[MOJOK.CO] “Anak IT yang dianggap serba bisa padahal ya nggak juga.”
Jika sebelum-sebelumnya ada kisah tentang anak Sastra Jawa, Teknik Mesin, Ilmu Hadits dan Teknik Perkapalan, lain pula kisah kami anak Teknik Informatika, Ilmu Komputer, dan sanak saudaranya yang lain atau yang biasa dikenal dengan sebutan “anak IT”. Memang namanya manusia, selalu berkeluh kesah dan tidak puas walaupun masih di usia belia. Yang Perkapalan bilang jadi anak Teknik Sipil enak, yang Sipil bilang anak Arsitektur enak, yang Arsitektur bilang orek tempe dan sayur sop yang isinya cuma kembang kol dan bawang goreng sudah paling jos apalagi kalau mbak si mbak wartegnya gemulai aduhai bukan main. Makan berasa makin gurih.
Masalah cem-ceman itu relatif, tidak terpaut faktor tertentu. Bahkan yang jago kalkulus sekalipun kadang punya pandangan bakal jadi bujang lapuk lantaran terlalu sering dapat kalimat “kamu terlalu baik buat aku”. Sudah begitu di kampus kami jumlah kaum hawa yang sejurusan dan seangkatan hanya berkisar angka 3-4 persen. Dimana setengahnya memilih lelaki dari jurusan bahkan kampus lain. Sedangkan sisanya relatif membaca buku “Udah Putusin Aja” karya Ustadz Felix Siaw.
Jurusan Teknik Informatika yang masih termasuk kedalam ilmu komputer ini biasanya menjurus ke perancangan software. Banyak peminatnya. Namun kebanyakan yang awalnya berminat lambat laun akan menyadari bahwa mereka salah jurusan seiring bertambahnya semester. Puncaknya adalah semester 6 dimana yang perempuan minta dinikahkan saja dan yang lelaki mulai berfikir untuk jadi berondong tante-tante kaya.
Sungguh kasihan, mereka terjebak dalam mimpi-mimpi akan menjadi the next Bill Gates atau penerus Mark Zuckerberg. Apalagi yang mimpi itu orang tuanya sedangkan yang dikuliahkan sebenarnya punya mimpi membuka warung martabak seperti anak pak presiden.
Kadangkala memang orang tua yang malah sengaja memasukkan anaknya ke jurusan ini berdasarkan pandangan jaman dulu yang masih nge-trend hingga sekarang bahwa profesi di bidang teknologi dan komputer memiliki tempat bagi anak mereka, pasti dibutuhkan dimana-mana, pasti gajinya besar, pokoknya masa depan cerah. Tanpa sadar jumlah mahasiswa IT yang kian bejibun justru akan mempersempit lapangan kerja di bidang tersebut.
Pak, buk, tolonglah, kalimat “Ini bukan lagi jaman Siti Nurbaya” tidak hanya berlaku untuk perjodohan saja, berlaku juga untuk perkuliahan. Biarkan anak menjalin pendidikan yang nyaman dengan jurusan pilihannya. Yang nyaman, bukan langgeng. Kepingin kau kuliah langgeng? Lulusnya puluhan semester karena lebih sering menambang bitcoin daripada bakti pada tridharma perguruan tinggi.
Sebagian dari para calon programmer ini bahkan berfikir bahwa menjadi programmer tidak butuh kemampuan matematika yang hebat, dan terjebak dalam persepsi tersebut hingga akhirnya terjerumus ke dalam jurusan ini. “Ah, kuliah IT ajalah, enak. Lagian gue udah pernah bikin program pake Visual Basic, pasti lancar!” Lagi-lagi malang betul, memang betul demikian, namun fakta bahwa komputer diciptakan dengan ilmu matematika membuat kuliah di bidang IT penuh akan hitung-hitungan.
Jadilah mereka lulus tidak tepat waktu karena mengulang kalkulus sebanyak sekian kali. Padahal tuntutan orang tua 4 tahun lulus. Belum lagi anak IT dianggap jago retas, kalo main gim online sering dimintain curang. Kalo kacamatanya memang tebal, penyebabnya ya keseringan nonton kartun Jepang atau main game online. Mereka inilah yang membuat Charles Babbage menangis di alam sana.
Di sisi lain stereotip yang amat sangat melekat pada anak IT adalah servis komputer. Anggapan bahwa anak IT sangat tahu betul seluk beluk dunia komputer mungkin menjadi salah satu faktor yang mendukung munculnya stereotip ini. Anak IT dianggap sebagai master of all dalam dunia komputer, bahkan elektronik. Ketahulihan wahai saudara bahwa perihal internet putus saja kadang anak IT kalang kabut bingung harus berbuat apa.
Derita anak IT tak sebatas menjawab pertanyaan pada kuis, UTS dan UAS. Tapi juga menjawab permintaan tolong yang dilayangkan tetangga, rekan, kerabat bahkan pakde warung untuk memperbaiki komputer, printer, smartphone, sampai televisi, kulkas dan AC mereka yang rusak. Dan yang paling mengiris hati, mereka menambahkan kalimat “lu kan anak IT, gitu doang mah bisa kali” di belakang kalimat permintaan tersebut.
Anak IT juga biasa menjadi tempat konsultasi bagi para rekan dan sahabat mengenai asesoris komputer. Pernah suatu ketika penulis tengah asyik mengerjakan proyek semester di sebuah wi-fi hotspot sembari menahan air mata kepedihan karena memikirkan kapan proyek ini selesai sedangkan deadline sudah ada dibelakang membayangi bak malaikat pencabut nyawa.
Sekonyong-konyong ada yang memanggil, lalu bertanya “To, kalo mouse yang bagus apa ya?”. Belum sempat dijawab sudah terlempar lagi pertanyaan lain “Kalo merek anu kisaran harganya berapa ya?”, “kalo gue bikin PC spek begini biasanya habis berapa?”, “mending gue beli PC apa beli laptop geming?”, “ASUS ROG buat main mobel lejen di emulator lancar nggak?”, “powerbank kalo murah banget tapi bermerek itu bagus nggak?”, “powerbank lu gue abisin ya?”, “muka gue ama elu gantengan mana?”, “pacar gue hamil, gimana nih?”
Alamak sini ku gedig palak kau biar mampus sekalian.
Tak berhenti sampai situ, permintaan seperti “eh, hack-in facebook mantan gue dong” dan sejenisnya juga sering dilayangkan kepada anak IT. Sial betul, pacar saja nggak punya, ini malah dimintai tolong hack facebook mantanmu!.
Setelah luluspun hal-hal seperti itu masih sering menampar anak-anak IT. Tapi bagi yang dulunya mahasiswa rantau dari desa, ketika pulang ke kampung seringkali bernasib sama seperti sarjana-sarjana lain. Karena sudah sarjana dan dianggap paling pintar, tidak sedikit yang disuruh mengajari anak-anak mengaji.