MOJOK.CO – Beroperasinya kereta cepat Jakarta Bandung adalah tanda kematian untuk Argo Parahyangan. Negara ini sungguh luar biasa.
Italia mulai memperkenalkan kereta cepat pada 2008 dengan hadirnya perusahaan Frecciarossa yang melayani rute pertamanya dari Roma ke Milan. Rutenya terus berkembang dari tahun ke tahun, hampir meliputi semua kota besar di Italia. Lalu, pada 2012, muncul kereta cepat pendatang baru berbaju swasta bernama Nuovo Trasporto Viaggiatori. Sampai 2021 lalu, perusahaan ini telah memiliki 54 rute di hampir semua kota besar di Italia.
Pada 14 Oktober 2021, perusahaan penerbangan Italia, Alitalia Airlines, melakukan rute penerbangan terakhirnya, sebelum tutup usia di tahun yang sama. Mengapa Alitalia tutup usia? Jawabannya karena Frecciarossa dan Nuovo Trasporto Viaggiatori.
Dua operator kereta cepat tersebut telah membunuh Alitalia Airlines secara perlahan selama lebih kurang 11 tahun. Dengan peningkatan penumpang rata-rata tujuh persen per tahun, sangat bisa dipahami kalau kereta cepat di Italia mendadak menjadi predator yang membuat Alitalia Airlines berada di posisi korban 11 tahun kemudian.
Keputusan Italia sangat bisa dipahami mengingat mereka bukan pemain penting dalam industri pesawat terbang atau otomotif. Tak berbeda dengan Jepang misalnya, yang juga bukan pemain utama dalam industri pesawat terbang. Makanya, kereta cepat di Jepang tidak melibas industri otomotif karena pasar domestik bukan target utama industri otomotif mereka.
Kereta cepat Jakarta Bandung yang mengancam
Lantas, bagaimana dengan kereta cepat di Indonesia, tepatnya kereta cepat Jakarta Bandung? Betul, tidak ada rute penerbangan antara kedua kota karena jaraknya yang tidak terlalu jauh. Kurang lebihnya 140 kilometer. Jadi, tidak akan ada korban di industri penerbangan jika kereta cepat Jakarta Bandung diterapkan. Kalau rutenya sampai ke Surabaya, mungkin ceritanya akan lain.
Namun, saat ini, ada beberapa moda transportasi dan ada layanan jalan bebas hambatan dari Jakarta ke Bandung. Moda transportasi tersebut adalah kereta api (ekonomi dan eksekutif), bus, travel, dan kendaraan pribadi. Semuanya rerata memakan waktu plus minus tiga sampai empat jam perjalanan.
Butuh waktu untuk membuktikan moda transportasi Jakarta-Bandung mana yang akan terkapar duluan setelah kereta cepat Jakarta Bandung dimulai. Santer dikabarkan bahwa Argo Parahyangan, layanan kereta api Jakarta Bandung, akan menjadi korban pertamanya.
PT KAI siap membunuh Argo Parahyangan
Tapi, nampaknya tak ada masalah bagi BUMN PT KAI yang mengoperasikan Argo Parahyangan. Pasalnya, PT KAI adalah salah satu pemegang saham terbesar kereta cepat Jakarta Bandung. Boleh jadi, bagi PT KAI, keputusan menutup Argo Parahyangan untuk menoleransi eksistensi kereta cepat adalah pilihan bisnis yang masuk akal.
Sebut saja, dalam istilah bisnis, apa yang dilakukan PT KAI disebut hedonic adjustment alias peningkatan kualitas produk. Ya, ibarat sekuensi produk iPhone 6 ke iPhone 7 lalu ke iPhone 8, 9,10,11, dan seterusnya. Tak masalah pakai layanan kredit atau Paylater dari aplikasi e-commerce yang pemilik saham utamanya Ali Baba, yang penting bisa pakai iPhone terbaru.
Atau seperti transisi dari minyak tanah ke gas atau dari Premium ke Pertalite lalu ke Pertamax, dan seterusnya. Tak masalah bayar Pertalite lebih mahal, yang penting Pertamina tidak menderita rugi dan Anda akan dianugerahi status “kelas menengah” yang mampu membayar bahan bakar bensin beroktan 92 ke atas.
Stikernya jangan lupa ditempel di kaca belakang, bertulisan “Pengguna oktan 92 ke atas”. Ya toh! Anda pahlawan bagi Pertamina. Ya, pahlawan tanpa tanda jasa, dengan stiker “oktan 92”. Senangnya, toh!
Apakah kereta cepat itu masuk akal?
Lagi-lagi, pertanyaannya, apakah kereta cepat Jakarta Bandung masuk akal secara bisnis? Boleh jadi masuk akal. Kereta cepat Jakarta Bandung menarget pasar sekitar 31 ribu penumpang per hari. Sementara itu, Argo Parahyangan hanya mengantongi rerata 11 ribuan penumpang per hari. Dari mana sisanya? Jawabannya, pengguna kendaraan pribadi yang melewati jalan Tol Jakarta Bandung dan pengguna travel premium.
