MOJOK.CO – Posisi Yusril Ihza Mahendra sebagai Ketua Partai Bulan Bintang (PBB) dan sebagai seorang pengacara profesional itu nggak sama. Yang satu urusan politik, yang satu urusan kerjaan. Bijimana sih?
Keputusan Yusril Ihza Mahendra bergabung menjadi pengacara pasangan capres Jokowi-Ma’ruf langsung bikin heboh saja belakangan ini. Padahal, ketika menyampaikan keputusan bergabung menjadi pengacara Jokowi-Ma’ruf, Yusril sudah menegaskan bahwa dirinya tidak menjadi bagian dari tim pemenangan, yang artinya Yusril sama sekali tidak berurusan soal politik, tapi murni hanya sebagai konsultan hukum.
Yap, cuma sebatas itu, tak lebih. Jadi kalau ada masalah hukum yang terjadi dalam proses Pilpres yang melibatkan Jokowi-Ma’ruf, nah Yusril ini yang maju. Lah kalau urusan menang apa kagak, dua periode atau nggak, ganti presiden atau nggak, ya itu bukan urusannya Yusril.
Oleh karena itu, cukup terburu-buru sebenarnya bagi pendukung Jokowi-Ma’ruf kalau sampai menganggap Yusril sudah menjatuhkan pilihan untuk mendukung Jokowi secara politik, hal yang terburu-buru juga bagi pendukung Prabowo-Sandi kalau menuduh Yusril sudah beralih pilihan politik.
Orang-orang yang mencibir keputusan Yusril Ihza Mahendra ini seolah melupakan bagaimana mekanisme pekerjaan pengacara yang pada praktiknya memang kebanyakan outsourcing. Lah, kok outsourcing? Ya karena pekerjaan pengacara kan memang soal hubungan penyedia jasa dengan klien. Ada klien, ada barang, ada kerjaan. Kontrak jangka pendek macam pemain-pemain sepak bola profesional gitu.
Lalu kalau ada yang semena-mena bilang bahwa Yusril sebagai orang yang nggak punya prinsip karena malah jadi pengacara capres Jokowi-Ma’ruf ya ini jelas salah kaprah.
Publik memang masih ingat bagaimana ketusnya Yusril terhadap pemerintahan Jokowi. Hal ini bisa dilacak sejak Pilpres 2014, saat itu Yusril jadi tim ahli dalam gugatan Prabowo-Hatta Rajasa ke KPU soal dugaan kecurangan Pilpres ke MK.
Lalu sepanjang empat tahun ke belakang, Yusril Ihza Mahendra juga sering melayangkan komentar-komentar pedas kepada Presiden. Dianggap amatiran lah, dianggap bagi-bagi kursi komisaris lah, suka menimbulkan kegaduhan lah, sampai pernah bilang “presidennya goblok”.
Sikap kritis Yusril pada waktu itu sebenarnya bisa dipahami pada koridor-koridor politis, bukan soal hukum. Keputusan seorang Yusril sebagai seorang Ketua Partai Bulan Bintang (PBB) dan sebagai seorang pengacara profesional seharusnya tidak bisa dicampuradukkan. Yang satu urusannya politik, yang satu urusan hukum atau kerjaan.
Bahkan ada contoh yang lebih banal lagi. Sosok Mahfud MD misalnya, yang menjadi tim pemenangan Prabowo-Hatta Rajasa pada Pilpres 2014. Mahfud MD bisa dibilang memang “dikontrak” sebagai tenaga profesional. Dan urusan profesional ini nggak ada sangkut pautnya sama urusan politik meskipun kerjaan itu ada di bidang politik juga.
Lagian, meski berbeda secara politik, sosok secara Yusril juga kerap “membela” ketika Jokowi diserang pada koridor hukum yang nggak mashook juga kok. Artinya, Yusril ini bisa saja dianggap sebagai politisi yang nggak membabi buta di bidang profesionalnya sebagai ahli hukum.
Seperti saat ada beberapa kelompok yang meminta Jokowi mundur dari Presiden karena menjadi capres pada waktu yang bersamaan, Yusril justru menerangkan bahwa pemintaan itu nggak ada landasan hukumnya. Apakah hanya karena ini Yusril mendukung Jokowi? Ya nggak dong, beliau kan cuma menerangkan dari perspektif hukum sesuai kapasitasnya. Bijimana seh?
Cibiran kepada Yusril ini ibarat kamu pengusaha kaos yang akan memilih Prabowo-Sandi, lalu kebetulan ada orderan dari PDIP yang pesan di tempat kamu kaos kampanye Jokowi-Ma’ruf. Kalau kebetulan kamu seorang yang fanatik dan enggan menerima orderan itu—ya itu hak kamu, tapi kalau kemudian menerima orderan tersebut apakah otomatis kamu jadi mencederai pilihanmu? Ya nggak bisa dong.
Ini soal kerjaan je. Cari nafkah, Bung (meski Yusril ngaku nggak minta bayaran sih).
Tidak menerima orderan adalah sebuah hak sebagai seorang pengusaha, tapi menerima akan membuktikan sikap profesional si pengusaha di bidang yang ditekuni. Artinya, si pengusaha cukup dewasa dengan tidak terkotak-kotakkan pada urusan pilihan politik doang.
Lagian, pilihan orang kan dilindungi undang-undang, enak aja menganggap orang memilih yang berbeda dengan situ dianggap sebagai pendosa. Emang situ siapa? Malaikat Roqib ‘Atit?
Lebih bikin gemas lagi, adalah permainan-permainan majas ironi yang bertebaran di media sosial, seperti misalnya: Yusril Ihza Mahendra si pengacara HTI itu akhirnya merapat ke Pemerintah yang bubarin HTI. Ini jelas logika yang—bisa disebut—tumbuh kembangnya tak sempurna.
Sebagai kuasa hukum Hizbut Tahrir Indonesia alias HTI, tidak serta merta Yusril harus sepakat dengan ajaran yang diusung kliennya. Ini dua koridor yang berbeda. Yang satu soal ideologi, yang satu soal perspektif hukum. Sebagai seorang pengacara, memang tugas Yusril untuk membela kliennya di pengadilan. Ini bukan soal benar salah, ini soal legal atau tidak legal di mata hukum saja.
Yusril tidak sepakat dengan Perppu soal pembubaran HTI, bukan terus membaut dirinya otomatis berideologi HTI. Tuduhan semacam ini sebenarnya juga pernah terjadi ketika Gus Dur mencabut Tap MPRS 1966 soal ajaran Marxisme di Indonesia lalu dituduh sebagai presiden yang pro dengan ideologi PKI. Ini kan nggak mashook sama sekali.
Sayangnya, sikap generalisasi ini memang semakin jadi pembiasaan di negeri ini. Beberapa orang malas untuk mengurai benang kusut perspektif orang yang berbeda—atau kelihatan berpindah haluan. Apa pun yang tidak sejalan akan dimasukkan pada golongan yang itu-itu saja. Hitam putih.
Orang yang pilih Jokowi dianggap sebagai pro antek aseng, orang pilih Prabowo akan dianggap sebagai pro Orde Baru. Padahal ya nggak juga. Nggak sesederhana itu.
Artinya, apa yang dilakukan Yusril kepada capres Jokowi-Ma’ruf sebenarnya sama saja dengan posisi Yusril saat membela HTI: yakni sama-sama sebagai tenaga outsourcing saja. Nggak lebih.
Sama tenaga outsourcing saja kok pada ribut sih? Kayak nggak ada kerjaan lain aja.