MOJOK.CO – Anies Baswedan sedang anget-angetnya jadi sorotan. Formula E belum beres, malah mancing masalah dengan sergub larangan iklan rokok.
Bulan Juli 2019 merupakan momen spesial bagi Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan. Pada bulan itu dua peristiwa penting telah dihelat untuk menunjukkan peran internasionalnya ke publik.
Sepuluh hari sebelum menyatakan akan menggelar balap mobil Formula E melalui akun Facebook-nya pada 14 Juli 2019, Anies Baswedan menulis surat ajakan kerja sama untuk menutup ruang bagi kaum perokok di semua wilayah Jakarta.
Surat bertanggal 4 Juli itu ditujukan kepada orang terkaya di New York sekaligus pendiri “Bloomberg Philanthropies” Michael Bloomberg.
Surat itu beredar di masyarakat dalam sebulan terakhir ini. Selain mengajak kerja sama, surat itu juga melaporkan program pelarangan iklan rokok di semua sudut kota Jakarta dan rencana pelarangan display rokok di gerai penjualan.
Formula E, kita tahu, sejak diumumkan sudah menuai kritik dari banyak kalangan. Kementerian Sekretariat Negara pada 20 Februari 2020 sampai menegaskan, Monas adalah wilayah cagar budaya dan tak layak jadi area balapan.
Yang lebih disorot, program itu berisiko memboroskan anggaran DKI. Terbukti, untuk tujuan itu sampai program benah-benah sungai dan selokan di tahun anggaran 2020 harus dipangkas. Lalu pandemi datang dan publik menerima kabar bahwa rencana balapan ditunda. Lega hati publik.
Tetapi, pandemi rupanya cuma menenggelamkan kegaduhan isu itu di media. Rencana balapan tak benar-benar ditiadakan.
Dua tahun kemudian, publik dikejutkan oleh kabar dari kantor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Pemda DKI telah menyetor uang fee Rp1 triliun kepada panitia Formula E Operations (FEO) sepanjang 2019. Uang sebanyak itu baru separuh dari total Rp2,3 triliun. Belum termasuk dana untuk perhelatan.
Gubernur Anies Baswedan terus menghadapi berbagai kritik pedas. Rencana interpelasi DPRD pun sedang disusun dan bisa menjadi blunder politik. Pendek kata, niat untuk memerankan posisi internasional Pak Gubernur sedang menemui jalan terjal.
Jalan yang sama sulitnya ini terjadi pula dalam kampanye soal pelarangan rokok. Usai Pak Gubernur Anies Baswedan berkirim surat kepada Mike pada 4 Juli 2019, ia mengeluarkan Seruan Gubernur (Sergub) Provinsi DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2021 tentang “Pembinaan Kawasan Dilarang Merokok” pada 9 Juni 2021.
Salah satu seruan itu mengatur pelarangan memasang reklame rokok di dalam ruangan (indoor) maupun di luar ruangan (outdoor), plus pelarangan memajang bungkus rokok di tempat penjualan.
Menurut pakar hukum, seruan itu berpotensi menabrak setidaknya tiga prinsip dasar, yakni prinsip pengendalian, proporsionalitas/keadilan, serta hak konstitusional warga, dan melanggar aturan di atasnya.
Pertama, pelanggaran hak konstitusional.
Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 6/PUU-VII/2009 dan No. 54/PUU-VI/2008, ditegaskan bahwa rokok adalah produk yang secara hukum legal. Terbukti dengan dikenainya cukai oleh negara.
Karena itu, pelarangan atas kegiatan promosi, iklan dan penjualan, kata MK dalam amar putusannya, sama dengan melanggar hak konstitusional yang dijamin oleh Pasal 28A, Pasal 28B ayat (2), Pasal 28C ayat (1), Pasal28F UUD 1945.
Kedua, melanggar prinsip proporsionalitas dan keadilan.
Disebutkan dalam Putusan MK No. 57/PUU-XI/2011, pemerintah/pemerintah daerah wajib menyediakan ruang merokok di ruang publik. Dalam putusan tersebut, MK menghilangkan kata “dapat” dengan “harus” menyediakan tempat merokok, sebagaimana yang tertera dalam Pasal 115 UU Kesehatan No. 36/2009.
Ketiga, melanggar prinsip pengendalian.
Pelarangan total terhadap penyelenggaraan reklame rokok di seluruh kawasan DKI Jakarta berpotensi melanggar PP 109/2012 tentang pengendalian rokok. Dalam Pasal 31 disebutkan kebolehan pemasangan reklame dan iklan rokok di ruang tertentu.
Bahkan dalam PP No. 109/2012 Pasal 50 ayat (2) secara verbal dibolehkan melakukan kegiatan penjualan, periklanan dan promosi di tempat penjualan rokok, termasuk di lingkungan yang sudah jelas disebut sebagai Kawasan Tanpa Rokok (KTR).
Sergub mendapat tentangan keras dari berbagai asosiasi. Asosiasi produsen rokok, masyarakat tembakau maupun pengusaha retail tengah menyusun somasi dan gugatan terhadap beleid tersebut.
Dua peristiwa politik di Bulan Juli 2019 itu mungkin dimaksudkan untuk mendapatkan simpati publik. Secara politik, dua peristiwa itu dapat dibaca sebagai penegasan positioning sang gubernur akan kepatutannya menduduki posisi nomor satu di Indonesia. Tetapi, menyusun proyek simpatik tak boleh mengabaikan asas kepatutan apalagi sampai menabrak regulasi.
Yang menarik, dua peristiwa itu memiliki kesamaan dari sisi asal kota pihak yang dijalin Gubernur. Kantor pusat Formula E berada di New York, Amerika, dan Mike, pengusaha yang anti rokok dan pemilik saham perusahaan farmasi global Novartis, juga berdomisili di New York.
Kini, dua peristiwa itu tak saja penting, sekaligus unik.
Pada kasus Formula E, Pak Gubernur Anies Baswedan barangkali sedang ingin menyalurkan hobinya pada balap mobil, sekaligus bermaksud memberi hiburan untuk warga Jakarta maupun Indonesia.
Sedangkan pada kasus surat untuk Mike, yang diikuti dengan keluarnya Sergub, Gubernur Anies Baswedan sedang mengungkapkan perasaan bencinya terhadap asap rokok. Sekaligus ingin mengampanyekan ketidaksukaannya terhadap rokok ke warga Jakarta dan sekitarnya.
Dari sana, setidaknya kita jadi bisa belajar, bahwa untuk merealisasikan perasaan suka atau benci—siapapun orangnya dan apapun alasannya—ia tidak bisa hanya mengandalkan cara yang baik, tapi juga harus dilandasi cara yang benar.
Sesuatu yang seharusnya diketahui oleh seorang Anies Baswedan, gubernur yang “baik” meski kerap tidak cukup benar.
BACA JUGA Kejeniusan Anies Baswedan di Balik Anggaran Formula E dan tulisan Hasan Aoni lainnya.