MOJOK.CO – LSI menunjukkan masyarakat makin takut bersuara. Muncul semacam kesadaran preventif untuk hati-hati dalam melontarkan kritik di era Jokowi Jilid 2 ini.
Meski UU ITE sudah ada sejak 21 April 2008, dan sudah menelan “korban” pertama atas nama Prita Mulyasari pada tahun pertama kelahiran UU tersebut, tapi sebenarnya ketakutan publik untuk mengutarkan pendapat secara komunal makin menguat akhir-akhir ini.
Dimulai sejak Pilpres 2014 disertai dengan masifnya intensitas penggunaan media sosial, satu demi satu warga negara terjegal masalah dengan UU ITE. Meski harus diakui juga, di sisi lain UU ITE juga benar-benar berhasil menjerat para pelaku penyebar hoaks.
Namun, gejala ketakutan menyampaikan pendapat ke ruang publik—utamanya melalui media sosial—mulai menggeliat lebih kencang di beranda media sosial belakangan ini. Paling tidak di media sosial saya. Setidaknya ada perbedaan besar kebiasaan teman-teman saya merespons kebijakan pemerintah, antara usai Pilpres 2014 dengan usai Pilpres 2019.
Jika usai Pilpres 2014, teman-teman saya bisa dengan enteng mengkritik kebijakan pejabat A dengan menyebut nama, maka belakangan ini—bahkan—untuk menyebut kata “polisi” saja harus diubah menjadi “isilop” atau pakai kata yang lebih general seperti “aparat”. Dan tentu saja jangan sampai lupa untuk menyempilkan kata “diduga” atau “oknum” jika tidak ingin bermasalah di kemudian hari.
Ada semacam ketakutan kecil sejak Pilpres 2019 berakhir. Seperti muncul kesadaran preventif untuk hati-hati dalam melontarkan kritik. Paling tidak kasus yang dialami Dandhy Laksono kemarin, seperti menjadi peringatan besar bahwa jangan main-main kalau mau mengkritik pemerintah.
Bahkan sekalipun kritik itu berbasis data, setiap orang bisa saja terkendala masalah. Seperti kasus yang menjerat Faisol Abod Batis pada Juli 2019 kemarin, misalnya. Memaparkan data konflik agraria di era Jokowi, tapi kena ciduk ketika aparat melakukan patroli siber.
Jangankan untuk rakyat biasa seperti Dandhy Laksono atau Faisol Abad Batis, (yang baru-baru saja terjadi) sekelas William Aditya Sarana, Anggota DPRD DKI Jakarta dari fraksi PSI saja, dilaporkan ke Badan Kehormatan (BK) DPRD DKI Jakarta karena mengunggah rencana anggaran lem Aibon senilai Rp82,8 miliar. Dianggap melanggar kode etik, katanya.
Kasus yang sebenarnya mengingatkan publik ketika Sudirman Said malah “dipersekusi” ramai-ramai oleh Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) ketika melaporkan dugaan pemufakatan jahat PT. Freeport atas terduga Setya Novanto pada 2016 silam.
Uniknya, saat itu justru Sudirman Said yang akhirnya harus dilaporkan balik oleh Setya Novanto ke Bareskrim Polri atas tuduhan fitnah. Nama terakhir ini kita tahu semua akhirnya harus meringkuk ke penjara karena terbukti korupsi betulan.
Rentetan kejadian ini tak pelak membuat publik semakin khawatir ketika melaporkan ada kejanggalan atau kinerja kurang optimal dari pemerintah. Bahkan sekadar menyampaikan pendapat pun jadi takut-takut.
Gejala yang saya pikir hanya terjadi di lingkungan terbatas ini ternyata juga terlegitimasi oleh hasil survei dari Lembaga Survei Indonesia (LSI). Direktur Eksekutif LSI, Djayadi Hanan, menyatakan kalau kebebasan sipil semakin buruk di era Pemerintahan Presiden Jokowi.
“Masyarakat merasakan kebebasan sipil yang menjadi pondasi demokrasi belum naik dan bahkan cenderung memburuk,” katanya melansir dari hasil survey SMRC bulan Mei sampai Juni 2019.
Pada periode saat ini, ada 43 persen responden yang mengaku takut menyampaikan pendapat di ruang publik. Angka ini meningkat cukup besar dibandingkan saat masa sesudah Pilpres 2014, di mana saat itu hanya 24 persen saja responden yang merasa ketakutan kalau mau bicara apa pendapatnya di ruang publik (baik secara langsung maupun via media sosial).
Bahkan ketakutan ini sudah mengarah ke efek yang sangat spesifik. Seperti, ada 38 persen responden yang takut diciduk oleh aparat hukum kalau bicara mengutarakan apa pendapatnya di ruang publik. Angka ini menunjukkan peningkatan sampai 14 persen, dibandingkan responden pada 2014.
Tidak cuma itu, awal periode Presiden Jokowi jilid 2 ini juga memunculkan ketakutan lain soal warga negara yang mau berserikat, berkumpul, dan beroganisasi.
“Sementara itu, responden yang menyatakan bahwa sekarang warga takut beroganisasi juga naik. Dari 10 persen pada 2014, menjadi 21 persen (pada 2019),” tambahnya.
Ini wajar saja, kasus seperti persekusi Asrama Papua di Surabaya pada Agustus 2019 silam, sampai melahirkan kasus rasisme terjadi di hadapan publik dengan gamblang. Hal yang mengindikasikan bahwa untuk berserikat sesuai kesamaan kampung halaman pun bisa jadi masalah juga.
Di sisi lain, meski tingkat demokrasi di pemerintahan era Jokowi cenderung memburuk, hasil dari LSI juga menyebutkan bahwa sebenarnya responden jauh lebih percaya dengan Presiden Jokowi di periode keduanya.
Meski pihak yang merasa takut menyampaikan pendapat ke publik semakin besar, sebanyak 71,8 persen mengaku sudah puas dengan kinerja Jokowi.
“Kepercayaan masyarakat terhadap Presiden Joko Widodo tampak menguat dibandingkan pada masa awal pemerintahannya (2014-2019), meskipun stagnan dalam tiga tahun terakhir,” kata Hanan.
Dari hasil survei tersebut, paling tidak bisa disimpulkan bahwa sekalipun banyak yang mengkritik pemerintahan di era sekarang, sejatinya orang-orang yang mengkritik dan takut menyuarakan pendapat ini masih menaruh harapan besar kepada Presiden Jokowi.
Tinggal bagaimana Pak Jokowi mau merespons harapan itu. Mau disambut dengan tangan terbuka atau mau bikin jargon warisan… piye, penak jamanku to?
BACA JUGA Sulit Sekali Mengkritik Pemerintahan Jokowi atau tulisan AHMAD KHADAFI lainnya.