MOJOK.CO – Seorang pecinta mobil Kijang menceritakan kekecewaannya pada Kijang Innova Reborn Diesel. Apakah yang terjadi pada mobil keluaran terbaru ini?
Jika diibaratkan kisah percintaan, Toyota Kijang dengan keluarga saya seperti kisah Krisdayanti dan Anang Hermansyah. Semua baru berubah sejak Raul Lemos Nissan menyerang dengan Grand Livina yang sempat ditasbihkan sebagai MVP terbaik pada eranya.
Alasannya cukup sederhana, selain munculnya para kompetitor dari pabrikan lain macam Daihatsu, Mitsubisi, dan Nissan, ada stereotip yang tak bisa ditampik bagi keluarga menengah tahun 1990-an bahwa Kijang terakhir ya Kijang Kapsul (versi LGX, Krista, dan lain-lain). Jadi meski kemudian Kijang keluarin produk Kijang Innova pada 2004, tidak banyak yang ngeh kalau Innova itu Kijang—meski jelas-jelas namanya “Kijang Innova”.
Saya sendiri tidak tahu alasannya. Sebagai orang yang belajar nyupir dari Kijang Rover edisi 1980-an, saya ikut merasakan transisi Kijang. Dari Kijang Rover yang kalau muter setir seperti nimba air sumur untuk orang satu kampung karena belum powerstering, Kijang Grand Extra yang oke punya meski AC-nya nggak dingin-dingin amat, sampai kemudian Kijang Kapsul LGX yang masih jadi the best Kijang ever made.
Toyota kemudian mengeluarkan produk lagi untuk semakin menasbihkan diri jadi mobil keluarga merek nomor satu se-Indonesia bersama Kijang Innova pada 2004. Baiklah, saya bisa saja dituduh main klaim saja soal predikat terbaik tersebut, tapi saya tidak bisa menampik bahwa memiliki mobil Kijang pada era itu adalah tanda sebuah keluarga mampu mengetaskan diri dari kemiskinan.
Sebabnya, karena mobil Kijang adalah batas bawah dan atas kemampuan ekonomi sebuah keluarga Indonesia pada era 2000-an awal. Kalau baru bisa beli Kijang Kotak (sebutan untuk Kijang generasi pertama) yah, sudah lumayan lah udah bisa beli mobil. Kalau sudah bisa beli Kijang Grand Extra atau Super Kijang G (generasi kedua), wah, sudah kelas menengah beneran ini. Lalu kalau sudah punya Kijang LGX, apalagi sampai Kijang Krista. Fix sudah, keluarga itu sedikit lagi akan meninggalkan kelas menengah menuju kelas tajir.
Strata tersebut muncul begitu saja, dan uniknya semua berputar pada satu merek: Toyota Kijang. Kalau diibaratkan dalam kompetisi di pabrikan motor, mencoba melawan Kijang di segmentasi family car di Indonesia itu seperti Jialing berusaha menganggu dominasi Honda Astrea Grand atau Supra generasi pertama. Yakin, itu tindakan sia-sia belaka, Ling Jialing.
Itulah yang kemudian bikin saya tidak terlalu terkejut ketika menjajal Kijang Innova Reborn keluaran 2018. Sebuah mobil yang dari desain sebenarnya tidak begitu saya suka. Jika boleh memilih, desain X-Pander dari Mitsubisi lebih punya kesan macho ketimbang Innova Reborn ini. Tapi ya apa daya, saya kan cuma penikmat, bukan pengamat. Jadi saya tak punya kapasitas mumpuni juga buat ngomentari desain.
Apalagi seorang teman makelar mobil pernah berujar ke saya, “Soal desain itu soal kebiasaan. Ketika Avanza keluarin desain terbaru, banyak orang yang ngeluh, bentuknya kok aneh gitu. Tapi ketika di jalanan sudah banyak yang pakai, akhirnya desain yang lama yang malah kelihatan aneh.” Eh, bener juga lu, Tong.
Itu yang kemudian saya tidak ingin komentar banyak soal desain Innova Reborn yang agak menungging karena sepertinya memang disiapkan untuk jalanan Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika. Ada aspal alus, aspal gronjal, bahkan sampai ada yang nggak berpendidikan karena nggak ada aspalnya. Benar-benar disiapkan untuk berbagai medan ini mobil.
