MOJOK.CO – Demikian pentingnya peran Setan dalam agama, sampai-sampai tak ada satu agama pun yang mau menerima rencana Setan bertobat.
Pernah tidak membayangkan, bagaimana seandainya Setan berhenti dari tugasnya menyeru umat manusia untuk berbuat kejahatan dan menggumuli kemaksiatan? Singkatnya, Setan bertobat dan pensiun dari pekerjaan menggoda umat manusia?
Taufik el-Hakim (1889-1987), seorang penulis Mesir modern, dalam cerpennya “Asy-Syahid” atau dalam bahasa Inggris diterjemahkan “The Martyr” (Sang Martir) menceritakan suatu kisah yang mungkin menggelikan, mengganggu pikiran, sekaligus menggugah iman.
Oleh karena ingin mencicipi nikmatnya kebaikan dan indahnya iman, Setan memutuskan untuk bertobat. Maka, pada saat perayaan Natal, ia pun datang ke Vatikan, menghadap Paus untuk menyatakan pertobatannya. Pintu-pintu terbuka karena kehadirannya. Matanya yang tajam berbinar membuat tak seorang pun, baik imam maupun kardinal, kuasa menghalanginya untuk langsung menghadap ke takhta suci.
Paus menatap tamunya dan dengan suara bergetar bertanya.
“Kamu?”
“Ya, saya.”
“Untuk apa kamu ke sini.”
“Saya ingin masuk ke surga iman.”
“Apa yang kamu katakan?”
Paus jadi bingung dan ragu. Lebih-lebih setelah Setan menegaskan keinginannya untuk benar-benar bertobat. Ia sudah tidak ingin lagi disebut sebagai “Yang Terkutuk”. Ia serius dan tidak main-main. Semuanya telah berakhir. Harinya telah tiba manakala ia telah melihat kembali jalan terang kebenaran. Ia kini merindukan haribaan Tuhan dan lelah dengan perang panjang yang sia-sia. Ia ingin meninggalkan kekeraskepalaannya, menghindari persengkongkolan jahat, dan merasakan nikmatnya kebaikan.
“Selamatkan aku, atas nama tuhanmu! Biarkan aku, meski sekali dan sekejap saja, mencicipi indahnya kebaikan, dan setelah itu, silahkan lemparkan kembali ke neraka….”
Setan meyakinkan Paus bahwa keinginan terbesarnya untuk menjadi salah seorang hamba yang setia. Hadir di gereja, berlutut di hadapan Tuhan, dan menyanyikan kidung pujian untuk-Nya. Bersukacita dalam kelahiran Kristus, mendaras kata-kata-Nya, dan mengikuti perbuatan-Nya.
“O, Yang Mulia. O penerima Kristus. Aku datang untuk berlutut di depan Anda agar Anda membaptisku dan menerimaku di dalam iman, maka Anda akan menemukanku sebagai salah seorang anak gereja Anda yang paling taat.”
Paus bergetar. Seiring dengan alunan “Missa Papae Marcelli”, imajinasinya melayang. Jika Setan telah masuk ke dalam iman, lalu di mana letak kemuliaan Gereja setelah itu? Apa yang terjadi dengan Vatikan, museum, harta, serta monumen keagamaannya yang megah? Semuanya akan kehilangan makna dan kemegahannya dan dibiarkan tanpa tujuan.
“Tidak bisa,” kata Paus dengan suara berat.
“Mengapa tidak bisa?” tanya Setan, “Bukankah telah menjadi tugasmu untuk menerima pertobatan. Mengapa ada diskriminasi?”
Setan adalah titik penting dalam ajaran Kitab Suci, Perjanjian Lama maupun Baru. Bagaimana dia bisa dihilangkan tanpa menghancurkan semua simbolisme dan legenda, bahkan ajaran tentang kebaikan dan kejahatan yang mengikat hati orang beriman dan menghidupkan imajinasi mereka? Apa signifikansi Hari Penghakiman jika sumber kejahatan dihancurkan dari dunia manusia? Apakah dosa-dosa umat manusia akan dihapuskan jika pertobatan Setan telah diterima? Lalu bagaimana nasib dunia tanpa kejahatan? Tidak bisa. Setan tetap harus bekerja untuk menggoda umat manusia dan menyebar kejahatan.
Paus memandang Setan dengan jengkel dan malu.
