Besok kan Jumat, mbok sesekali nulis tentang agama, Cak,” saya langsung ingin memaki pelan dalam hati.
Bukan apa-apa, karena saya ini ndak ada potongan agamis-agamis gitu. Pengetahuan Islam saya cethek, jangankan baca Arab gundul, bisa bahasa Arab aja nggak.
Tapi, baiklah. Menarik juga nulis tentang Islam, sesuatu yang tak pernah saya lakukan sebelumnya. Tapi, ya tetap saja nggak bisa jauh-jauh dari filsafat. Bidang yang familiar dengan saya.
Yah, setidaknya, saya pernah satu gedung fakultas dengan Pak Kepala Suku Puthut EA lah, di Fakultas Filsafat (meski bukan termasuk mahasiswa yang paling cemerlang juga, hehe).
Bicara soal Islam, saya langsung teringat perdebatan canggih tentang sains dan agama antara Goenawan Mohammad, Taufiqurrahman (adik kelas saya yang tergolong cemerlang menurut saya), Ulil Abshar Abdalla (yang jelas-jelas kompeten banget bicara soal Islam), dan sejumlah orang pintar lainnya.
Mereka dengan canggih—terutama Taufiqurrahman—mampu mengartikulasikan pandangan-pandangannya soal relasi antara sains dengan agama.
Sayangnya dalam perdebatan mengenai itu, banyak pembahasan yang “terlalu tinggi”. Hal yang membuat pertanyaan lugas seperti, “bisakah kita beriman sekaligus menjadi ilmuwan yang patuh pada kaidah sains?” jadi tak terjawab dengan asyik.
Inilah yang bikin saya sempat bingung. “Kalau saya percaya sains, apa keimanan saya berkurang? Kalau saya percaya agama, sains kok rasanya juga nggak kalah benar ya?”
Seperti pernyataan Richard Dawkins, seorang biolog evolusioner, yang dengan tegas menyatakan bahwa: Tidak mungkin seorang saintis (dalam konteks teori evolusi) yang bisa percaya Tuhan jika menelaah teori evolusi dengan baik.
Sebaliknya, seorang mubalig AS bernama Nuh Ha Mim Keller, mengatakan bahwa percaya teori evolusi sama dengan kufur. Hal-hal ini akan membawa masyarakat ke sebuah pilihan biner. Pilih mana; agama atau sains?
Sebelum ke pilihan itu, lebih asyik kalau kita breakdown dulu, apa itu Sains?
Sejauh ini, definisi sains masih menjadi masalah yang tricky. Dan makin menjadi perdebatan setelah tiga hal, pada 1935 Karl Popper menambah satu lagi daftar kriteria sesuatu dianggap saintifik dengan: falsifikasi, munculnya komputer, dan hiperspesialiasi pada bidang disiplin sains.
Dengan falsifikasinya, Popper bahkan menganggap bahwa teori psikoanalisis Freud (dan teori psikologi sesudahnya) tidak saintifik. Karena, ia bisa dengan mudah menerima dan menjelaskan dua hal yang bertolak belakang.
Beda dengan teori relativitas umum Einstein yang terbukti ketika Sir Arthur Eddington membuktikan adanya pembelokan cahaya di sekitar Merkurius pada 1917 seperti yang diramalkan dari teori Einstein. Artinya, teori Einstein mempunyai sifat terfalsifikasi (prediksi yang bisa benar atau salah melalui pembuktian, lain dengan teori psikoanalisa Freud).
Atau sebut saja, mengenai fisika teoritis. Yang mengandalkan semuanya dari komputer. Artinya, kriteria dan definisi sains menjadi sangat fleksibel.
Tentu saja, masih ada batas-batasnya. Seperti ilmu horoskop bintang misalnya. Tak seorang pun yang sepakat bahwa ia saintifik. Karena prediksi yang diucapkannya tidak spesifik, tidak sederhana, tidak ada penjelasan dari cakupan riset, dan—tentu saja—tidak bisa difalsifikasi.
Tapi, apa pun, sains telah membuktikan bahwa ia mempunyai kepastian parameter dan menjadi daya yang meningkatkan peradaban manusia. Sesuatu yang tidak bisa dipungkiri.
Di sinilah kemudian muncul ketegangan dengan agama (baca: agama Ibrahim). Terutama pada satu teori yang langsung bertabrakan, yakni teori evolusi.
Teori ini bukan hanya menjadi kontroversi bagi kaum religius, namun banyak juga yang menolak dari kalangan sekuler, karena teori dianggap masih bermasalah secara saintifik.
Teori evolusi
Teori evolusi menyatakan bahwa setiap entitas biologis, termasuk manusia, terhubung secara historis dalam bingkai silsilah kehidupan. Ringkasnya; manusia adalah hasil evolusi dari spesies sebelumnya dan bukan berasal dari simsalabim njedul begitu saja.
Konsekuensinya, Adam dan Hawa, yang dianggap sebagai manusia pertama, melalui teori ini bakal dianggap punya orang tua.
