MOJOK.CO – Andi Arief menyindir elite partai yang tak loyal terhadap AHY sebagai sisa-sisa feodalisme. Heh? Feodalisme? Sebentar, sebentar.
Klaim Demokrat bahwa Jokowi sudah menegur Kepala Staf Presiden, Moeldoko, tentu saja jadi angin segar bagi Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
Baru juga menjabat jadi Ketum Partai Demokrat sak ucrit, kepemimpinan AHY sudah digoyang dengan isu kudeta internal partai. Mana yang diduga bakal melakukan kudeta itu bukan orang sembarangan lagi: Moeldoko. Senior jauh AHY sendiri di dunia militer sekaligus dunia politik.
Selain bagi AHY, kalau betul Jokowi beneran turun gunung mau repot menegur stafnya ini, hal tersebut patut jadi inhaler juga bagi politisi Demokrat yang loyal terhadap AHY. Fiuh, kayaknya betulan nggak jadi kudeta ya.
Kelegaan ini bisa tercermin dari Andi Arief, sosok yang masih loyal kepada AHY. Merasa di atas angin, Andi Arief pun mewanti-wanti Moeldoko untuk tidak melakukan hal itu lagi. Bahkan Andi Arief menyebut tindakan Moeldoko ini sebagai tindakan “tercela”.
Tak hanya Moeldoko yang jadi sasaran tembak elite Demokrat ini, Andi Arief bahkan menyindir para senior-senior Demokrat yang terkesan tidak loyal terhadap AHY.
“Buat beberapa senior partai yang kecewa dan kurang legowo dipimpin generasi muda (AHY), kami maklum. Itu sisa-sisa feodalisme, tugas partai untuk mendidik,” kata Andi Arief.
Heh? Gimana? Feodalisme? Gimana, Ngab?
Menarik sekali mendengar diksi “sisa-sisa feodalisme” dari mulut seorang elite partai seperti Demokrat. Yah, seperti yang ente juga tahu sih, Demokrat ini sudah hampir 11-12 dengan PDIP soal praktik nyerempet-nyerempet monarki di internal partainya sendiri.
Meski ada kredo yang bilang kalau partai politik itu merupakan kendaraan politik demokratis, pada kenyataannya banyak parpol lebih sering menunjukkan sikap tidak demokratis di internalnya sendiri.
Dua contoh aja deh. Di Demokrat ada AHY dan Ibas Yudhoyono dan di PDIP ada Puan Maharani.
Di internal partai, privilege seseorang kayak AHY pancen benar-benar tak bisa dibantah. “Alumni” militer dengan pangkat mayor, putra dari Presiden SBY dan Pendiri sekaligus mantan Ketua Umum Partai Demokrat. Dengan titel sementereng itu, maklom kalau karpet merah menjadi ketua partai bisa dipegang AHY.
Persoalannya, senior-senior Demokrat yang diduga berada di gerbong Moeldoko tak suka dengan praktik itu. Entah tak suka karena emang anti-feodalisme atau tak suka karena jadi nggak kejatahan aja.
Terlepas dari hal itu, kita tahu salah satu senior Demokrat yang terlihat kontra dengan AHY adalah Marzuki Alie.
Tanpa tedeng aling-aling, mantan Ketua DPR RI ini meyayangkan arah partai yang makin ke sini makin sentralistik. Apa-apa keputusan dari pusat, lembaga survei, dan elite tertentu. Tentu saja, “elite” di sini merujuk pada lingkaran Keluarga Cikeas.
“Di zaman saya ada mekanisme penyaringan untuk para calon kepala daerah, selain survei. Tidak ujug-ujug direkomendasikan seseorang di pusat, sehingga kader asli kemudian kecewa dan marah,” kata Marzuki Alie dikutip dari Blak-blakan Mantan Sekjen Partai Demokrat di detik.com.
Dari hal ini kita jadi bisa maklum kalau kepercayaan kader Demokrat ke AHY cukup berkurang, sehingga memungkinkan orang asing kayak Moeldoko tebar-tebar pesona. Ketimbang stagnan dengan kepemimpinan yang gitu-gitu aja, hamending coba orang baru yeee kan?
Terpilihnya AHY sebagai Ketum Partai pun jadi pertanyaan besar bagi Marzuki. Terutama dasar pemilihannya karena AHY dianggap paling punya elektabilitas dan popularitas secara nasional ketimbang kader lain.
“Lho, ini mau ngurus partai atau jadi capres?” tanya Marzuki menyindir.
Tentu saja kita sama-sama tahu, terpilihnya AHY itu bukan semata-mata karena blio adalah salah satu prajurit terbaik Angkatan Darat atau punya popularitas… tapi ya karena…
…blio ini adalah putranya pendiri partai. Itu.
Oke, segala kemampuan AHY memang mumpuni, tapi jika dipilihkan dua orang dengan kualitas yang hampir sama. Yang satu putra pendiri partai, dan yang satu kader biasa, haayaaa sudah pasti kans terbesar adalah yang punya hubungan darah dengan pendiri partai lah.
Hanya saja, hal ini seperti luput dibicarakan Andi Arief dan petinggi-petinggi Demokrat yang masih loyal terhadap keluarga SBY. Mereka menutup mata, bahwa sistem monarki pura-pura demokratis (masih ada pemilihan internal partai kok) seperti itu, tidak akan berjalan baik ke depannya.
Bakal banyak kader yang mutung kalau pembagian akses kekuasaan itu tidak dibagi rata. Ya mana mau kader di daerah cuma dikasih jatah begitu-begitu saja, padahal sudah berdarah-darah tapi pada akhirnya harus “dibuang” untuk memberi tempat seseorang karena unsur “rekomendasi pusat”.
Meskipun begitu, kalau boleh jujur sebenarnya apa yang dibicarakan Andi Arief soal “sisa-sisa feodalisme” itu juga tidak salah sama sekali kok. Mereka yang tak loyal terhadap keluarga SBY memang bisa aja disebut “sisa-sisa”. Karena mereka memang terkesan menolak feodalisme partai di Demokrat.
Tapi sebenarnya sasaran tembaknya bukan di situ, sasaran tembakpertanyaannya adalah…
Lah, terus yang masih loyal sama keluarga SBY apa dong sebutannya, Bang Andi Arief?
Kader feodalisme?
Eh.
BACA JUGA Yang Bikin Moeldoko Pantas Merasa Percaya Diri Hadapi AHY dan tulisan POJOKAN lainnya.