“Ya Tuhan, kadang-kadang saya berharap, alangkah baiknya jika tidak pernah ada agama…. Orang-orang seibu-sebapak ancam-mengancam berhadap-hadapan karena berlainan cara mengabdi kepada Tuhan yang Maha Esa….” (Surat Kartini pada Stella, 6 November 1899)
Tiba-tiba saya merasa sangat malu. Sungguh, betapa bebalnya kita-kita yang hidup di era medsos begini tapi sangat pekok hanya untuk memahami pandangan hidup beragama senatural surat Kartini itu. Sebuah wacana yang amat sangat mudah untuk dimengerti dan diterima bahkan oleh pemilik otak sebesar biji polong.
Wacana beragama yang sesederhana itu menjadi rumit lantaran kita-kita ini mengidap firaun-compulsive disorder: sebuah kekacauan-lebay akibat meniru Firaun. Iya, Firaun yang menobatkan dirinya sebagai Tuhan itu. Diam-diam kita ternyata lebih demen mengikuti Firaun ketimbang meneladani Kartini.
Mungkin karena Firaun lelaki maskulin plus produk luar negeri yang di kepala kita selalu tergambar lebih keren dan unyu dibanding Kartini yang feminin plus ndeso dari Kalinyamat. Pret! Dalam surat al-Qashshas (28) ayat 38, Firaun berkata, “Wahai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui Tuhan bagimu selain aku….” Wow! Firaun benar-benar adalah Guru Ultrahipokrit yang maha sempurna.
Carilah sejagat raya, nggak ada yang sanggup menandingi mega-pongahnya Firaun ini. Mau orang terkaya macam Qarun, terseksi macam Cleopatra, terasis macam Hitler, terhedonis macam Syahrini, terhaduh macam Saipul Jamil, atau sekalian yang terbesar-terasli macam Dek Safitri, semuanya lewat di hadapan ultrahipokrisi Firaun.
Tapi saya sama sekali nggak terkesan dengan hipokrisinya si Firaun ini. Iya, saya mah gitu orangnya. Suka mikir yang wakwaw–wakwaw! Oh, bukan, ini bukan tentang menyedihkan urusan dia di akhirat. Biarin dia sendiri yang urus, lha wong urusan saya sendiri kelak ya belum tentu baik kok.
Harap maklum, saya bukan Para-Panitia-Ahli-Surga itu. Saya hanya prihatin pada Firaun yang saya kira jelas-jelas telah sesat pikir ketika menyangka bahwa menjadi Tuhan itu enak sekali. Sejarah kemudian menuturkan bahwa Firaun gagal telak mengemban pangkat yang disematkannya sendiri. Kau kira menjadi Tuhan itu mudah, ‘Un? Enak gitu? Jelas berat, jelas nggak enak banget.
Bayangkan, deh, menjadi Tuhan tentu harus menjadi Maha Kuasa atas segala-galanya. Namanya kekuasaan, di mana-mana, niscaya tak pernah steril dari pemberontakan. Ini hukum alam. Lebih halusnya, sebut saja patahan atau penyimpangan. Derrida bilang differance, Foucault bilang diskontuinuity, dan Baudrillard bilang hiperreality. Pemberontakan Nambi, DI/TII, RMS, hingga yang rada-rada malu kucing macam HT yang ingin mengganti Pancasila itu merupakan sederet bukti historis bahwa kekuasaan akan selalu mendapatkan antitesanya.
Kalau Tuhan yang beneran Tuhan sih woles; mau kufur-kufur gimana juga, sedobohin ajalah, terus aja kasih rezeki, biarkan hidup, biarkan beranak-pinak, kelak kalau sudah modar ya tinggal dibakar di neraka. Kalau Firaun? Inilah kebodohan kompulsif Firaun yang tergesa-gesa menobatkan dirinya sebagai Tuhan di saat belum memiliki “kekuatan ultra” sebagai senjata khas Tuhan dalam menghadapi kaum pemberontak.
