Keinginan para mamah muda untuk menumbuhkan minat baca anak patut diacungi jempol. Buku dengan harga jutaan sekonyong-konyong bisa dihadirkan demi si buah hati. Tentu saja, salah satu tujuan dan jargon produsennya adalah agar kelak si anak menjadi pribadi yang rajin membaca. Sebagai bekal pengetahuan di masa depan, bla bla bla. Daripada dibelikan mainan yang nggak mengedukasi, kan? Begitu kira-kira dalihnya.
Nggak cukup sampai di situ, si mahmud terkadang harus rela antre dengan cara arisan. Mengatur sedemikian rupa pemasukan bulanan, dan menyisihkan sebagiannya untuk buku-buku tersebut. Menjadi sebuah kebanggaan jika uang arisan sudah mencukupi dan akhirnya bisa mendapatkan sepaket buku dengan boneka lucu yang bisa mengaji dan bercerita. Lumayan, anak bisa sejenak bermain sendiri dengan buku dan boneka. Dan, si mamah asik bercengkerama di media sosial, dan tak lupa membagikan situs hoax. Eeeh …!
Sering apa sering melihat fenomena begini? Hvft, saya sih sering. Ada banyak postingan cerita mahmud yang mengikuti arisan buku, dan nampaknya sudah tidak sabar untuk menunggu ketukan pintu rumah dari Pak Kurir yang membawa sekardus paketan buku idaman anak masa kini. Dengan hashtag macam-macam, #anaksholehbacabuku, #anaksholehpinter, #generasianaksolehpeduliliterasi dan sebagainya.
Namun, di sisi lain, laman Facebook si mamah juga berisi berbagai makian, dan berita dari situs-situs nggak jelas. Segudang informasi tumpek blek di laman Facebook-nya, tanpa sedikit pun menggunakan referensi buku. Semuanya bersumber dari puluhan status, puluhan kepala, dan hanya berupa cuitan di laman media sosial.
Termasuk, ilusi-ilusi tentang kebangkitan hantu-hantu komunis. La dalah! Eh, ada lagi ding, yaitu tentang kekhawatiran akut akan runtuhnya dan merosotnya akidah umat Islam hanya karena tidak bergabung dengan aksi 212. Uuunchh ….
Yang paling fresh, ya isu PKI ini. Dan tanpa mengurangi solidaritas kemanusiaan saya, yang sebelumnya juga sudah ribut kayak pasar di pagi hari adalah posting informasi terindikasi hoax tentang muslim Rohingya. Membela mati-matian muslim Rohingya tapi acuh terhadap minoritas di negeri sendiri yang mendapat perlakuan tidak adil. Baik dari komunitas Syiah dan Ahmadiyah yang diusir dari kampung mereka sendiri, Sunda Wiwitan yang didiskriminasi, sampai hal remeh-temeh macam dalil-dalil haram memanggil Umi dan Abi untuk Ibu Bapak. Sampai ke pengharaman memakai cempol untuk perempuan berjilbab yang katanya menyerupai punuk unta berikut dalil-dalil yang entah apakah hadisnya sahih atau hanya di anggap sahih. Dikit-dikit kok haram.
Nah, uniknya, segala macam polemik itu, dan yang sangat tidak simpel itu, referensinya cuma satu: cuitan Felix Siauw! Luar biasa! Tidak ada satu pun buku referensi primer maupun sekunder yang digunakan untuk membaca berbagai fenomena di atas. Apa kek. Kalau isu PKI, misalnya, sodorinlah itu bukunya Pak Ben Anderson, Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Analisis Awal. Atau Suara di Balik Prahara: Berbagi Narasi Tentang Tragedi 65, oleh sejarawan Baskara. T. Wardaya. Atau, buku-buku pembanding lain. Dengan narasi yang berbeda.
Buku dilawan buku. Itu idealnya. Bukan buku dilawan cuitan di Twitter dan status Facebook. Atau, mending tidak ikut larut dalam polemik jika yang dibagikan nggak jelas. Ingat, seorang Mamah harus selalu membawa kedamaian di mana pun mamah berada. Betul?
Bukannya saya mau meremehkan kaum mamah. Bukan. Bukan juga mau merendahkan, atau menganggap macam-macam. Hanya saja, realitanya, kebanyakan kaum mamah ini sudah overload pekerjaannya di rumah. Belum lagi kalau tetiba ada semacam ‘gangguan’ dari anak-anak, atau bapaknya. Minta inilah, itulah. Jadi, bisa dipahami sedikit sekali waktu untuk baca buku. Tapi, kalau ingin ikut bersuara atas fenomena sosial, sejarah, politik dan keagamaan yang lebih ndakik lagi, dibutuhkan bacaan yang ndakik juga. Bukan cuma status-status yang berseliweran dengan jutaan like dan komen.
Saran saya sih mending tahan posting deh, daripada kelihatan nggak baca.
Saya juga bukan hendak mencari pembenaran sejarah, yang faktanya hingga saat ini kita semua masih menggali dan meneliti kembali dengan kerangka ilmu pengetahuan. Tapi mbok yao hargai para sejarawan kompeten yang sudah bertahun-tahun menggeluti dan melakukan penelitian tentang itu. Tidak semudah mengetik di laman Facebook dong. Lha ini, dikit-dikit referensinya kalau nggak Tere Liye ya Felix Siauw. Gimana bisa memahami sejarah dengan runtut.
Terus … ngapain beliin buku anak sampai bejibun kalau orang tuanya sendiri sama sekali tidak menghargai buku. Abai akan bacaan bermutu. Tidak mengerti kapan seharusnya mengonsumsi buku berkualitas untuk memahami hal-hal yang terjadi di masyarakat. Ya memang sih, kita semua tidak akan bisa menjadi ahli di segala bidang, tapi mbok yao ….
Mendingan kita balikkin lagi niat awal kita membelikan buku anak-anak untuk apa? Kalau hanya mengikuti tren anak saleh baca buku, lupakan saja. Mending beli buku yang murah meriah itu, di pinggir jalan, tapi kita sebagai orang tua paham isinya. Atau biar kekinian? Lupakan saja! Dunia kita sedang melaju pesat, anak-anak kita butuh role model yang sesungguhnya guna menghadapi tantangan global. Kalau hanya biar kekinian saja, mending sekalian kasih Drakor.
Menumbuhkan minat baca tidak semudah membelikan berbagai macam buku, dengan harga jutaan sekalipun. Bagaimana mau mengedukasi anak jika yang dewasa saja main asal pilih informasi, tanpa sumber yang jelas. Bagaimana anak akan memahami pentingnya pengetahuan, jika yang dewasa tidak menghargai proses keilmuan untuk menghasilkan sebuah buku yang berkualitas, sesuai subjek masing-masing.
Temanya sejarah, rujukannya cuitan facebook. Temanya sejarah, rujukannya dai. La kepiye tho iki?
Orang tua, mau mamah atau papah muda kekinian, di mana pun anda berada, kita bisa meningkatkan budaya literasi keluarga dengan catatan kita sebagai orang tua juga melek literasi. Jangan muluk-muluk berharap anak kita kelak akan berpengetahuan dan berwawasan luas, berbudi pekerti, jika orang tuanya saja masa bodoh mengenai sumber bacaan atau informasi terpercaya, dan hanya hobi mengandalkan perasaan dan ilusi semata.