MOJOK.CO – Sudah lama saya tidak menonton video yang luar biasa. Sampai saya menemukan video Alfian Tanjung.
Video ceramah Alfian Tanjung yang viral kembali ternyata sangat bermanfaat untuk ditonton. Dengan menonton video ini, Anda bisa menyaksikan simulasi bagaimana akibatnya orang ngawur diberi panggung. Hasilnya: ambyar, Bung!
Video yang viral itu berdurasi 4 menit 59 detik. Terekam di dalamnya Alfian sedang berusaha menjelaskan bahaya vaksinasi, tetapi gagal. Ia jadi cuma seolah-olah menjelaskan. Saya bilang begitu karena nyatanya dia sedang melantur seperti orang kena demam malaria. Serius. Jika Anda tidak yakin, saya akan buktikan klaim ini.
Video versi pendek itu dibuka dengan pernyataan Alfian bahwa vaksinasi sesungguhnya adalah operasi depopulasi untuk membuat orang tidak punya kemampuan berpikir. Jujur saja, sebagai pembuka, penyataan ini menarik dan bikin penasaran. Seandainya ia jadi judul artikel, bisa dibilang sudah cukup clickbait. Oh, Anda harus tahu, bikin judul clickbait tidak semudah yang dibayangkan. Saya sendiri tidak akan kaget jika dengan bakat luar biasa ini, Alfian Tanjung kelak direkrut Tribunnews.com.
Saya jadi penasaran dengan penjelasan lanjut mengenai operasi depopulasi yang membuat orang tidak punya kemampuan bisa berpikir. Sayangnya, Alfian membuat saya kecewa karena yang ia paparkan selanjutnya bukan penjelasan atas pernyataan itu. Ia justru memberi contoh.
“Pertanyaannya, tak perlu berdebat jauh-jauh, kenapa anak umur tiga tahun ada yang gagal ginjal? Anak umur dua setengah tahun sakit jantung kronis? Anak umur baru empat tahun sudah kena sakit gula? Aneh bin ajaib.”
Depopulasi atau pengurangan populasi kira-kira berarti cara-cara yang dipakai untuk mengurangi jumlah penduduk. Okelah, contoh Alfian masih nyambung. Mungkin yang ia maksud, gara-gara vaksin, balita jadi rentan terkena penyakit kronis seperti gagal ginjal, sakit jantung, dan diabetes. Oleh karena sakit-sakit itu, angka kematian balita kemudian naik dan populasi menjadi berkurang.
Tapi, contoh dari bahaya vaksin yang membuat orang tidak punya kemampuan berpikir-nya mana, Pak?
“Silakan pikirkan,” jawab Alfian.
Bangkeee, jerit saya dalam hati. Dia yang nunjukin masalah, ujung-ujungnya kita yang disuruh mikir sendiri.
Video berlanjut, kini Alfian masuk ke pembahasan mengenai apa itu vaksin. Kenapa, tanya Alfian, orang miskin sering mengidap penyakit aneh-aneh? Selepas bertanya begitu, ia tidak memberi jeda dan langsung menjawabnya sendiri: Itu karena orang miskin “sudah dirusak dengan injeksi vaksin” yang berisi “tripsin saripati anjing, monyet, dan babi.”
Sampai di sini saya tak hendak mau menyanggah. Fokus saya untuk menonton malah jadi agak pecah gara-gara kata saripati melayangkan pikiran saya pada Masako.
Ia berkata lagi, “Kita bahas malam ini tentang bahaya vaksin.” Baik, Pak, saya menyimak.
Alfian bercerita bahwa di Jakarta, undangan untuk memvaksinasi anak-anak di posyandu biasanya diumumkan dari masjid. Mungkin dibacakan melalui pengeras suara sebagaimana azan atau panggilan mengaji untuk anak-anak. Namun, ada kejanggalan di sini. Kata Alfian, kalau di masjid ada seruan untuk memvaksin, kok di gereja nggak ada sih?
