MOJOK.CO – Menggunakan ayat atau hadis untuk menawarkan barang dagangan rasanya sah-sah saja asal berhati-hati dan konteksnya tepat. Jangan salah.
Saya baru tahu bahwa Ust. Arifin Ilham berjualan madu. Kalau paket akikah, sih, sudah lama saya dengar. Beberapa teman pernah pesan soalnya. Nah, kalau soal madu ini, saya baru dengar kemarin dari sebuah radio. Merk madunya kalau tak salah “az-Zikra”.
Pagi itu, terdengar suara serak Ust. Arifin mengiklankan barang dagangan miliknya. Dia mengutip ayat lalu menjelaskan, “Madu di dalamnya terdapat obat bagi manusia… 10 persen pembelian diinfakkan untuk pesantren… insya Allah barakah….”
Iklan di situsnya lebih heboh lagi. Dalam video berdurasi 5.37 menit itu, ulasan Ust. Arifin lebih panjang. Ia mengutip ayat Alquran dan hadis, menceritakan kesukaan Nabi terhadap madu serta menyandingkan antara zikir dan madu. Untuk menguatkan pesan, Ust. Arifin mengatakan bahwa menyukai madu sama dengan menyenangi perintah Allah. “Maka saat kita minum madu berarti kita taat kepada Allah.”
Menit berikutnya video menayangkan puluhan orang berebut membeli barang dagangan miliknya. Beberapa orang di-close up untuk memberikan testimoni. Di akhir video kembali Ust. Arifin muncul dengan penawaran terakhir, “Arifin ingin semua bernilai ibadah, setiap usaha jadi ibadah, minum madu pun jadi ibadah.” Betapa indahnya. Ini pasti membuat orang-orang merasa megah.
Tiba-tiba saya teringat Siti Maryamah. Saya memfollow FB-nya atas rekomendasi seorang teman. Lucu, katanya. Benar, Mbak Siti tidak hanya lucu, tapi juga cerdas berjualan madu. Betapa berbeda iklan antara ustaz dan bukan ustaz. Di tangan Mbak Siti madu adalah produk biasa. Sama sekali tak ada aroma surgawi. Urusan minum madu adalah soal selera dan isi dompet. Kalau berminat ya monggo. Tidak ada urusan dengan ketaatan kepada Tuhan.
Mbak Siti rajin beriklan. Dia menjelaskan jenis madu, sarang, vegetasi, aroma, rasa, khasiat, bahkan nama hunter-nya. Kurang apa coba? Mbak Siti juga bermurah hati membagikan tips, menyisipkan artikel atau tautan. Katanya untuk memberi edukasi perihal permaduan. Saya tahu itu sok-sokan Mbak Siti saja, seperti ketika dia menyebut empowering segala. Mbak Siti tidak mengutip ayat atau hadis.
Menggunakan ayat atau hadis untuk menawarkan barang dagangan rasanya sah-sah saja asal berhati-hati dan konteksnya tepat. Saya pernah dengar cerita, ada seorang yang bersemangat menyeru untuk bertani. Katanya, bertani adalah profesi mulia sebab diperintahkan dalam Al-quran. Dia lalu menyebut ayat, nisaukum hartsun lakum, fa`tu hartsakum… Istri-istrimu adalah ladang bagimu, maka datangilah ladangmu….
Saya berharap cerita itu hanya kelakar. Sebab kalau benar pernah terjadi, maka itu adalah contoh yang konyol tentang bagaimana orang menarik kesimpulan. Saya percaya Ust. Arifin tidak begitu dan tidak akan begitu. Dalam iklannya beliau hanya sedang menjalankan teknik pemasaran dagangan, seperti foto pada kemasan produknya yang cocok sebagai cover buku tentang doa. Sayangnya, menurut saya lho ya, caranya berlebihan dan gegabah.
Mungkin iklan dagangan memang harus berlebihan. Mencuci pakaian sambil cengar-cengir menikmati aroma detergen pasti hanya ada dalam iklan. Bahasa iklan harus efektif agar bisa jadi virus bagi akal budi. Virus itulah yang memprogram kesadaran orang lain untuk berpikir dan bertindak sesuai dengan dikatakan pengiklan. Dan kita tahu bahwa term-term agama terbukti ampuh untuk memencet tombol-tombol psikologis, apalagi jika dibawakan oleh tokoh kharismatik.
Promosi berlebihan itu tampaknya berhasil. Gagasan bahwa madu adalah mukjizat, bukti ketaatan kepada Tuhan, hingga melaksanakan sunah Rasul, membuat bergalon-galon madu terjual dan tersebar ke pelosok negeri. Tapi gagasan tersebut bukan tanpa risiko.
Pertama, gagasan itu berpotensi diperlakukan sebagai kebenaran relijius. Akibatnya, orang tak perlu paham mengapa harus memerlukan sebuah barang; mengapa madu bisa menjadi obat? Madu yang bagaimana yang bisa menjadi obat? Tapi masak iya sih, minum madu (bahkan yang sasetan?) berarti kita taat kepada Allah? Terpujilah kau wahai para hunter, penjual madu, dan para agen.
Kedua, mungkin ini karena saya lagi baper, tapi rasanya kesimpulan tersebut mengandung tuduhan. Bagaimana dengan orang-orang yang tidak menyukai madu tapi justru jatuh cinta pada kopi, lebih-lebih sampai buka warung kopi, bukannya warung madu, apakah mereka termasuk para pendurhaka? Nah, kan?!
Betapa dahsyat iklan para ustad. Potensi itu tak luput dari pengawasan para pemilik modal. Mereka orang-orang yang tanggap dan punya sedikit unggah-ungguh. Para ustad diminta memasarkan dagangannya. Mungkin dipikir selama ini para ustad juga berperan sebagai sales hanya saja untuk komoditas berbeda, jadi apa salahnya dititipi dagangan yang lebih konkret, toh tidak gratis.
Lalu seperti kita lihat, beberapa ustad/ustadzah akhirnya nyambi sebagai brand endorser sebuah produk. Mulai biskuit anak-anak, madu, minuman berenergi, larutan penyegar, sirup, pulsa, helm, hingga busana ditawarkan dengan jasa ustad.
Apakah ada yang salah?
Subhanallah. Jangan salah sangka, Akhi. Saya tidak sedang menyalahkan-nyalahkan ustad. Mereka orang baik. Saya cuma berjaga-jaga agar kelak tidak terkejut jika ada yang menawarkan binatang ternak sambil menyebut bahwa nama-nama mereka dijadikan nama surat dalam Alquran.
BACA JUGA Alhamdulillah, Tak Ada Pedagang Ayat-ayat di Negeri Ini dan artikel lainnya di rubrik ESAI.