Batu pun Enggan Jadi Manusia - Mojok.co
  • Kirim Artikel
  • Terminal
Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Kilas
    • Susul
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Podcast
No Result
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Kilas
    • Susul
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Podcast
No Result
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
No Result
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Podcast
Home Esai

Batu pun Enggan Jadi Manusia

Rusdi Mathari oleh Rusdi Mathari
28 Juni 2016
0
A A
Batu pun Enggan Jadi Manusia

Batu pun Enggan Jadi Manusia

Bagikan ke FacebookBagikan ke TwitterBagikan ke WhatsApp

Gus Mut harus pulang ke kampungnya di Jawa Timur. Dia akan berlebaran di sana dan akan mengabarkan pada keluarga di sana bahwa Romlah, istri Nody, kakaknya, akan melahirkan menjelang Lebaran. Malam, sehabis tarawaih, dia berpamitan pada Pak RT, Pak Lurah, Warkono, Busairi dan yang lainnya. Selama tinggal hampir tiga minggu, Gus Mut memang mengenal banyak orang warga kampung. Sebagian malah sudah akrab dengan Gus Mut.

Paginya, selepas subuh, dia berpamitan dengan Mat Piti, Romlah dan Nody, dan Cak Dlahom. “Saya pamit Cak…”

Gus Mut mengulurkan tangan meraih tangan Cak Dlahom.

“Salam kagem ibu-bapak dan semua sanak di sana.”

“Saya masih boleh kan, Cak, ke mari lagi?”

Baca Juga:

Hikmah Puasa yang Sebesar-besarnya 

Cerita Mudik dan Mitos Cewek Nggak Bisa Ngerawat Motor

Para Pencari Takjil dan yang Menyebalkan dari Bukber

“Siapa yang bisa melarang orang punya kehendak, Gus?”

“Terima kasih, Cak…”

Gus Mut sumringah. Dia datang ke kampung itu dengan niat hendak bertemu dengan kakaknya dan untuk melihat kondisi kandungan iparnya tapi kemudian mengenal banyak orang dan dia disambut dengan tangan terbuka. Dia betah tapi harus pulang untuk menemani orang tuanya berlebaran di kampung.

“Sudah siap berangkat ,Gus?”

Terdengar suara Mat Piti. Dia kuatir Gus Mut akan kesiangan sehingga sampai ke kota menjelang sore dan tidak ada lagi bus yang akan mengangkutnya. Kampung tempat tinggal Cak Dlahom dan Mat Piti memang berjarak cukup jauh dari kota. Dari kota, kampung itu bisa dicapai dengan menumpang angkot dua kali dan naik ojek sekali. Melintasi perbukitan, sawah dan hutan.

Dulu ketika tidak ada angkot dan ojek, orang-orang di kampung jarang pergi ke kota. Mereka mencukupi semua kebutuhan dari kampung. Tak ada sabun. Tak deterjen. Atau kalau mereka pergi ke kota, mereka akan berjalan kaki sehari penuh. Menginap di masjid kecamatan, lalu meneruskan berjalan kaki setengah hari ke kota.

“Gus Mut mau berangkat, Cak.”

“Iya aku tahu, Mat. Aku akan mengantarnya.”

“Sampean mau mengantar ke mana?”

“Ke perbatasan desa saja…”

Cak Dlahom segera berdiri. Gus Mut ikut berdiri. Mat Piti dan Nody dan beberapa orang yang menunggu di teras rumah Mat Piti juga bersiap mengantar Gus Mut. Di tengah jalan yang berbatu dan berdebu, yang menjauh dari pinggir kampung, beberapa orang sibuk menanyai Gus Mut. Hingga mereka mulai menapaki jalan yang menuju ke hutan kampung di sebelah sungai yang cukup besar, mereka tidak menyadari keberadaan Cak Dlahom.

Sejak dari rumah Mat Piti, dia memang berjalan paling belakang sambil seperti biasanya, cekikikan sendirian. “Loh Cak Dlahom mana?” seseorang berteriak ketika menyadari ketiadaan Cak Dlahom.

Orang-orang berhenti berjalan. Mat Piti segera berlari kecil ke belakang. Gus Mut dan Nody mengikutinya. Orang-orang akhirnya juga mengikuti. Mereka menemukan Cak Dlahom kira-kira 500 meter dari tempat mereka berhenti. Duduk bersila di depan batu besar di pinggir kali.