Sebut saja 11 ribuan penumpang Argo Parahyangan bermigrasi ke kereta cepat Jakarta Bandung. Setelah itu Argo Parahyangan menjadi “almarhum”. PT KAI kehilangan bisnis kereta eksekutif Jakarta Bandung, pembeli mobil pribadi dan pengguna tol mungkin berkurang, serta pengguna travel eksekutif juga demikian
Sebagai gantinya, PT KAI mendapat teknologi baru bernama kereta cepat dan mendapatkan sebagian besar proporsi saham yang menjadi bagian pemain dalam negeri (sekian persen dari 60 persen saham kereta cepat). Penjualan mobil dan pengguna jalan tol yang berkurang ya urusan lain. Mereka dapat ganti atau tidak, “peduli amat”. Pengusaha travel premium gigit jari, bukan urusan PT KAI. Lagi-lagi, “peduli amat”.
Kehilangan Argo Parahyangan itu terlalu “mahal”
Namun “kehilangan” Argo Parahyangan tidak serta-merta bisa ditambal dengan hadirnya kereta cepat Jakarta Bandung. Utang tentu harus dibayar, mungkin beberapa puluh tahun. Teknologinya tetap punya Cina karena semuanya dibuat di sana, walaupun merakitnya di sini.
Sebelumnya, PT KAI menikmati bisnis Argo Parahyangan sendiri, tapi nanti harus berbagi dengan yang lain. Baik dengan sesama pemilik dalam negeri maupun Cina yang memiliki 40 persen saham kereta cepat Jakarta Bandung.
Dan ketika masa itu datang, mudah-mudahan, generasi penguasa dan pengambil kebijakan hari ini masih bisa menyaksikannya. Itu juga kalau di waktu-waktu mendatang tidak ada penambahan utang karena kerugian bisnis dan lainya.
Dengan demikian, apakah kereta cepat Jakarta Bandung masuk akal secara bisnis? Menurut PT KAI, keputusan memangkas waktu perjalanan menjadi 40 menit dan mengistirahatkan Argo Parahyangan tersebut masuk akal. Jadi, anggap saja masuk akal, sembari memberi penekanan “Why not!“.
Orang kecil ngapain protes
Toh, di dalam PT KAI sendiri, dan di dalam banyak BUMN lainya, pastinya memang banyak orang pintar dan mereka pastinya telah melakukan perhitungan bisnis terlebih dahulu. Gila apa kalau nggak melakukannya. Walhasil, mereka telah memutuskan untuk sticked with the plan. Jadi, kita sebagai pihak yang punya akal sehat, saran saya, nikmati saja. Kita, yang juga orang kecil ini, bisa bilang apa?
Kalau pernah naik kereta cepat Tokyo-Kyoto atau Mekah-Madinah, misalnya, pasti Anda akan menyukainya. Nyaman dan menyenangkan. Jadi, jika ada yang bicara kereta cepat adalah bad deal, mari ramai-ramai katakan “What the fuck are you talking about?” Kamu mempertanyakan kebijakan kereta cepat Jakarta Bandung? Mau melawan pemerintah ya? Rakyat kok berani-beraninya melawan. Aneh. Nggak ada yang modelan begitu.
Pengurangan jam perjalanan dari ermpat jam menjadi 40 menit adalah good deal, setidaknya begitu menurut Xi Jinping. Ongkosnya memang naik menjadi Rp200-350 ribu, tapi itu risiko bagi penumpang dong, bukan risiko bagi PT KAI atau Xi Jinping. So much so, “Fuck Argo Parahyangan, peduli setan dengan jalan tol, mobil pribadi, dan travel premium.”
Mari lanjutkan jalur kereta cepat
Mari lanjutkan proyek kereta cepat ini sampai ke Surabaya, agar Argo-Argo yang lainya bisa dikirim segera ke Madura sebagai besi tua, jalanan lintas Jawa tidak ada lagi suara berisik “telolet” bus-bus eksekutif, dan rute Garuda ke seluruh Jawa bisa segera ditutup.
Jenius bukan! Kita sedang berada di era keemasan Jokowinomics. Kita dapat teknologi tinggi tanpa tahu cara membuatnya. Jenius!
Relawan-relawan harus kembali merayakan ini nanti di Senayan sambil mengumpulkan sampah yang berceceran setelah acara. Jangan lupa naik kereta cepat yang bikin Indonesia dikadal-kadalin sama Cina tapi tetap saja dijalankan. It’s gonna be fun! I love this country!
BACA JUGA Kereta Cepat Jakarta Bandung Sumber Petaka Masa Depan: Indonesia Dicaplok, Cina Menang Banyak dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Ronny P. Sasmita
Editor: Yamadipati Seno