MOJOK.CO – Ada 5 alasan mengapa Pilpres 2019 ini layak ditahbiskan sebagai pilpres terlucu sepanjang sejarah Republik Indonesia sejak merdeka.
Di balik segala temperatur panasnya, pemilihan umum khususnya pemilihan presiden selalu membawa kelucuan-kelucuan yang khas. Pada era Orde Lama misalnya, partai mana pun yang menang tidak akan berpengaruh apa-apa. Presidennya ya tetap Bung Karno.
Partai pemenang tidak akan bisa banyak membuat terobosan, karena garis komando politik tetap dipegang oleh sang presiden yang rencananya seumur hidup. Menang kalah cuma urusan banyak-banyakan kursi dan jumlah menteri. Buat seremoni aja. Lucu aja sih.
Orde Baru tak kalah lucu. Masyarakat era itu terkondisi kompak berpura-pura antusias dan berdebar menanti kepastian partai mana kah yang akan menang pemilu legislatif. Kampanye di jalanan pakai motor knalpot blombongan, kayak benar-benar mau berebut menang pemilu aja.
Padahal sejak awal siapa pemenang pemilu dan siapa presidennya sudah ketahuan. Semacam reality show begitu, biar Sang Bapak senang termehek-mehek.
Kelucuan demi kelucuan dalam pesta demokrasi di Indonesia ini terus bergulir menyesuaikan zamannya bahkan hingga era pseudoreformasi di mana kandidat presiden tak lagi tunggal.
Pada Pilpres 2014 lalu, kita disuguhi dagelan gaya baru: persaingan antar kandidat dibumbui isu agama, etnis, dan latar belakang pribadi. Sebenarnya sih dalam pilpres-pilpres sebelumnya juga ada, tapi yang 2014 itu porsinya lebih banyak. Bahkan kebanyakan dan terbukti tahan lama. Pakai pengawet kayaknya.
Lalu bagaimana dengan Pilpres 2019 ini?
Selain menyempurnakan ke-ndableg-an era 2014, kontestasi tahun ini juga siap menyajikan kelucuan-kelucuan yang khas dan pantas ditertawakan dari generasi ke generasi.
Paling tidak, saya menemukan ada 5 alasan mengapa Pilpres 2019 ini layak ditahbiskan sebagai pilpres terlucu sepanjang sejarah Republik Indonesia sejak merdeka. Mengapa demikian? Yuk, cekidot.
1. Orang-orang rela dipanggil dengan nama binatang
Pasca 2014, para pendukung fanatik kedua pasangan capres terbagi dalam dua kubu: Cebong dan Kampret.
Anehnya, biasanya orang Indonesia paling benci jika dipanggil dan saling memanggil dengan nama binatang, tapi kali ini kedua kubu tersebut malah cenderung bangga dengan label tersebut. ”Sebagai cebongers, kami merasa…” atau; ”Sebagai kampret, apapun yang terjadi, pokoknya…” Yah, semacam itu.
Tahu gitu, kenapa juga dulu tidak dipanggil undur-undur dan kecoa saja? Ya biar puas aja manggilnya. Pas aja untuk nama binatang hama gitu. Eh, hama bukan sih mereka itu?
Sayangnya, untuk kedua jenis hama ini, tidak ada pestisida yang diperbolehkan dipakai untuk memberantasnya. Karena mereka-mereka ini, seberisik, dan seunfaedah apapun, ya tetap saudara kita juga.
Meskipun secara mutu barangkali mirip kitab suci yang terlampau lapuk: dibaca udah nggak bisa, dibuang berdosa.
2. Munculnya spesies baru: kutu loncat
Di tengah-tengah rivalitas derby kedua hama tadi, entah bagaimana awal proses evolusinya ternyata spesies hibrida baru yang antik muncul, yakni kutu loncat. Mereka ini adalah jenis mutasi genetis cebong atau kampret yang memilih nyeberang untuk mendukung capres rivalnya.
Motif membelotnya bukan lantaran mendapat insight atau hidayah hakikat kebenaran atau apalah, melainkan lebih karena ada kepentingan politis atau bahkan ada dendam. Selain politisi, para buzzer juga ada yang terjangkit sindrom mutasi genetika ini.