Saya hampir jawab, karena gereja nggak punya TOA, Pak. Tapi, urung. Saya ingat bahwa saya sedang menunggu elaborasi dari kita bahas malam ini tentang bahaya vaksin. Fokus, Prima, fokus!
Untuk mengetahui jawaban pertanyaannya itu, Alfian bertanya kepada sumber primer versinya sendiri, yakni orang Kristen. Caranya? “Saya tanya di kampus. Karena saya dosen, saya tanya sama mahasiswa saya yang Kristen, ‘Hei, kamu yang Kristen, apakah di gereja kamu ada perintah untuk datang ke posyandu?’”
Video saya pause. Hei, kamu yang Kristen? Untuk kali pertama tawa saya meledak. Ternyata begini ya rasanya menonton ceramah yang diisi ustadz pandai melawak. Menyenangkan sekali.
Setelah menghabiskan hasrat tertawa, video saya putar kembali.
“Pak, kami dilarang datang ke posyandu,” Alfian menirukan jawaban mahasiswanya yang Kristen tadi. Kisah tanya jawab dosen dan mahasiswa selesai sampai di situ. Kali ini Alfian mengemukakan refleksinya.
Menurutnya, ketika umat Islam diserukan untuk mengikuti program vaksinasi sementara umat Kristen tidak, artinya ada sesuatu yang salah. Apa yang salah? Apakah ada program dari organisasi Kristen internasional untuk menghabisi umat Islam? Saya menanti jawaban Alfian dengan deg-degan.
Dan kemudian jawabannya adalah: “Pikir sendiri.”
Buangkeee!
Setelah melompati bagian yang mana seharusnya dia menjelaskan bahaya vaksin (yang malah melantur ke contoh-contoh yang dia kasih sendiri, tapi jawabannya kita yang disuruh mikir), Alfian lalu menekankan bahwa jamaah harus percaya bahwa ia tidak mengada-ada. Ngapain bohong untuk menjelek-jelekkan program pemerintah? Toh, tidak memberi untung untuk dirinya. Alasannya gitu.
Sejauh ini video tersebut sekali membuat saya tertawa, lebih banyak bikin kesal. Namun, saya masih berharap datangnya penjelasan tentang detail operasi depopulasi dan teknis bahaya vaksin yang ia maksud. Namun, orang ini memang tidak bisa diharap. Dia malah bilang bahwa “Kadang orang-orang Islam nih nggak suka mikir” dan kemudian melompat lagi ke topik tentang jenis-jenis orang yang sering sakit.
“Coba lihat yang sakitnya aneh-aneh, mesti pribumi. Udah miskin, rumahnya reyot, anaknya (yang) paling gede matanya melocot.”
Hampir saya berharap (lagi!) ia akan mengelobarasi problem kesehatan tersebut menggunakan analisis kelas, mengingat Alfian sudah puluhan tahun menjadi “peneliti PKI”. Namun, apa lacur, lagi, lagi, dan lagi bahasannya melompat….
“Jadi yang namanya tripsin itu,” kini ia menjelaskan bahan baku vaksin, “adalah zat yang diambil dari saripati darah orang narapidana, dari para pelacur, yang digabungkan dengan penyakit yang dijinakkan, dan digabungkan jadi satu, digabungkan dalam yang namanya vaksin.”
Video ini tampaknya direkam sebelum Alfian tersandung kasus ujaran kebencian yang membuatnya divonis dua tahun penjara. Saya berani bertaruh, jika ia menonton video ini sekarang, ia akan merevisi aspek “darah narapidana” menjadi “darah gay” saja. Lebih aman dan terhindar dari pertanyaan polos peserta semacam “Bagaimana kalau narapidananya dikriminalisasi, Pak?”
Kembali ke video Alfian.
