MOJOK.CO – Bagaimana rasanya jadi anak yang tinggal di rumah mertuanya Bapak? Tiap hari harus mendengar perang dingin. Selama 20 tahun lagi.
Banyak yang mengatakan bahwa serumah dengan mertua akan menciptakan neraka dalam kehidupan pernikahan. Penyataannya itu bisa benar bisa salah. Aku sendiri tidak berhak membenarkan pernyataan itu 100 persen karena masih belum menikah, tapi aku tahu betul bahwa ada banyak masalah yang dihadapi ketika serumah dengan mertua.
Hal itu tidak lain tidak bukan karena bapakku tinggal di rumah orang tua ibuku, alias mertuanya, a.k.a kakekku. Iya, sejak aku lahir, kami sekeluarga tinggal di rumah kakek (bapaknya ibuku), yang biasa aku panggil “Abah”.
Baiklah aku tahu, ini sedikit aneh. Biasanya perempuan lah yang tinggal dengan mertua. Lah ini bapakku malah kebalik, beliau lah yang ketiban apes harus tinggal dengan mertuanya.
Waktu kecil aku pernah bertanya; kenapa bukan Ibu yang tinggal di rumah orangtua Bapak? Hanya saja, aku tak ingat betul keseluruhan jawaban Ibu waktu itu apa.
Salah satu alasan yang aku ingat, Ibu dan Bapak harus menjaga Abah karena anak-anak Abah yang lain sudah berkeluarga dan tinggal di rumah masing-masing. Praktis, dari sini kelihatan bahwa anak (dan menantu) yang mau merawat Abah secara langsung dengan rela tinggal satu rumah dengan mertua hanya bapakku saja.
Meski kalau dipikir-pikir lagi, rumah anak Abah yang lain sebenarnya hanya berjarak beberapa meter juga sih sebenarnya. Artinya, anak-anak Abah yang lain sebenarnya bisa saja ikut merawat abah. Tapi entahlah, orang dewasa mungkin selalu punya alasan dan konfliknya sendiri-sendiri.
Kata orang-orang, hanya beberapa hari tinggal dengan mertua saja rasanya sudah seperti neraka (kayak pernah ke neraka aja), tapi ajaibnya bapakku bisa survive selama 20 tahun! Iya, 20 tahun.
Kalau aku ingat-ingat lagi, rasanya aku kagum sekaligus ngeri. Bagaimanapun juga Bapak pasti telah menahan segala ego dan emosinya selama 20 tahun terakhir. Ya kalau tidak Bapak pasti sudah minggat sejak hari pertama tinggal bareng mertua.
Sama seperti kebanyakan pernikahan, aku juga melihat banyak masalah dalam pernikahan orang tuaku. Untungnya, tidak ada satu pun yang bisa membuat Bapak nekat meninggalkan Abah.
Bukan karena betah, sebenarnya Bapak pernah cerita beberapa kali bahwa dia ingin kami semua pindah dari rumah mertua, tapi entah apa yang menahannya. Entah karena khawatir kalau kami pindah itu artinya membuat Ibuku harus meninggalkan Abah sendirian, atau apa, sampai sekarang aku tak tahu pasti.
Padahal, Abah dan Bapak sama sekali tidak akur. Keduanya memang tidak pernah bertengkar secara frontal, tapi sejak aku masih kecil, aku sering mendengar Abah menggerutu bahkan sampai mengucapkan sumpah serapah. Setelah agak besar aku baru paham segala sumpah serapah itu ternyata selalu ditunjukkan untuk bapakku.
Meski Bapak selalu diam mendengar sumpah serapah itu, tapi dari gestur Bapak, aku bisa menangkap bahwa Bapak sedang ada perang dingin dengan Abah. Setidaknya, seumur hidup, aku tidak pernah melihat menantu dan mertua ini bercengkrama dengan cair. Tidak sekalipun.
Jika mereka ada di ruangan yang sama, ruangan itu akan menjadi sangat canggung, seolah-olah baru kemarin Bapak melamar Ibu. Aih, masalah orang tuaku ini memang rumit betul.
Sebagai seorang anak, kondisi seperti ini tidak menyenangkan. Tinggal di rumah mertua Bapak dengan kondisi selalu mendengar orang yang marah-marahin keluarga kami seperti itu. Benar-benar bukan kondisi ideal untuk seorang anak.
Meski begitu, bukan berarti kondisi Ibu lebih baik walaupun tinggal di rumah orang tuanya sendiri. Posisi Ibu selalu jadi serba-salah.
