MOJOK.CO – Fiuh. Tahun pandemi 2020 berakhir juga. Ada banyak peristiwa politik yang wadidaw dan viral gila-gilaan. Ini lima di antaranya.
Mumpung sedang akhir tahun saya sekali lagi ingin mengucapkan selamat Natal dan tahun baru bagi semua yang merayakannya. Saya tak termasuk yang merayakan keduanya, tapi turut terimbas suasana liburan yang tercipta oleh kedua hari raya itu.
Untuk menemani Anda semua yang merayakan keduanya, merayakan salah-satunya, atau cuma terimbas suasana, mari kita lihat lima peristiwa politik paling wadidaw atau cukup jadi perdebatan selama tahun 2020 ini.
Nomer 1: Penetapan UU tanpa Konsultasi Publik Memadai
Tanggal 12 Mei 2020 Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan undang-undang tentang pertambangan mineral dan batubara (minerba). Pembahasan UU Minerba ini termasuk cepat, bahkan tidak melibatkan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Menurut regulasi, seharusnya DPD dilibatkan dalam pembahasan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Tanggal 5 Oktober 2020 (kebetulan bertepatan dengan hari TNI), DPR dan pemerintah mengesahkan UU Cipta Kerja yang biasanya dikenal sebagai omnibus law, aturan sapu-jagat yang mencakup sejumlah hal secara integratif.
Beberapa aspek dalam omnibus law itu sejak awal mengundang kontroversi, terutama soal hak pekerja serta hubungan mereka dengan lembaga dan pemilik modal.
Penetapan kedua UU itu adalah contoh gerak cepat aktor-aktor negara selama masa pandemi ini, yang menetapkan beberapa kebijakan strategis secara cepat tanpa melakukan konsultasi publik secara memadai. Ini masalah serius dalam demokrasi.
Penguasa memanfaatkan teralihnya perhatian orang karena COVID-19 ini untuk menetapkan regulasi kontroversial. Tentu saja, sejumlah kalangan lalu memprotes keras. Hingga pertengahan Desember 2020, misalnya, omnibus law masih didemo oleh para buruh.
Nomer 2: Pilkada Serentak
Semula, pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak terjadwal untuk dilaksanakan pada tanggal 23 September 2020 di 270 daerah dengan rincian 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. Tapi pandemi membuat tahapan-tahapan pilkada yang akan mulai digenjot bulan April itu sulit dilaksanakan. Karena itu, pilkada harus ditunda.
Pada bulan April 2020, ada tiga kemungkinan opsi penundaan pilkada serentak 2020 yang muncul dalam diskusi-diskusi publik, yakni: (1) pilkada ditunda hingga 9 Desember 2020, (2) pilkda ditunda hingga 17 Maret 2021, (3) pilkada ditunda hingga 29 September 2021. Semuanya hari Rabu. Pada bulan Mei pemerintah, DPR dan KPU menyepakati untuk menunda pilkada sampai tanggal 9 Desember saja.
Sejumlah kalangan memprotes penundaan yang hanya sebentar ini, namun partai-partai politik cenderung mendukungnya. Kalangan yang keberatan dengan penundaan yang hanya sebentar ini melihat pilkada di tengah pandemi sangatlah berbahaya. Ada potensi kerumunan massa yang bisa menjadikan pilkada sebagai klaster baru.
Untuk itu, banyak ahli dan pengamat yang terus mengingatkan agar opsi penundaan pilkada hingga tahun 2021 tetap dibuka.
Ekspresi kekhawatiran yang terus diungkapkan ke publik tentang potensi penyebaran virus dalam kerumunan (karena) pilkada itu tampaknya justru membuat semua pihak jadi waspada. Meski ada pelanggaran protokol pandemi di sana-sini (terutama saat pendaftaran calon dan kampanye), pelaksanaan tahapan-tahapan pilkada itu sendiri berjalan dengan kesadaran pandemi yang baik.
Hanya saja, hasil proses politik pilkada itu tak sepenuhnya menggembirakan. Di sejumlah daerah, masih banyak kandidat yang maju dengan cantolan politik keluarga sangat kuat: ada istri bupati di beberapa daerah, ada anak dan menantu presiden, ada anak wakil presiden, ada anak pimpinan DPR, dan semacamnya. Sebagian besar istri-anak-mantu itu memenangkan pilkada.
Bagi demokrasi, peristiwa politik ini punya potensi bahaya lebih besar daripada virus SARS-CoV-2.
Nomer 3: Nikita Mirzani vs FPI
Ini sebenarnya agak abu-abu, apakah termasuk kabar peristiwa politik benar-benar, ataukah kabar infotainmen semata. Tapi dengan asumsi bahwa politik adalah segala hal tentang kuasa dan sumberdaya, maka ini jelas-jelas fenomena politik.
Kejadiannya adalah: tanggal 10 November, tokoh Front Pembela Islam (FPI) MRS akhirnya bisa pulang ke Indonesia setelah tertahan beberapa lama di Arab Saudi, selebriti Nikita Mirzani menyambutnya dengan sejumlah kicauan sinis di medsos, lalu FPI meresponnya dengan ucapan-ucapan keras.
MRS adalah contoh orang dengan panjatan sosial paling hebat di Indonesia dalam dua-tiga dekade terakhir. Dia sebenarnya bukan tokoh yang punya track kuat dalam aktivitas keagamaan.
