Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Beranda Esai

Akal Sehat Dan Bahaya Umat Yang Taklid Buta Pada Ulama Tak Kompeten

Kalis Mardiasih oleh Kalis Mardiasih
7 Desember 2017
0
A A
Akal_sehat_Mojok

Akal_sehat_Mojok

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

[MOJOK.CO] “Akal sehat dan iman bisa berjalan berdampingan.”

Sejak berabad lalu, pulau Jawa merupakan kawasan rawan gempa sebab posisinya secara geografis berada di jalur subduksi yang merupakan pertemuan lempeng tektonik Hindia Australia dan Eurasia. Kondisi ini masih ditambah dengan banyaknya patahan (sesar) di daratan yang juga aktif bergerak. Teori tersebut kita pelajari di sekolah sejak SD, SMP dan SMA. Kita menerima itu sebagai kebenaran akal sehat ilmu pengetahuan.

Lalu, secara sporadis, seorang penceramah mengganti pemahaman ini dengan berujar bahwa Yogyakarta sering mendapat azab bencana alam berupa gempa dan gunung meletus akibat terbukti sebagai daerah dengan jumlah free sex tertinggi di Asia setelah Thailand menurut sebuah data survey. Meskipun pernyataan ini menyakiti nalar petugas BMKG atau kawan-kawan aktivis tanggap bencana, lebih-lebih juga korban bencana, tentu saja banyak jamaah pengajian yang akan tetap percaya. Maklum, Indonesia adalah negara yang sangat relijius. Suara ustaz, meskipun merendahkan akal sehat, harus diterima sebagai suara Tuhan.

Saya lalu teringat pemikiran bodoh  yang sempat kuimani dan betul-betul tak ingin kuingat lagi. Entah siapa yang dulu memaksaku percaya bahwa tragedi bom Bali itu bisa dimaklumi. Sepertinya, pada tahun 2000-an itu sebuah stasiun televisi menyiarkan secara langsung berbagai siaran wawancara ekslusif dengan para tersangka yang merupakan kaum ekstremis beragama. Menurut mereka, Bali adalah pulau yang diizinkan oleh Allah untuk diazab, sebab lihatlah Bali, pulau yang hanya berisi maksiat serta pesta pora orang bule memakai bikini.

Jika di Bali ada jutaan pemeluk hindu yang taat, juga pemeluk Islam dari Jawa yang sejak dulu di perantauan mencari nafkah untuk keluarga, tentu tidak menjadi perhitungan. Bom diledakkan dua kali. Sekarang, ingin rasanya saya datang ke Monumen Bom Bali di Legian setiap tanggal 22 Oktober, semata untuk mengingat duka bersama warga yang pernah kehilangan 202 nyawa dan ratusan orang luka-luka.

Tak semua orang yang saklek dalam beragama mendukung tindakan ekstremis. Tetapi pola pikir ekslusif dalam beragama maupun perilaku ekslusif dalam subkultur lainnya sering memiliki bibit potensi untuk kekerasan.

Akal sehat kita dipaksa menerima hal yang bertentangan dengan nalar kita.Masih banyak orang yang memaklumi tragedi di Masjid Al Rawdhah, Mesir, dengan 300 lebih nyawa yang hilang karena pengeboman dan penembakan massal, sebab para korban diukur dengan satu indikator saja, yakni pelaku bid’ah. Sebelumnya pada Februari 2017, ekstremis mengebom sebuah masjid sufi di Pakistan dengan korban 80 jamaah yang tengah beribadah.

Ketika melangsungkan ego penuhanan diri itu, si ekstremis meneriakkan takbir. Ia menjustifikasi lafaz Allahu Akbar untuk melakukan kejahatan kemanusiaan. Dalam skala kecil, mereka yang memaklumi peristiwa penghilangan nyawa dengan alibi pembelaan kepada agama, mengawali pemikiran itu dengan gemar memboikot, meliyankan orang lain, dan menolak tata sosial kemanusiaan.

Itulah mengapa saya merasa aneh kepada sebagian Muslim yang protes kepada sebuah film anak yang dianggap menistakan nilai-nilai Islam karena salah seorang tokoh penjahat di dalam film gemar meneriakkan takbir. Persona teroris di berbagai belahan dunia jelas berkali lipat lebih seram dari musuh Naura atau Haji Muhidin yang dalam sebuah sinetron merupakan tokoh yang gemar berjamaah ke masjid tapi tetap mendengki kepada orang lain. Para ekstremis itu tak hanya meneriakkan takbir, tapi juga berbendera kalimat tahlil.

Persoalan sebenarnya bukan menistakan takbir. Mereka sesungguhnya sedang menistakan diri mereka sendiri karena gagal menafakuri makna takbir. Gus Mus pernah berpesan, menafakuri makna takbir dilatih ketika kita salat. Tepat ketika takbiratul ikram dan menyeru Allahu Akbar, kita seharusnya berada pada posisi nol untuk membuat diri kita merasa sangat kecil. Bukan sebaliknya, merasa jadi besar, apalagi memakai Maha Besar itu untuk mewakili ego paling benar.