Di sinilah titik ketegangan itu muncul. Dan ini memunculkan banyak reaksi, sayangnya yang paling mayoritas adalah mengambil pilihan biner (apakah yang benar agama atau teori evolusi?).
Beberapa memilih menolak atau meragukan teori evolusi karena memilih narasi penciptaan ajaran agama. Bagi kalangan Muslim, ada yang mulai merasa sains lebih dapat memberi jawaban dan mulai meninggalkan komitmennya ke Islam.
Beberapa mempertahankan identitas Muslim, dan kemudian sekadar membantah atau menolak teori evolusi (dan kerap dilakukan secara lucu, seperti yang dilakukan oleh Harun Yahya atau Zakir Naik). Sedangkan beberapa yang lain masih berusaha mendamaikannya.
Celakanya, terutama bagi umat Islam, teori evolusi muncul baru pada abad ke-19, dan karena terbiasa merujuk pada ulama-ulama masa kejayaan Islam di abad pertengahan, maka referensi tentang pembahasan Islam dengan teori evolusi pun terbilang minim.
Selain itu, miskonsepsi tentang evolusi pun telah menjadi budaya populer dengan penggambaran ikonik: deretan sosok mulai dari kera sampai jadi manusia. Gambaran yang tidak sepenuhnya tepat, dan hanya akan menambah sensitivitas orang: banyak orang yang tidak enak menerima gagasan bahwa nenek moyangnya adalah kera.
Evolusi sendiri sebagai sebuah teori mempunyai preposisi yang banyak. Meski pencetusnya, Charles Darwin sendiri mendefinisikannya dengan sederhana, yakni “berketurunan dengan modifikasi” lewat sejumlah aspek.
Belum lagi dengan kenyataan bahwa teori evolusi juga sempat “berevolusi” menjadi Neo-Darwinisme, yang kini dianggap sebagai teori evolusi kekinian yang mempunyai tiga konsep inti:
Deep Time, yakni evolusi sampai muncul keragaman hayati membutuhkan periode sangat panjang. Karena terjadi gradual.
Nenek Moyang Bersama, yakni semua entitas hidup terhubung ke satu entitas biologi bersama.
Mekanika Penyebab, yakni mutasi acak dan seleksi alam.
Nah, kebanyakan para penolak teori evolusi sama sekali tidak tahu mengenai preposisi ini. Mereka hanya sekilas berasumsi bahwa “manusia berasal dari kera,” atau, “Wah, Adam nggak ada dalam posisi ini, nggak sesuai kitab suci.”
Atau ini yang paling sering ditolak, yakni tentang mutasi acak. Di mana, jika ada yang melenceng sedikit saja dari jalur evolusi, bisa jadi manusia tidak akan ada di Bumi. Seperti kata Stephen Jay Gould: “Andai saja pita kaset kehidupan diputar ulang, belum tentu manusia bisa ada.”
Konsep ini lah yang bahkan kaum sekuler saja tidak menyukai ide bahwa manusia itu hasil dari mekanisme untung-untungan. Mereka sampai mempunyai gerakan sendiri, dan menamakannya Intelligence Design (ID), dan mengklaim bahwa konsep mereka lah alternatif saintifik untuk meruntuhkan teori evolusi.
Mereka ini mendasarkan bahwa tidak mungkin sebuah makhluk kompleks dihasilkan dari evolusi satu per satu.
Secara statistik nyaris tidak mungkin. Kalau dianalogikan ini seperti berharap ada topan melanda tempat pembuangan barang bekas di salah satu sudut planet ini, dan kemudian barang bekas itu secara kebetulan berkumpul lalu menghasilkan sebuah pesawat 747 terbentuk karenanya.
Tapi, bagaimanapun, teori evolusi adalah salah satu teori yang paling terbukti kebenarannya hingga saat ini. Bukti-bukti saintifik membuktikannya.
Respons muslim
Sampai saat ini, pandangan masyarakat banyak yang mengiyakan posisi biner yang tercipta dari perdebatan mengenai agama dan sains. Padahal, dalam kasus teori evolusi, respons para pemikir Islam tidak seragam.
Meski celakanya, yang paling tenar responsnya adalah dari Harun Yahya, seorang pembela Islam asal Turki yang kini masuk bui gara-gara kasus penipuan dan kasus seksual. Doi sempat tenar di Indonesia dengan serangkaian video-nya yang (terlihat) argumentatif dan ilmiah –karena belakangan diketahui, dia banyak mengutip argumentasi dari kaum ID.
Atau dari Zakir Naik, pendakwah kontroversial yang terkenal, dan kerap mengatakan, “Ah itu hanya teori.”
Padahal, apa yang dimaksud “teori” bagi Zakir Naik dan bagi kalangan saintis itu berbeda makna. Di mana, “teori” yang dimaksud Zakir Naik terasa semacam, “ah, itu hanya dugaan omong kosong.”