“Waduh, Cak, sampean tak kira ke mana?” Mat Piti menegur Cak Dlahom.

“Aku di sini, Mat.”

“Ya saya tahu, tapi kita kan mau mengantar Gus Mut?”

“Iya aku tahu. Aku juga mau mengantarnya.”

“Lah terus kenapa sampean berhenti di sini? Masih jauh loh, Cak.”

“Aku diberhentkan oleh batu ini, Mat.”

“Oalah, Cak, batu itu kan sudah ada sejak dulu.”

Batu besar yang ditunjuk Cak Dlahom adalah batu yang terkenal di kampung. Batu kali besar berwarna hitam pekat. Ukurannya lebih besar dari gubuk yang pernah ditinggali Cak Dlahom. Posisinya berada setengah di kali, setengah di jalan. Orang-orang kampung menyebutnya sebagai batu setengah.

“Aku tahu, Mat, batu ini sudah ada sejak dulu…”

“Lah, iya, terus kenapa sampean berdiri di situ?”

“Batu itu yang minta aku berhenti.”

“Sampean itu loh gitu terus… Batu ya batu, Cak, masak bisa ngomong?”

Cak Dlahom diam. Selama berbicara dengan Mat Piti, dia tak menoleh ke arah Mat Piti dan orang-orang yang mengelilinginya. Pandangannya terus ke batu . Gus Mut yang penasaran memberanikan bertanya.

“Apa kata batu itu, Cak?”

Cak Dlahom menoleh pada Gus Mut. Dia tersenyum. Senyum Cak Dlahom paling manis yang pernah dilihat Gus Mut.

“Batu ini tadi bertanya, aku hendak ke mana. Aku menjawab, hendak mengantarmu pulang.”

“Terus, Cak?” Busairi, penjaga masjid mulai berani bertanya.

“Batu itu menjawab, enak jadi manusia. Bisa jalan-jalan. Sementara dia hanya terus terpantek, menjaga sungai.”

“Sampean lalu jawab apa, Cak?” Warkono, rekan Busairi di masjid, yang mendengar Busairi berani bertanya, ikut-ikutan bertanya.

“Ya aku jawab, ‘ya jadilah kamu manusia batu’, tapi ia tak mau. Kata batu, ‘Maafkan aku manusia, aku tak mampu jadi manusia. Aku tak sanggup. Aku memang batu, tapi aku kalah keras dibanding hatimu’.”

Mendadak suasana menjadi sepi. Tak ada lagi orang yang bertanya. Cak Dlahom yang semula mesam-mesem juga mulai terlihat dengan wajah serius. Satu-dua buliran air tampak keluar dari sudut-sudut di matanya. Dia terisak.

“Aku malu sama batu ini, Mat. Dia setia jadi batu. Menjaga amanat Allah di pinggir kali. Sementara aku…”

“Lah iya masak batu harus jadi manusia, Cak?”

“Memang tidak mungkin, Mat. Karena itu, aku bilang batu ini setia. Konsisten. Istikamah sebagai batu. Justru manusia yang tidak konsisten, karena bahkan hatinya kemudian mereka ubah menjadi batu. Menjadi keras.”

“Keras gimana, Cak?”

“Ya keras, Mat. Dan kerasnya hati manusia bisa lebih keras dari kerasnya batu.”

Cak Dlahom masih terus terisak. Gus Mut mencoba bertanya.

“Kenapa hati manusia bisa jadi keras, Cak?”

“Karena sering berdusta dan tidak amanat. Pendendam dan jarang meminta maaf. Dengki dan kikir.”

Cak Dlahom masih terus terisak. Mat Piti berinisiatif menyuruh orang-orang agar segera mengantar Gus Mut sementara dia akan menemani Cak Dlahom, tapi Gus Mut menolak. Dia bahkan setuju untuk tidak pulang kampung. Orang-orang juga setuju.

“Maaf, Gus, aku merepotkanmu…” kata Cak Dlahom.

“Tidak, Cak, saya yang merepotkan. Saya minta maaf.”

“Aku hanya bisa memberimu ini…”

Cak Dlahom memberikan batu kecil pada Gus Mut. Orang-orang yang melihat agak sedikit kaget tapi Gus Mut menerima batu itu dan mengantonginya.

