MOJOK.CO – Pernah ketemu ortu yang suka membandingkan anak orang lain dengan anaknya? Ini cara selaw untuk menghadapinya.
“Anaknya umur berapa? Udah bisa ngapain aja?”
Rasa-rasanya, tak ada orangtua yang luput dari pertanyaan basa-basi macam ini. Pertanyaan yag biasa dan wajar ditemui, tetapi tetap bisa bikin sensi. Apalagi kalau ketemunya sama orang yang sama-sama bawa anak, pasti pertanyaannya akan merambat pada pernyataan-pernyataan pedes banget sampai karetnya tiga.
“Oh, anakku dulu umur 10 bulan udah bisa jalan,” sambut seorang ibu.
“Oh ya? Anakku umur setahun udah bisa nyanyi ‘Bojo Galak’,” yang lain menyahut.
“Anak pertamaku umur dua tahun udah bisa bikin meme jidat bakpao.”
“Anak keduaku umur tiga tahun dua bulan empat belas hari malah udah punya Youtube channel dengan ribuan followers, Instagram dengan tarif endorse 3 juta per post, dan semuanya dia sendiri yang ngerjain!”
Terusin aja. Terusiiin.
Kalau ada di posisi itu, rasanya kuingin meratap pilu sambil bilang, “Baeklaaa~ Anak kalian semua hebaaaat, sedang anakku hanya rakyat jelata tak berbakat, ia kelak tak bisa ikut kalian ke neraka karena nggak minum setarbak dan hanya sanggup ngopi sasetan. Puas kalian? Puaaas??!11!”.
Punya anak memang jadi momen yang wow magic sekali buat banyak pasangan. Nggak heran lah kalau kemudian semua postingan isinya soal anak melulu. Setiap hal yang dilakukan anak bisa jadi cerita tersendiri. Anak pup di kasur, sebel. Giliran anaknya seharian nggak pup, bingung. Dilongokin terus deh itu bokong, berharap ada segumpal ampas bau yang dalam kondisi tertentu terasa begitu melegakan.
Nggak heran juga kalau kebanggaan punya anak itu kadang berubah menjadi sesuatu yang sangat menyebalkan. Salah satunya dengan membanding-bandingkan.
Sebenarnya, boleh nggak sih membanding-bandingkan anak?
Boleh, boleh banget malah.
Eh, serius?
Iya, serius. Yang penting, membandingkannya bukan dengan anak lain, tapi dengan diri si anak itu sendiri. Bandingkan anak saat ini dengan seminggu lalu, sebulan lalu. Pasti ada bedanya. Mungkin sebulan lalu anaknya cuma bisa bilang “maem”, tapi ternyata sore tadi udah bisa berkomentar “Mamaku kerjanya main hape mulu” ketika ditanya tetangga “Mama mana?”.
Dulu saya sempat berada dalam fase krisis kepercayaan diri saat anak saya yang sudah lewat usia setahun belum mau jalan. Sempat agak malas ketemu orang banyak karena pasti nanti dikomentari macam-macam, mulai dari disuruh pakai baby walker sampai anjuran untuk disabet belut biar lekas jalan.
Namun, saya beruntung dikelilingi banyak ibu suportif dan informatif yang menenangkan saya dengan menunjukkan informasi perkembangan anak menurut IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia). Informasi ini menyatakan bahwa ambang batas (red flag) anak belum bisa jalan itu 18 bulan. Artinya, jika sampai usia 18 bulan si anak belum menunjukkan keinginan atau usaha untuk berjalan, baru boleh waspada dan segera konsultasikan ke tenaga kesehatan.
Eh ternyata, anak saya baru mau jalan di usia 16 bulan. Setelah itu kemajuannya pesat sekali. Kini, ia sudah bisa mengejar tukang jualan sambil berteriak “umbaaas” (beli) dan tampaknya sebentar lagi ia akan mengejar hati perempuan.
Saya membayangkan, bagaimana seandainya dalam kurun waktu tersebut saya terus-terusan mengkhawatirkan dan membanding-bandingkan anak saya dengan anak lain seusianya yang lebih maju (harus yang lebih maju ya, namanya juga saingan)? Mungkin dalam masa-masa itu saya akan merasa frustrasi dan uring-uringan. Mungkin juga saya akan merasa dikaruniai anak yang tidak sempurna, meski selama ini ia begitu sehat dan penuh tawa. Mungkin hari-hari saya akan dipenuhi gerutuan, dan sikap saya ke anak serta keluarga akan jadi buruk dan bad mood berkepanjangan.
Belum lagi gempuran teori parenting berbagai aliran dengan contoh anak-anak pintar, cakap, berbakat, dan multitalenta yang ditampilkan. Rasa-rasanya ingin semua teori itu kita terapkan pada anak kita, tapi ternyata pas dicoba justru menimbulkan kecewa karena hasilnya tak seindah harapan. Seperti memimpikan Lee Min Ho tapi yang hadir adalah Vicky Prasetyo. Adek kecewa~
Terus gimana dong caranya menghadapi pertanyaan basa-basi yang bikin sensi itu? Apakah boleh kita curhat no-mention di Facebook disertai hashtag #buatyangmerasaaja?
Gampang. Dengerin aja. Senyumin aja. Iya-iyain aja. Biar cepet kelar. Wkwkwk.
Etapi serius, soalnya kalau orang tipe-tipe kompetitif gitu, makin dijawab dia akan makin merasa tersaingi. “Enak aja kau menang, tak bisaaa…,” gitu pikirnya. Maka ia akan mengerahkan segala daya dan upaya untuk menjadi yang terdepan seperti Komeng dan Yamaha. Makanya, iya-iyain aja. Itu sudah paling aman.
Setelah itu, lanjutkan hidup seperti tidak terjadi apa-apa. Maraton drakor seperti biasa dan belanjalah di warung tetangga. Anggap semua pertanyaan tadi hal yang wajar dan b ajah. Hidupmu udah terlalu pusing mikirin cicilan dan kapan cebong-onta akan baikan. Btw, masa mereka kalah ya ama Korut-Korsel yang udah salaman? Hih.
Ya begitulah, hidup memang akan terasa melelahkan kalau semua hal dikompetisikan. Kompetitif boleh, tapi jika harus menyeret orang lain untuk ikut kompetisi dalam segala hal, kok ya sedih betul hidup ini. Toh sejatinya hidup ini seperti bercinta. Kalau digas terus, keseleo yang ada. Jadi, kapan mau ena-enanya, Cinta?