Area pengaruhnya semula terbatas di kawasan sekitar rumah di Petamburan. Tapi permainan elite politik membantunya untuk menaiki satu anak tangga penting di saat yang paling tepat: sejumlah jenderal menyeponsori pembentukan organisasi paramiliter yang melambungkan nama MRS sebagai pimpinan.
Kita mengenal organisasi itu sebagai FPI.
Tak cuma itu, MRS dengan cerdik melemparkan ucapan-ucapan pedasnya pada nama-nama besar (meski paramiliternya bekerja dalam isu-isu rutin sehari-hari, seperti warung buka saat Ramadlan). Dengan menyerang tokoh-tokoh besar (misal, Gus Dur di masa silam), MRS membuat ilusi bahwa dia adalah tokoh penting. Masalahnya, publik percaya dengan ilusi itu.
Nah, NM menurunkan lagi MRS dari tangga sosial ilusif itu, dengan menjadikan MRS dan FPI sebagai mitra berpolemik di medsos dan media massa. Lawan tanding MRS cukup NM, ternyata.
Nomer 4: Reshuffle Kabinet
Jelang penghujung tahun, dua orang menteri dalam pemerintahan Joko Widodo ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mereka adalah Edhy Prabowo (menteri kelautan dan perikanan) dan Juliari Batubara (menteri sosial).
Keduanya berasal dari partai politik, serupa dengan Idrus Marham dan Imam Nahrawi dari periode terdahulu yang juga terjungkal karena kasus korupsi dan berasal dari partai politik.
Presiden Jokowi jelas memerlukan pengganti yang definitif bagi kedua orang tersebut. Tak hanya itu, dia ternyata memperoleh momentum yang pas untuk mengganti sejumlah menteri yang performanya kurang nampak atau mengganggu kinerja kabinet. Itulah sebabnya dia melakukan reshuffle kabinet agak meluas.
Tanggal 23 Desember, Joko Widodo melantik enam orang menteri baru.
Tri Rismaharini (menteri sosial), Wahyu Sakti Trenggono (menteri kelautan dan perikanan), Sandiaga Uno (menteri pariwisata dan ekonomi kreatif menggantikan Wishnutama), Budi Gunadi Sadikin (menteri kesehatan menggantikan Terawan Agus Putranto), Yaqut Cholil Qoumas (menteri agama menggantikan Fachrul Razi) dan Muhammad Lutfi (menteri perdagangan menggantikan Agus Supramanto).
Dengan pelantikan menteri-menteri baru itu, dua rival Jokowi dalam pemilihan presiden 2019, yakni Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno, sudah sepenuhnya berada dalam kabinet. Tak ada lagi figur oposisi publik yang cukup kuat.
Pemerintahan Jokowi kini cuma bisa diseimbangi secara formal oleh DPR (yang kita tahu tak bisa berharap banyak), dan oleh civil society yang kita harapkan tetap kritis.
Kebiasaan Jokowi memangku lawan politik ini memang efektif bagi pemerintahan, tapi tak bagus bagi demokrasi. Semoga hal seperti itu tak menjadi model bagi presiden-presiden berikutnya. Dan semoga Anda tak termasuk yang mati kena pangku.
Nomer 5: Luna Maya Bersepeda di Nanggulan
Lho, Anda pikir peristiwa politik yang penting untuk dicatat hanyalah yang berskala nasional dan serba ngejreng?
Anda salah. Seorang politisi Amerika Serikat yang pernah menjadi ketua House of Representative, Thomas O’Neill Jr pernah mengatakan, “All politics is local.” Politik pun bisa tampak dalam kejadian sehari-hari yang seolah tidak politis.
Oktober 2020, Luna Maya mengunggah fotonya sedang mengendarai road bike di area persawahan yang sedang menghijau di Nanggulan, Kulon Progo. Tak berapa lama berselang, jalur tak-lebar di tengah persawahan di Nanggulan itu kondang sebagai “jalur Luna Maya” atau “rute Luna Maya.”
Bukan cuma Luna maya sebenarnya yang mengunggah foto di jalur itu, tapi juga Wulan Guritno dan Dian Sastrowardoyo. Tapi publik merayakannya sebagai jalur Luna Maya.
Kabar seperti itu dengan lekas mengundang kunjungan wisatawan, baik lokal DIY maupun dari luar. Warung yang disinggahi Luna Maya jadi ramai dikunjungi orang. Promosi pariwisata ke Kulon Progo sangat terbantu oleh kejadian ini.
Sekadar mengingatkan, Kulon Progo adalah sebuah kabupaten di DIY yang berhasil mengubah citra diri sebagai daerah terbelakang menjadi daerah tujuan wisata yang eksotis. Kepemimpinan Hasto-Sutedjo sangat berhasil mengubah citra itu.
Kehadiran Luna Maya dan melegendanya jalur sepeda dia di sana, adalah kelanjutan saja dari kemampuan sebuah pemerintahan mereformasi diri. Kehadiran para aktris papan atas di sana, sangat boleh jadi, adalah bagian dari promosi pariwisata yang amat kolaboratif, khas era disruptif. Ini adalah governance dalam praktik.
Jadi, sudahkah Anda menelusuri jalur Luna Maya itu?
BACA JUGA Nilai-Nilai Luhur dan Positif Dinasti Politik Keluarga Jokowi yang Tak Disadari Banyak Orang dan tulisan Abdul Gaffar Karim lainnya.