“Mudah-mudahan kamu selalu ingat, bahwa bahkan batu tak sanggup jadi manusia karena merasa kalah keras dibanding hati manusia.”

Hari itu, Gus Mut tak jadi berangkat pulang kampung. Dia dan orang-orang kampung yang hendak mengantarnya, pagi itu malah ikut duduk bersila di dekat Cak Dlahom. Mereka memandangi batu batu yang posisinya berada setengah di kali, setengah di jalan. Batu hitam itu memang sungguh besar.

Terakhir diperbarui pada 6 November 2018 oleh

Tags: batuCak DlahommanusiaRamadan
Rusdi Mathari

Rusdi Mathari

Artikel Terkait

Mr Assaat puasa

Hikmah Puasa yang Sebesar-besarnya 

1 Mei 2022
cerita mudik dan mitos cewek nggak bisa ngerawat motor - oalah

Cerita Mudik dan Mitos Cewek Nggak Bisa Ngerawat Motor

22 April 2022
Para Pencari Takjil dan yang Menyebalkan dari Bukber

Para Pencari Takjil dan yang Menyebalkan dari Bukber

15 April 2022
Gus Miko Cakcoy: Wayang, Sebuah Seni untuk Ngaji

Gus Miko Cakcoy: Wayang, Sebuah Seni untuk Ngaji

11 April 2022
Ramadan, Mokah, dan Menyebalkannya Bukber

Ramadan, Mokah, dan Menyebalkannya Bukber

8 April 2022
Sentra Pigura Sagan, Bingkai Kenangan di Tikungan Jalan yang Berharap Pada Ramadan

Sentra Pigura Sagan, Bingkai Kenangan di Tikungan Jalan yang Berharap Pada Ramadan

2 April 2022
Pos Selanjutnya
Menuntaskan Rindu di Kampung yang Ada Halamannya

Menuntaskan Rindu di Kampung yang Ada Halamannya

Komentar post

Terpopuler Sepekan

Batu pun Enggan Jadi Manusia

Batu pun Enggan Jadi Manusia

28 Juni 2016
Sinar Mandiri melaju di Pantura MOJOK.CO

Melintasi Pantura Bersama Roda Lusuh Bus Sinar Mandiri

21 Mei 2022
makam raja-raja imogiri mojok.co

Mengenang Kebesaran Raja-raja Jawa di Pajimatan

18 Mei 2022
mie ayam om karman mojok.co

Mie Ayam Om Karman, Filosofi Meja Terisi, dan Semangat Perantau Wonogiri

22 Mei 2022
Rahasia Mie Gacoan MOJOK.Co

Rahasia Mie Gacoan Jadi Jagoan Mie Pedas di Jawa dan Bali

20 Mei 2022
Jarang Pulang ke Rumah karena Gampang Mabuk Perjalanan

Ringkasan Cerita ‘KKN di Desa Penari’ buat Para Pemalas dan Penakut

29 Agustus 2019
mie ayam pak kliwon mojok.co

Mie Ayam Pak Kliwon, Kesayangan Anak Teladan

15 Mei 2022

Terbaru

Ganjar Pranowo

Muncul Sinyalemen Dukungan dari Jokowi, Ganjar Pranowo Nggak Mau Kegeeran

23 Mei 2022
Affandi dalam Pusaran bulan Mei dan PKI

Affandi dalam Pusaran Bulan Mei dan PKI

23 Mei 2022
budi karya sumadi mojok.co

Berhasil Merajut Transportasi Nusantara, Menhub Dianugerahi Gelar Doktor Hc dari UGM

23 Mei 2022
sultan mojok.co

Sultan Lantik Pj Walikota Jogja dan Pj Bupati Kulon Progo

22 Mei 2022
PSS Sleman

46 Tahun PSS Sleman: Masuk Dunia Metaverse tapi Manajemen Masih Lelet 

22 Mei 2022

Newsletter Mojok

* indicates required

  • Tentang
  • Kru Mojok
  • Disclaimer
  • Kontak
  • Pedoman Media Siber
DMCA.com Protection Status

© 2022 MOJOK.CO - All Rights Reserved.

No Result
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Kilas
    • Susul
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Podcast
  • Mau Kirim Artikel?
  • Kunjungi Terminal

© 2022 MOJOK.CO - All Rights Reserved.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In