“Sekali lagi, gereja tidak bisa menerima permintaanmu. Mengapa kamu datang ke sini? Mengapa tidak ke agama-agama yang lain?”
Lalu Paus pergi meninggalkan Setan yang melongo sendirian.
Dengan perasan kecewa dan marah, Setan meninggalkan Vatikan. Tapi, ia tidak putus asa, ada banyak jalan menuju Tuhan. Ia masih punya harapan. Bukankah masih ada Yahudi? Ia pun datang menemui Rabi Agung.
“Jadi kamu ingin menjadi Yahudi?” tanya Sang Rabi keheranan.
“Ya, aku ingin mencapai Tuhan,” jawab Setan.
Rabi Agung merenungkan dengan cermat apa yang dikatakan Setan.
Jika Tuhan mengabulkan pengampunan Setan dan menghapus kejahatan dari muka bumi, lalu apa kemudian yang akan membedakan satu orang dengan yang lain? Orang-orang Yahudi adalah umat pilihan. Tetapi, jika ini terjadi, tidak akan ada lagi pembenaran untuk menganggap mereka sebagai umat yang terpilih, orang-orang yang sangat dicintai Tuhan.
Bahkan penguasaan tertinggi keuangan yang telah menjadi milik mereka selama beberapa generasi akan lenyap dengan hilangnya Kejahatan dari hati manusia, dengan penghancuran keserakahan dan keserakahan, dengan penghapusan total keegoisan. Kembalinya Setan ke dalam iman akan membuat struktur hak istimewa Yahudi runtuh, dan menghancurkan kemuliaan anak-anak Israel.
Lalu Rabi mengangkat kepalanya dan berkata dengan nada sarkastis dan retoris.
“Bukan kebiasaan kami untuk melakukan pekerjaan misionaris. Kami tidak pernah membujuk orang lain untuk memeluk iman kami. Bahkan meskipun yang ingin menjadi Yahudi itu Setan sendiri. Jadi, pergilah dari sini dan carilah agama lain untukmu!”
Setan pergi dari hadapan Rabi dengan sedih, tapi ia tak sirna asa. Masih ada satu pintu lagi terbuka buatnya. Itulah pintu Islam. Ia akan datang ke Syekh Al-Azhar.
Syekh Al-Azhar mendengarkan keinginan Setan. Baginya, itu sesuatu yang sangat baik karena dengan demikian, selesai sudah….
“Tapi….”
“Tapi mengapa? Bukankah hak setiap makhluk untuk beriman? Bukankah di dalam kitab suci dianjurkan untuk bertobat dan meninggalkan kejahatan? Kini aku datang untuk bertobat dan menjadi muslim yang saleh.”
Syekh Al-Azhar mempertimbangkan matang-matang segala konsekuensinya. Jika Setan menjadi seorang muslim, lalu bagaimana Al-Quran akan dibaca? Apakah orang-orang masih bisa membaca ayat “Aku berlindung kepada Allah dari godaan Setan yang terkutuk”? Dan jika ayat ini harus dihilangkan, itu artinya sebagian besar ayat lain dari Al-Quran pun akan mengalami hal yang sama. Keberadaan Setan dan peringatan terhadap kejahatan serta godaannya menempati sebagian besar dari isi kitab suci. Bagaimana mungkin dia bisa menerima pertobatan Setan tanpa melemahkan seluruh struktur agama Islam?
Lalu, seperti rekannya Paus dan Rabi Agung, Syekh Al-Azhar turut menolak permintaan Setan.
“Kamu datang dengan permohonan yang aku tidak memiliki kekuasaan untuk memutuskannya. Ini bukan kapasitasku dan jauh di luar wewenangku. Kamu datang bukan kepada orang yang tepat?”
“Lalu siapa yang harus aku hubungi? Bukankah Anda pimpinan semua ulama?”
Setan kecewa dan marah. Akhirnya ia naik dan menggedor pintu langit. Ia ingin menemui Tuhan langsung. Malaikat menyambutnya. Ia bertanya, apakah permohonan tobatnya telah terlambat sehingga tak satu agama pun mau menerimanya? Malaikat menjawab, “Bukan, kamu bukan telat. Justru sebaliknya, kamu datang terlalu cepat.”