Ibuku harus pintar-pintar menempatkan diri sebagai anak dan istri. Setiap hari, Ibu harus siap jadi tempat Bapak mengeluh tentang Abah, plus jadi orang yang sering pula kena semprot Abah. Terutama kalau Abah lagi sebal sama menantunya itu.
Nah, sialnya karena aku anak pertama, aku jadi sering kena getahnya. Aku adalah cucu yang paling sering dimarahi Abah. Apapun bisa jadi masalah. Seolah kemarahan Abah ke Bapak selalu diwariskan ke aku.
Pernah suatu ketika Bapak sedang tidak bekerja dan dia masih tidur-tiduran di siang hari, Abah bisa-bisanya bilang begini kepadaku, “Hees teh deket ka maot, jelema nu hees wae moal manggih rizki ti pangeran. Mun sia hayang hees wae sok ulah cicing diimah aing.” (Tidur itu dekat kepada kematian, orang yang tidur terus tidak akan mendapat rezeki dari Tuhan. Kalau kamu mau tidur terus, jangan tinggal di rumah saya).
Jika disampaikan dengan nada yang lemah lembut tentu itu akan jadi nasihat yang baik, masalahnya Abah berkata dengan nada yang sangat tajam dan keras. Aku pun jadi ikut gemeteran karena tak mampu membantah atau berkata apapun.
Iya, sama seperti Bapak, aku juga hanya bisa diam jika Abah sedang kambuh mengeluarkan sumpah serapah seperti itu. Padahal itu keluar dari mulut mertua ke menantu, hanya saja kerap kali arah kemarahan itu juga ditujukan ke aku.
Di berbagai kesempatan, Abah alias mertua Bapak pun tak segan secara frontal mengusir kami. Seperti saat Abah tidak menemukan makanan di rumah.
“Geura narindak sia, ngontrak ke rek kumaha terserah. Aing onam eweh saria ge moal kalaparan.” (Cepat pergi kalian, mau ngontrak atau gimana, terserah. Saya tidak akan kelaparan kok meskipun kalian tidak ada).
Kalimat itu sudah sering aku dengar. Tabiat Abah memang seperti itu sejak aku kecil. Meski sudah terbiasa, tapi tetap saja aku merasa sedih dan selalu sakit hati tiap mendengarnya. Aku memang kerap mencoba maklum karena Abah sudah tua, tapi itu jelas berat sekali kalau harus mendengar sumpah serapah seperti itu hampir setiap hari.
Aku tidak tahu siapa yang salah. Tapi dari sudut pandang Abah, aku menangkap bahwa sebagai mertua, dia mungkin kecewa dengan Bapak karena belum bisa memberikan kehidupan yang baik untukku dan Ibu. Hal itu sama sekali tidak salah mengingat kami memang hidup pas-pasan (untuk tidak menyebutnya miskin).
Abah juga sebenarnya orang yang baik, rajin bersedekah, suka memberikan kami hadiah, dan senang bercerita pada cucu-cucunya. Tentu dengan catatan dia tidak sedang kesal pada menantunya, alias bapakku.
Sementara Bapak, aku tahu betul dia sudah berusaha semaksimal mungkin untuk membahagiakan kami meski hasilnya belum memuaskan. Problemnya, sumpah serapah yang diucapkan bapak mertua makin hari malah makin malah membuat Bapak tambah putus asa.
Sebagai anak, aku sebenarnya hanya menginginkan rumah yang adem ayem dan cair. Rasanya pasti sangat menyenangkan jika bisa melihat Bapak dan Abah bercengkerama sambil sesekali melempar jokes bapack-bapack, lalu aku cekikikan di antara mereka berdua.
Sayangnya, hal itu tidak akan tidak pernah terjadi karena Abah telah meninggal dunia beberapa bulan yang lalu. Iya, bapak mertua bapakku telah meninggalkan kami semua. Meninggalkan pelajaran penting bagiku, bahwa kalau kelak aku nanti menikah: jangan sekalipun berpikir untuk tinggal bareng-bareng dengan mertua.
Sebab, sudah seumur hidup aku merasakannya meski itu bukan bapak mertuaku sendiri, dan aku tidak ingin merasakannya lagi di sisa umurku nanti.
BACA JUGA Dugaan Penelantaran Orang Tua ke Panti Jompo Memang Perlu Dilihat dari Dua Sisi dan ESAI lainnya.