Sayangnya, banyak dari mereka ini mengaku sebagai kaum salaf dan salah kaprah mendefinisikan makna salafiyah. Dalam peradaban Islam, kata salafiyah mengemban makna istilahi yang permanen, yaitu menunjuk pada tiga abad (generasi) pertama dalam usia umat Islam. definisi ini disimpulkan dari sebuah hadist, yakni,”Sebaik-baik manusia adalah yang hidup pada masaku, kemudian yang datang sesudah mereka, kemudian yang datang sesudah mereka…”

Dalam perkembangannya, istilah ini kemudian disalahpahami dan disalahgunakan. Sebagian dari mereka mengaku bahwa hanya mereka pewaris kaum salaf, sehingga tidak ada salafis selain mereka. Untuk berbagai kajian cabang agama yang kecil dan parsial, ia butuh berbagai macam dalil untuk mendukung keyakinannya.

Perbedaan pandangan dalam menanggapi sebuah amalan bisa membuatnya mengafirkan orang lain dengan landasan amalan tersebut tak ada dalil, ini menghina akal sehat kita, padahal kenyataannya justru ia sendiri yang belum menemukan dalil itu. Kalau perlu, mayoritas da’i dan ulama yang jujur dan tulus dari seluruh penjuru bumi dianggap tak lebih dari seorang pelaku bid’ah karena soalan ranah privat lagi parsial itu.

Anehnya, untuk persoalan yang menyangkut hajat hidup orang banyak seperti tanggap bencana yang sedarurat itu, ia hanya butuh mitos, rumor, dan desas desus. Dan tentu saja, untuk urusan ini, yang fasik atau kafir tetap orang lain, sebab keyakinan pribadinya kadang-kadang menutup segala peluang untuk terbukanya perspektif yang lebih luas.

Di masa lalu, ketika istilah salafiah muncul di Mesir bersama kepemimpinan Al Afghani dan Muhammad Abduh, ia adalah gerakan reformasi keagamaan yang bermisi membuang kejumudan yang bersumber dari segala pemberhalaan pemikiran yang menyebabkan masyarakat sulit maju. Salaf bukan sebuah gelar yang disematkan kepada sebuah mazhab yang para pengikutnya mengaku sebagai satu-satunya pengemban kebenaran.

Jika kaum salaf terdahulu boleh mengeluh, barangkali ia akan berpesan bahwa yang mesti ditiru dari mereka adalah apa-apa yang mereka gunakan untuk menghasilkan keputusan, seperti kaidah-kaidah penafsiran dan penakwilan teks, serta dasar-dasar ijtihad bil hikmah, bil mauizatil hasanah, dan mujadalah bil ahsan yang sangat mempromosikan nilai-nilai kesetaraan. Mereka juga pasti ingin sekali berpesan,”Tugas memikirkan peradaban adalah kewajiban tiap-tiap kaum Muslimin di segala zaman, bukan monopoli kaum salaf saja. Kreatiflah dalam menafsir zamanmu sendiri.”

Jadi, mengapa masih gemar menjustifikasi ego diri justru dengan mengorbankan nama baik para “salafush salih”?

Terakhir diperbarui pada 7 Desember 2017 oleh

Tags: Aksi bela ulamaulamaustad arifin ilhamUstad SomadUstadz Abdul SomadUstadz Syam
Iklan
Kalis Mardiasih

Kalis Mardiasih

Artikel Terkait

Hanamasa dalam Debat Halal Haram
Esai

Hanamasa dalam Pusaran Halal-Haram bagi Manajemen dan Pelanggan

4 Januari 2022
Mempertanyakan Hukum Kripto dalam Pusaran Fatwa MUI
Esai

Mempertanyakan Hukum Kripto dalam Pusaran Fatwa MUI

16 November 2021
Meme Fatwa Larangan Menggunakan BH dan Sikap Adil sejak dari Hujatan
Esai

Meme Fatwa Larangan Menggunakan BH dan Sulitnya Sikap Adil sejak dari Hujatan

12 Oktober 2021
Esai

Emang Kenapa kalau Syiah?

12 Mei 2021
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Fadli Zon: Narasi Orde Baru dalam Bayang-Bayang Reformasi

Fadli Zon: Narasi Orde Baru dalam Bayang-Bayang Reformasi

12 Juli 2025
Tolak gabung pencak silat PSHT demi ikut karate. Tak menyesal karena jauh dari keributan meski harus dimusuhi saudara sendiri MOJOK.CO

Gara-gara Tolak Gabung PSHT demi Karate Jadi Dimusuhi Saudara Sendiri, Tak Menyesal karena Jauh dari “Keburukan” kayak Pencak Silat

10 Juli 2025
Iseng jadi pengamen liar di Jogja: sehari bisa Rp300 ribu-Rp500 ribu, bantu bertahan hidup saat puluhan lamaran kerja tidak ada yang tembus MOJOK.CO

Iseng Jadi Pengamen Liar di Jogja: Sehari Dapat Cuan Menggiurkan, Tolong Saya saat Luntang-lantung karena Puluhan Kali Gagal Kerja

11 Juli 2025
4 Dosa Warteg Mempermainkan Menu demi Untung Besar, tapi Bikin Rugi Pelanggan Mojok.co

4 Dosa Warteg Mempermainkan Menu demi Untung Besar, tapi Bikin Kapok Pelanggan

15 Juli 2025
Hari-hari putus asa pedagang es teh jumbo MOJOK.CO

Hari-hari Putus Asa Pedagang Es Teh Jumbo: Melamun Berjam-jam untuk Tunggu 1 Pembeli, Sudah Harga Murah Dituntut Tanpa Cela

10 Juli 2025

AmsiNews

Newsletter Mojok

* indicates required

  • Tentang
  • Kru Mojok
  • Cara Kirim Artikel
  • Disclaimer
  • Kontak
  • Kerja Sama
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Laporan Transparansi
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.