***
Taufik el-Hakim adalah perintis sastra Mesir modern. Najib Mahfud, penerima Hadiah Nobel Sastra 1988 memandangnya sebagai salah seorang “gurunya” dalam menulis dan bahkan menganggapnya sebagai orang yang lebih pantas menerima Hadiah Nobel mewakili dunia sastra Arab ketimbang dirinya. Najib juga menyebutnya sebagai sastrawan profesional pertama dalam sejarah Mesir, yakni orang pertama yang mencurahkan dirinya secara total untuk hidup dari menulis.
Tapi, namanya sebenarnya lebih masyhur sebagai penulis drama dan novel. Menulis cerpen baginya hiburan saja di antara menulis drama dan novel. Dan seperti dalam gayanya menulis novel yang penuh humor serta pengaruh dalam menulis drama, cerpennya dipenuhi dialog-dialog panjang dan padat humor.
Melalui dialog-dialog panjang antara Setan dan Paus, Rabi, serta Syekh Al-Azhar, Taufik menampilkan suatu paradoks. Dan paradoks selalu menggelikan. Bagaimana tidak menggelikan: Setan yang menjadi sumber kejahatan hendak bertobat.
Saya ingat ketika kami sama-sama membaca cerpen ini dalam bahasa Arab beberapa tahun lampau, seorang teman bercanda, “Ada lowongan pekerjaan nih, Setan mau pensiun.” Kami semua tertawa dan saling menuding satu sama lain sebagai yang berbakat untuk menggantikan. Tentu saja semua menolak dengan dalih “Belum selesai kuliah.”
Namun, setelah ketawa lepas dan hal menggelikan berlalu, keheningan menyergap dan terbitlah rasa kecut di hati ketika merenungkan cerpen ini. Bukankah apa yang dikatakan cerpen ini suatu sindiran yang tajamnya alang kepalang? Apakah sejatinya causa prima dari agama justru adalah adanya Setan? Jika demikian adanya, Setan sangatlah penting sekaligus mulia. Tanpanya tidak ada agama. Tanpanya tidak ada iman. Tanpanya “kita” tidak akan masuk surga. Setan menjadi “martir” untuk kebahagiaan manusia di dalam iman.
Dibaca seperti ini, cerpen ini akan dipandang subversif. Tak heran ketika kumpulan cerpen Taufik el-Hakim ini terbit dalam bahasa Indonesia beberapa tahun lampau, cerpen “Asy-Syahid” tidak disertakan dengan alasan membahayakan iman dan tidak sesuai ajaran Islam. Membahayakan buat mereka yang dianggap awam.
Cerita ini akan mengganggu orang yang beriman tanpa pertanyaan, orang yang telah menerima dan menjalankan perintah tanpa mengizinkan improvisasi. Orang yang beragama dalam tingkatan bereaksi dan merespons tingkah laku Setan. Biasanya, polanya selalu berupa suatu tanggapan formal terhadap segala peristiwa, keadaan, atau sesuatu di luar diri yang dianggap mengancam dan membahayakan iman. Benteng pertahanan harus segera dibangun dan perlawanan harus dilakukan. Alarm harus dinyalakan, kewaspadaan harus ekstraketat. Setan itu licik dan sakti, ia bisa mewujud apa saja. Singkatnya, iman dengan modus mendakwa Setan sebagai tersangka utama cenderung sensitif, mudah curiga, dan gampang menyalahkan orang lain.
Apabila kita menengok tradisi sufi, tak ada yang luar biasa dari cerpen ini. Rabiah al-Adawiyah, misalnya, sudah sejak lama mengajarkan bahwa anugerah teragung cinta pada sang kekasih haruslah sepenuhnya cinta tanpa ada sedikit pun rasa benci, bahkan benci terhadap Setan. Dan kisah Setan yang terusir dari surga diyakini oleh Al-Hallaj, sufi agung lain, sebagai pelajaran cinta dan kesetiaan yang sejati. Penolakan Setan untuk bersujud kepada Adam telah menunjukkan kesetiaannya untuk menyembah dan mencintai hanya kepada Allah.
Di dalam hal ini, cerpen ini lebih menyerukan dan mengajak untuk beragama ke tingkatan yang lebih tinggi, ke tingkatan mahabbah; cinta dengan tidak menjadikan Setan sebagai “motif” dan “tujuan” dalam beragama. Dan itu artinya tidak membenci.
Kira-kira begitulah.
Baca juga: “Cara Menjadi Orang Islam Sejati“