Apa itu? Sederhana sekali: biarin aja manusia mau gimana, biarin hidup, biarin bertingkah, biarin berkoar-koar, toh pada saatnya akan bertanggung jawab sendiri-sendiri atas segala tingkah-lakunya. Nih dasarnya untuk Sampeyan yang apa-apa merasa kudu ada dalil naqlinya: An-Nahl (16) ayat 93: “Dan jika Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kalian satu umat saja….” Lha ngadepin Musa saja Firaun keok kok, terus gimana ngatasin kaum ihik-ihik yang kian bertebaran di negeri ini yang bersenjatakan ribuan akun? Iya, mereka yang tanpa ampun selalu menyebut dirinya sebagai terbenar dan terlurus.
Udah to, mari kompakan untuk mencukupkan Firaun saja sebagai martir ultrahipokrisi pengaku-ngaku Tuhan itu. Nggak usah ditiru-tiru, eman-eman kesehatanmu, karena niscaya Sampeyan akan lelah banget bila terus ngekor Firaun dengan bergaya Tuhan yang Maha Kuasa. Sampeyan akan kram otak sendiri, lalu seiring jalannya waktu diterkam stroke bukan karena kebanyakan makan enak-enak.
Rugi kuadrat banget, tho? Wong Gusti Allah yang beneran Tuhan yang Maha Kuasa saja sante kok membiarkan manusia tidak jadi satu umat yang seragam (inilah yang saya maksud “senjata ultra” Tuhan), seperti ditegaskan An-Nahl 93 tadi. Lha kok Sampeyan begitu kompulsifnya melelahkan diri hendak menyeragamkan dunia dalam satu gerbong yang jelas sangat mustahil. Atas nama dakwah lagi. Dakwah sih dakwah, Akhi.
Saya amini bahwa dakwah itu panggilan jiwa setiap muslim. Tetapi, mari ingat selalu, di kitab suci kita, dakwah hanya diserukan dengan tiga pola: bil-hikmah (dengan kasih sayang) atau mau’izhah hasanah (nasihat yang baik) atau jadilhum (berdialog atau berdebatlah) dengan ahsan (cara-cara yang baik).
Catat: semuanya harus baik-baik. Otomatis, segala bentuk dakwah yang memantik keributan tidaklah sesuai dengan tuntunan kitab suci kita, termasuk kebiasaan nyesatin, ngafirin, apalagi nyerang-nyerang orang lain. Kayak security-nya Gusti Allah saja. Maka sudah saatnya dakwah kompulsif yang berlagak maha benar ditinggalkan, karena yang begituan itu bagian dari gegar jiwa firaun-compulsive disorder: obsesi lebay menahbiskan diri sebagai maha benar serupa Firaun, yang jusru menabrak titah Tuhan untuk selalu bertumpu pada cara-cara yang baik. B
ukankah itu gaya ultrapongah Firaun yang diadaptasi sedemikian-tampak-islami-nya atas nama dakwah? Casing-nya dakwah tetapi esensinya Firaun. Udah deh, berhentilah berusaha menjadi Tuhan kayak Firaun. Apa enggak capek? Jadi manusia saja sesuai kodrat kita, bergeliat di ranah berpikir, lalu menyimpulkan, bukan pemangku tunggal kebenaran itu sendiri. Maka mengikuti jejak Kartini jelas lebih cucok buat kita, karena berarti kita tetap membumi sebagai manusia. Lebih santai kayak di pantai, sehat, kalem, murah senyum, dan tahu diri bahwa kita ini hanya manusia—sekali lagi, bukan Tuhan.
“Betapa pun jalan-jalan yang kita lalui berbeda, tapi kesemuanya itu menuju kepada satu tujuan yang sama, yaitu Kebaikan. Kita juga mengabdi kepada Kebaikan, yang Tuan sebut Tuhan dan kami sendiri menyebutnya Allah.” (Surat Kartini pada Adriani, 24 September 1902) “Tuhan kami adalah hati nurani kami, neraka dan surga kami adalah hati nurani kami. Kalau kami berbuat salah, kami dihukum oleh hati nurani kami. Kalau kami berbuat baik, kami diberkati oleh hati nurani kami.” (Surat Kartini pada Ny. Abendanon, 15 Agustus 1902)
Bagaimana?