MOJOK.CO – Hidup bebas utang itu nikmat sekali. Jangan sampai kamu terjerat utang dari bank plecit yang katanya bank BUMN. Hidup jadi tidak tenang.
Kata siapa hidup di desa itu akan aman sandang dan pangannya? Faktanya masih banyak yang pailed kata ibu saya. Maksudnya failed. Banyak ibu rumah tangga di desa yang “gagal” mengontrol keuangan karena utang yang tak terbayar. Semua karena mulut manis bank plecit yang katanya bagian dari bank BUMN atau mungkin menyaru biar ibu-ibu di desa tertarik.
Terhitung sudah tiga tahun saya mengungsi ke desa kelahiran akibat badai Covid-19 yang melanda Jogja. Saya belum dan sebetulnya tak terlalu pengin balik ke Jogja meskipun sekarang sudah tidak pandemi. Di satu sisi, saya betah di desa.
Banyak hal yang saya alami selama di desa. Dari yang lucu, yang nggak masuk akal, sampai kenekatan ala ibu rumah tangga di desa ketika pemasukan suami tidak menentu. Nah, satu hal ini yang bikin saya jengkel ketika memilih hidup di desa.
Entah kenapa, ibu-ibu di desa punya kekuatan super untuk membujuk ibu-ibu lainnya. Terutama di hal-hal penting yang sebetulnya membutuhkan diskusi yang matang dengan suami (dan anak). Misalnya soal mengajukan utang ke sebuah bank atau organisasi. Banyak dari ibu-ibu di desa saya yang “nekat” mengambil keputusan untuk mengambil tawaran dari bank plecit yang katanya bagian dari bank BUMN tanpa berdiskusi dengan suami. Yah, kalau sudah kepepet, meski ujungnya terjadi pertengkaran hebat.
Mereka selalu punya cara, selalu punya energi lebih untuk menggandeng tetangganya untuk ikut utang. Selain “biar ada teman utang”, mereka tergoda dengan komisi dari bank plecit kalau bisa mengajak teman. Semacam downline kalau MLM. Wah, ini menyebalkan betul.
Sebenarnya, bank plecit itu punya nama. Yah, demi keamanan saya, mari kita sebut saja Bank Mawar dan Bank NBTP. Katanya, bank tersebut merupakan bank BUMN. Saya agak sanksi, sih.
Jadi, bank plecit yang konon bank BUMN ini memang bergerak di circle ibu-ibu pedesaan. Mereka memosisikan diri seperti pahlawan kesejahteraan keluarga, walau nyatanya tidak.
Saya masih ingat betul saat itu hari Senin. Sebuah pesan WhatsApp dari Bu Alfin. Dia bilang begini, “Mbak Annis, Bu Rudi mau pesan risol mayo untuk Posyandu. Sampean konfirmasi sendiri ke orangnya, ya.”
Pesan WhatsApp ini menjadi sebuah pembuka biar saya mau ikut kumpulan ibu-ibu. Lantaran ada soal pesanan snack di sana, saya sih bahagia saja. Namanya rezeki, kan ya.
Siangnya, tanpa menaruh curiga, saya bertandang ke rumah Bu Alfin untuk konfirmasi ulang. Kata Bu Alfin, sekarang Bu Rudi sedang di rumah Bu Janet. Oke, saya pun melangkahkan kaki ke rumah Bu Janet.
Nah, dari jauh, rumah Bu Janet tampak ramai ibu-ibu. Kalau arisan, sih, nggak mungkin karena belum jadwalnya. Saya datang, uluk salam, dan menghampiri Bu Rudi. Setelah mengobrol sebentar, Bu Rudi bilang akan ke rumah saya sore harinya.
Sore itu, Bu Rudi datang dan bilang minta dibikinkan snack untuk Posyandu. Saya pun bilang iya. Rezeki. Nah, saya kira obrolan akan selesai di sana. Ternyata tidak. Obrolan berbelok tajam ke arah lain yang tidak saya duga.