Di sisi lain, para pemikir Islam lainnya banyak yang melakukan apa yang seharusnya dilakukan. Mempelajari tentang teori evolusi, dan kemudian jika menolak, tahu apa yang harus ditolak.
Jika dipertanyakan kepada anda (yang menolak), maka apa yang sebenarnya ditolak? Tentang depp time-nya kah? Tentang Nenek Moyang Bersama-kah? Atau mekanikanya kah (mutasi acak atau seleksi alam)? Harus jelas dulu.
Namun, jika mau menelaah ada banyak pemikir Islam yang sangat serius melakukan penafsiran. Dan spektrum responsnya ternyata sangat banyak. Tidak hanya sekadar kreasionis (penciptaan, seperti yang dianggap sebagai mainstream dan menolak teori evolusi) saja, tapi setidaknya ada tiga lagi yang saya temukan.
Tiga aliran lain tersebut pada dasarnya menerima teori evolusi. Ada yang menerima teori evolusi, kecuali evolusi manusia. Kemudian, ada yang menerima teori evolusi termasuk teori evolusi manusia, kecuali Adam saja. Dan yang terakhir, bahkan ada yang menerima semuanya tanpa perkecualian. Semuanya berdasarkan pada pembacaan teks Al-Quran.
Hah? Yang benar? Kan ada banyak nash Al-Quran yang menyebut tentang penciptaan Adam secara literal, bagaimana bisa? Ya, semuanya kembali ke pembacaan.
Terlalu banyak untuk dituliskan di sini argumentasinya (karena tulisan ini saja sudah panjang), tapi dengan menggunakan metode metafisika dan hermeneutis (penafsiran makna) maka seharusnya bisa.
Sebagai contoh, ada yang namanya tawaqquf teologis, yakni menunda keyakinan karena belum ada kepastian karena posisi epistemologis yang belum diketahui. Misalnya, soal dinosaurus.
Tidak ada nash Islam yang menyatakan menerima atau menolak keberadaan dinosaurus, jadi seseorang tidak bisa melakukan argumentasi menentang dinosaurus berdasarkan ayat Al-Quran.
Maka, berargumentasi menentang atau menerima soal dinosaurus berdasarkan naskah dilarang dan berdosa (haram) karena mengklaim sesuatu atas dasar nama Tuhan, padahal Tuhan sama sekali tidak pernah menyatakannya.
Untuk membuat masalah ini menjadi jernih, adalah dilarang dan berdosa untuk menyebut Islam menolak dinosaurus. Juga dilarang dan berdosa untuk mengatakan percaya kepada Dinosaurus wajib dalam Islam. Keduanya sama-sama tidak dijamin teks.
Dinosaurus adalah salah satu contoh, namun orang bisa mengaitkannya ke banyak hal, termasuk dalam evolusi. Toh, tidak ada satu pun naskah Islam yang melarang percaya kepada deep time, seleksi alam, mutasi acak genetika, atau pun Nenek Moyang Bersama (maksudnya makhluk bersel tunggal yang menjadi makhluk hidup pertama di Bumi).
Bagaimana soal Adam? Bagi yang menerima evolusi dengan perkecualian Adam, mereka menerima teori evolusi dan sudah ada hominid (makhluk berdiri tegak), dan kemudian Tuhan tinggal menciptakan Adam sesuai fitur makhluk yang sudah ada sebelumnya dengan modifikasi penyempurnaan, dan voila, sama sekali tidak ada masalah apa pun secara teoritis.
Meski argumentasi ini dianggap “menyelundupkan Adam lewat jalan belakang”, namun sains sendiri tidak pernah (dan tidak bisa) membuktikan bahwa teori ini salah.
Atau Shoaib Ahmed Malik, seorang Asisten Profesor di Natural Sciences di Zayed University, Dubai, yang bisa menerima evolusi dengan konsep metafisika dan hermeneutic-nya Al-Ghazali.
Jadi, jawaban apakah bisa menjadi seorang ilmuwan (biolog evolusioner) sembari tetap beriman? Jawabannya, untuk saat ini bisa.
Tapi, poin yang saya tekankan di sini adalah untuk mau mempelajari terlebih dulu. Jangan-jangan, sebenarnya kerengan-nya sains sama agama itu sebenarnya nggak perlu, dan bisa berjalan seiringan. Asalkan mau belajar dan nggak kesusu ambil sikap.
Nggak perlu ambil sikap ekstrem seperti, “jangan percaya evolusi, nanti kafir. Soalnya evolusi mengesampingkan Tuhan dan materialisme”.
Lah, situ naik sepeda motor, yang prinsip kerjanya begitu materialis dan tidak perlu ada pemahaman unsur ke-Tuhan-an di dalam putaran mesin motor, ya nggak kafir kan?
Atau kesusu bilang, “sains nggak akan kompatibel dengan agama, karena pasti musuhi.” Lho? Jangan-jangan yang bilang gitu memang nggak pernah baca naskah agama selama ini?
BACA JUGA Jangan Pertentangkan Agama dan Sains! atau tulisan Kardono Setyorakhmadi lainnya.