Kan lucu, sih, cebong sama kampret beradu, hasilnya malah memunculkan kutu loncat. Ini bijimana ceritanya sih.
3. Yang nyapres siapa, yang ribut siapa
Pilpres zaman now ini, isu sereceh apapun bisa dipakai untuk menyerang capres kubu lawan. Jangankan isu asal-usul dan rekam jejak, soal jumatan sama pulpen yang dipakai saat debat saja jadi isu. Lha kan gueendheng.
Bukan hanya masing-masing capres dan keluarganya yang jadi sasaran, melainkan juga antar laskar juga saling serang. Dari yang sekadar saling olok, sampai saling mengafirkan. Dari yang sekadar bertanya, sampai diusir beramai-ramai. Wah, seru.
Uniknya, ketika para fans baku bully, sementara kedua capres justru saling berangkulan, bahkan saling memuji. Para fans ini bahkan rela segala pahala yang capek-capek dikumpulkan seumur hidupnya hilang lantaran menyebar fitnah dan aib soal capres kubu lawannya. Semua cuma demi bisa melihat capres lawannya itu kalah. Yaelah, gitu amat.
Padahal capresnya sendiri belum tentu ingat sama mereka. Jangankan ingat, kenal aja belum tentu sudi. Iya, sih, semua itu dilakukan dalam rangka mengendorse kandidat masing-masing demi meraup sebanyak mungkin suara dan menang. Karena setiap satu suara itu berharga.
Namun jika ente dihargai cuma biar mau ngasih suara, dan setelah suara ente berhasil didapat lalu entenya dicampakkan, terus perjuangan kemarin buat apa?
Apakah kehidupan cintamu masih kurang pedih untuk menyadarkanmu betapa kejamnya dunia tikung-menikung ini, Kusmiran? Etapi ini bukan anjuran golput lho ya.
4. Kedua pasangan capres-cawapres hobi bikin kecele
Tragisnya, sudah dibela-belain sampai rela mengklaim jadi ahli surga untuk ngatain kubu lain ahli neraka, lha, yang didukung malah sama-sama punya hobi bikin kecele.
Yang satu hobi beretorika dengan data ngawur menjurus takhayul terus ketabok sendiri, yang satunya hobi overclaim dan bikin kebijakan-kebijakan ajaib lalu dianulir sendiri.
Hobi bikin pernyataan dan tingkah ajaib ini bahkan bukan hanya monopoli para capres, melainkan para kandidat cawapresnya masing-masing juga.
Akhirnya, para fanboy dan laskar buzzer–nya harus pontang-panting mencari bahan buat ngeles. Semaksa apapun, yang penting ngeles, karena mengakui blunder junjungan adalah haram hukumnya.
Inti persaingan itu kini bukan lagi soal bagaimana caranya negara ini dipimpin oleh figur yang beneran bagus, atau minimal lesser evil, tapi sudah demikian terdegradasi sampai cuma sebatas yang-penting-jangan-sampai-capres-mereka-yang-menang.
Soalnya malu aja kalau kalah nanti bisa-bisa dibully sampai 5 tahun ke depan. Apalagi bagi pihak yang udah pengalaman.
5. Nggak berakhir di Pilpres 2019
Oh, jadi kalian berharap panasnya tensi Pilpres 2019 ini segera berlalu, kemudian dunia kembali seperti semula, damai tak ada monster dan sebagainya? Oh, tidak semudah itu, Pokijan.
Jika kali ini Jokowi menang, maka pada Pilpres 2024 nanti dia nggak bisa nyapres lagi. Etapi Prabowo kan masih bisa. Sandiaga juga. Malah bisa jadi mereka berdua akan saling bersaing.
Bisa jadi juga mereka kembali berduet untuk melawan kandidat lain, yang kemungkinan akan didukung oleh para eks loyalis Jokowi. Kebayang nggak bakal gimana berisiknya membayangkannya?
Tetapi, itu belum seberapa dibandingkan jika ternyata Prabowo yang menang. Karena itu artinya doi bisa nyapres lagi, Bang Sandi juga, dan—tentu saja—Jokowi juga. Mampus, mampus, lu.
Jadi gimana? Udah siap menghadapi Cebong vs Kampret 4.0 pada 2024 esok?