Tanpa saya minta, Bu Rudi menceritakan ihwal perkumpulan ibu-ibu di rumah Bu Janet. Jadi, ada yang namanya Bank Mawar, yang siap memberi pinjaman usaha. Ya, itu bank plecit yang katanya bank BUMN.
“Mbak Annis ndak kerso to pinjem modal di Mawar, itu bank BUMN lho, Mbak. Misal pinjaman awal itu dua juta rupiah, nanti angsurannya 50 kali. Terus, bagi hasilnya nanti bisa buat nyicil satu kali. Katanya Mbak Annis sedang butuh modal?”
“… Katanya Mbak Annis sedang butuh modal?” Bagian ini bikin saya mengernyit. Itu kesimpulan dari mana. Padahal saat itu saya sedang tidak butuh modal. Ajaib.
Namun, di tengah inflasi ekonomi keluarga, hadirnya uang segar untuk mengembangkan bisnis snack jadi sangat menarik. Hati mana yang tak tergoda.
Jujur, saya tergoda. Namun, saya tidak berani mengiyakan begitu saja. Di tengah diamnya saya, Bu Rudi berkata, “Itu kemarin pas Covid itu yang dapat bantuan banyak itu lho, Mbak. Dibantu dua juta lima ratus ribu itu.”
Serasa ada malaikat datang membawa segepok uang tanpa jaminan. Saya penasaran, sih. Namun, akibat aktivitas produksi snack yang padat, saya belum sempat untuk menelusuri lebih dalam informasi soal bank plecit yang katanya bank BUMN itu.
Agen rahasia bank plecit lewat mulut tetangga
Hari ketiga berlalu dan saya bertemu Bu Rudi lagi. Hampir setiap hari dia mengingatkan saya soal utang ke bank plecit yang katanya bank BUMN itu.
“Gimana, Mbak? Kalau jadi, yuk cepat daftar. Kalau Sabtu ini menumpuk berkas, Senin sudah cair, lho.” Gigih sekali ini Bu Rudi.
Saya hanya bisa tersenyum sambil beralasan bahwa saya masih harus diskusi dulu sama suami. Lama-lama saya jadi agak terteror.
Setelah Bu Rudi, beberapa jam kemudian, Bu Janet, selaku Ketua Kelompok Pinjaman Bank Mawar cabang desa ikut bertanya. “Mbak Annis, bagaimana? Jadi gabung Mawar? Jadi, ya.”
Luar biasa energi ibu-ibu ini. Namun, saya jadi melihat polanya. Bu Janet, menginstruksikan Bu Rudi untuk mencari downline. Bu Rudi, menyusun strategi “risol mayo untuk Posyandu” dengan Bu Alfin. Rapi banget. Yah, beginilah satu keribetan hidup di desa, kata suami saya.
Didorong rasa penasaran, saya bertandang ke rumah Bu Janet untuk “mencari informasi”. Saya disambut dengan kebahagiaan yang agak berlebihan.
Bu Janet, dengan senang hati, menjelaskan sistem utang di bank plecit yang katanya bank BUMN itu. Kira-kira begini:
Bu Janet meyakinkan saya bahwa itu bank BUMN. Ini demi menumbuhkan rasa aman untuk calon ibu-ibu yang mau utang.
Nah, utang minimalnya Rp2 juta, maksimal Rp3 juta. Proses nyicilnya 50 kali. Setiap minggu, cicilannya Rp50 ribu.
Dari penjelasan ini saya kemudian mulai berhitung. Jika Rp50 ribu dikali 50 minggu, totalnya Rp2.500.000. Lha kok banyak manak e.
Saya pun langsung memaparkan hitungan saya ke Bu Janet dan dia mengiyakan sambil berkata, “Ini termasuk ringan, Mbak. Kan hitungan setahun dan ini juga syariah,” katanya sambil menyodorkan tumpukan kartu nasabah. Wah, bawa-bawa syariah.
Lalu saya bertanya, “Lha kalau yang nggak bisa bayar gimana, Bu?”