“Vaksin itu tidak dikenal di fakultas kedokteran umum, dia dikenalnya di fakultas kedokteran hewan. Tanya saja sama anak… ini yang dokter-dokter nggak usah belagu, lu nggak tahu sama ama gua nggak tahu juga. Yang ngerti soal vaksin itu adalah anak-anak fakultas kedokteran hewan.”
Laaah, ternyata dia nggak tahu apa-apa soal vaksin. Terus kenapa elu bahas, maliiih!
***
Sudah lama saya bermasalah dengan ceramah apa pun yang memakai contoh sebagai metode untuk menjelaskan. Jika Anda punya asumsi, satu dua contoh tidak memberi legitimasi apa-apa pada asumsi Anda. Apakah karena suami orang tidak setia, itu artinya semua suami tidak setia? Nonsens.
Apalagi kalau contohnya sangat samar seperti yang dipakai Alfian. Ia sedang memproblematisir fakta-temuannya-sendiri bahwa orang Islam diwajibkan imunisasi sementara orang Kristen tidak. Tapi, fakta-temuannya-sendiri itu hanya dikonfirmasi oleh “kata mahasiswa saya”. Tidak ada keterangan tambahan, siapa mahasiswa itu? Di mana gerejanya? Apa dialog “Hei, kamu yang Kristen” itu benar terjadi? Saya meragukan semua itu benar terjadi.
Klaim Alfian bahwa anak-anak yang secara aneh didera sakit berat juga menyebalkan. Alfian tidak menunjukkan bukti maupun penjelasan bahwa sakit-sakit tersebut adalah akibat vaksinasi. Jadi, dari mana ia tahu sakit itu gara-gara vaksin dan bukan karena faktor lain?
Sehabis mengaku bahwa ia sendiri tidak tahu apa-apa soal vaksin, video itu diakhiri dengan satu pertanyaan dan satu pernyataan. Pertama, ia bertanya mengapa orang muslim diatur untuk hanya punya dua anak, sementara orang China boleh beranak banyak (pertanyaan ini tidak ia jawab). Kedua, ia menyatakan bahwa masyarakat menoleransi zina dan hamil di luar nikah, tetapi tidak pada poligini (suami menikah lebih dari satu kali).
Pertanyaan dan pernyataan Alfian jelas ngaco. Di Indonesia, program Keluarga Berencana tidak diberlakukan secara tersegmentasi, semisal hanya untuk suku, ras, atau agama tertentu. Dan alih-alih karena program, kecenderungan untuk punya anak sedikit lebih dipengaruhi oleh faktor makin mahalnya biaya membesarkan anak. Dan entah apa penjelasan Alfian ketika berita bayi dibuang berseliweran di media serta fenomena anti-pelakor yang menjadi hits di 2018.
Tampaknya, saya memang harus maklum pada kualitas intelektual Alfian. Tirto.id pernah mengecek klaim Alfian tentang “85% kader PKI ada di PDI-P” dan terbukti ngawur. Selain itu, tahun lalu, ketika Alfian terbelit kasus ujaran kebencian kali pertama, Rektor Univesitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (Uhamka) di Jakarta mengatakan kepada Tirto.id bahwa Alfian sudah tidak menjadi dosen di kampus tersebut. Pasalnya, Alfian belum menyelesaikan pendidikan S-2-nya sehingga tidak memenuhi syarat menjadi pengajar.
Di video ceramah yang saya tonton, pada banner acara yang dipajang di belakang pembicara, tertulis nama dan gelar lengkapnya: Ust. Dr. Alfian Tanjung. Jika benar pernyataan rektor Uhamka tersebut, memang tidak perlu mengharapkan penjelasan berbobot pada orang yang tidak tahu malu menyematkan gelar doktor palsu. Sayangnya, hingga hari ini belum ada yang mencoba menjelaskan apakah gelar ustadz yang ia sandang itu juga valid.
(Ditulis sambil menahan tawa setiap ingat dialog “Hei, kamu yang Kristen.”)