“Nanti dikasih keringanan, Mbak. Seperti Mbak Ginanjar itu juga sering ditagih nggak ada di rumah. Tapi petugasnya ya bilang sama orangnya kalau dicicil Rp25 ribu per minggu juga nggak papa.”
Meskipun dijelaskan dengan manis, dibalur senyum lebar, saya tahu kalau utang ke bank plecit yang katanya bank BUMN ini memang perkara. Sebetulnya, saya sudah banyak bertanya ke beberapa orang perihal utang ke bank plecit ini. Mereka tergoda oleh manisnya janji bank plecit yang katanya bank BUMN maupun bank swasta.
Satu tahun yang lalu, tetangga saya sampai harus lari-larian dan kabur dari rumah kontrakannya gara-gara ditagih utang bank plecit. Tidak sedikit bank plecit yang manis di awal, tapi pakai kekerasan di akhir. Itu belum mempertimbangkan bunga pinjaman yang sebetulnya sangat besar. Nggak ada enaknya hidup dikejar-kejar utang.
Dari sini saya mencoba membuat kesimpulan. Mereka yang hidup dengan utang dari bank plecit yang katanya bank BUMN ini adalah mereka yang berpenghasilan bulanan dengan nominal tidak tetap. Untuk menutup kebutuhan, mereka menurunan utang. Sedihnya, mereka ini sadar kalau bunganya besar.
Sementara itu, UMKM yang saya rintis skalanya masih kecil. Pendapatannya masih belum menentu. Apalagi, saya masih terbebani “utang rasa” kepada saudara yang memodali usaha snack. Nah, mereka yang berpenghasilan mingguan bakal makin susah hidupnya ketika terjerat utang bank plecit.
Antisipasi utang dan secukupnya saja
Lembaga simpan pinjam saat ini banyak banget, dari online sampai offline. Saking banyaknya, dalam sebulan, ada dua atau tiga pinjaman online yang menawarkan jasanya lewat WhatsApp. Bisa-bisanya nomor hape saya disusupi pinjol. Yah, namanya Indonesia, data pribadi siapa yang aman dari dijual oleh orang-orang brengsek.
Selain pinjol laknat, masih banyak bank offline macam bank plecit yang katanya bank BUMN itu. Mereka tak pernah lelah mempromosikan jasa lewat “agen rahasia” mulut malaikat tetangga-tetangga saya. Sungguh mekanisme yang cukup sistematis untuk mencari nasabah baru.
Yah, kalau boleh memberi saran. Sebaiknya jangan utang ke bank plecit apalagi lintah darat. Kalau mau utang, kalau saya, mending ke saudara saja. Lebih manusiawi. Namun, ingat, jangan sampai tidak membayar kembali. Bayarlah utangmu sambil tersenyum, seperti ketika kamu minta bantuan.
Saran kedua, ukur pemasukanmu. Apakah kamu termasuk kategori orang bergaji bulanan? Mingguan? Atau malah tanpa pemasukan tetap? Jika kamu termasuk orang tanpa pemasukan tetap, cicilan Rp50 ribu per minggu selama 50 minggu itu sangat berat.
Saran ketiga, utang yang tidak terhindarkan perlu diukur. Misalnya kamu mau buka usaha atau harus bayar SPP anak, sesuaikan dengan pemasukan. Yah, namanya hidup, untuk beberap orang, terhindar dari utang itu sudah kemewahan, lho.
Saran keempat, menabung. Yah, klise, sih. Namun, mau gimana lagi, menabung akan menyelamatkanmu di tengah situasi sulit seperti sekarang ini. Banyak PHK, sulit cari kerja, persaingan ketat. Menabung akan sedikit meringankan usahamu untuk bertahan hidup.
Saran kelima dan paling pamungkas, jangan berutang. Caranya bagaimana? Yah, mari kita pikirkan bersama-sama.
BACA JUGA Bertahan Hidup di Tengah Pandemi Virus Corona: Mode Hemat demi Keuangan Rumah Tangga dan kisah inspiratif lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Annise Sri Maftuchin
Editor: Yamadipati Seno