Kebetulan saya menjajal yang versi dieselnya. Dan sebagaimana lumrahnya mesin diesel, suaranya memang agak berisik—hal ini tidak saya suka. Soal ini teman saya yang makelar mobil kembali kasih saya nasihat, “Suara mesin diesel yang berisik itu ada juga yang fanatik. Katanya jadi segarang auman singa, kalau mbeleyer-mbleyer kelihatan gagah. Nggak seperti mesin bensin yang kalau mbleyer yang keluar malah suara kucing.”Halah, karepmu, Coegh!
Namun, jangan khawatir kalau kamu merasa terganggu sama suara mesin diesel. Di dalam mobil, Innova Reborn Diesel kedap suaranya cukup yahud kok. Kredo nyaris tak terdengar milik Isuzu Panther yang digaungkan puluhan tahun, ternyata bisa dicolong diimplementasikan dengan baik oleh Toyota Innova Reborn Diesel. Meski kalau kamu keluar atau membuka kaca jendela, suara mesin diesel ala truk tetap terdengar meski masih sehalus kulit keteknya Raisa atau Isyana.
Selain soal suara mesin, tenaga tarikan pun oke punya. Hilang sudah stereotip bahwa mesin diesel tarikannya nggak yahud atau ngeden-nya kelamaan. Ah, siapa bilang. Meski nggak segalak bensin, Innova Reborn Diesel benar-benar bertenaga. Padahal yang saya jajal itu adalah versi matic-nya alias resiko ngeden-nya besar sekali. Saya jajal di jalanan Ring Road Utara Jogja saat keadaan cukup sepi. Saya geber itu mobil sampai kecepatan 100 km/jam dan masih asyik-asyik saja. Stabil. Nggigit di aspal.
Meski begitu, dengan segala keunggulannya, Innova Reborn tetap saja tidak sempurna. Ya karena kesempurnaan hanyalah milik Allah semata. Nah, salah satu di antaranya, ya perkara sasis.
Seperti yang saya sebutkan di awal tadi. Beralihnya keluarga saya dari pabrikan Toyota ke Nissan adalah murni perkara sasis—tidak ada yang lain. Toyota seringkali keluarin produk dengan sasis yang “ringan”, tidak “berat” seperti Nissan. Avanza Veloz yang selevel dengan Nissan Grand Livina misalnya, secara kemampuan menggigit aspal, pabrikan Nissan lebih punya keunggulan ketimbang Toyota.
Ini juga yang saya rasakan ketika menjajal Innova Reborn Diesel. Sasisnya saya rasa-rasakan kok tidak sekokoh Nissan Grand Livina yang jelas levelnya jauh ada di bawahnya. Oke baiklah, saya juga mengerti, Nissan Grand Livina kan lebih pendek, jadi terpaan anginnya bisa diminimalisir, tidak seperti Innova Reborn yang jauh lebih tinggi di atas aspal sehingga saya agak was-was kalau mau mencoba kendaraan ini di atas 120-140 km/jam.
Kalau jalan sendirian sih mungkin masih stabil-stabil saja, tapi kalau sedang nyalip kendaraan yang sama-sama kencang, Innova Reborn ini lumayan perlu hati-hati. Tentu jangan dibandingkan dengan mobil-mobil yang kelasnya ada di bawahnya. Untuk urusan ini sih stabil, tapi untuk mobil setinggi ini reputasinya, Innova Reborn masih kalah stabil ketimbang pabrikan Nissan pada level yang sama, kayak X-Trail keluaran terbaru misalnya.
Selain perkara sasis, interior Innova Reborn pun tidak mewah-mewah amat. Sangat default malah. Kita perlu keluar duit lagi kalau mau menyulap interior Innova Reborn agar sesuai dengan citranya yang oke punya. Ya jelas, bagi saya, hal ini sangat disayangkan untuk mobil yang harganya hampir setengah miliar ini.
Memang betul, pabrikan Toyota sudah punya Alphard yang berada di atasnya secara level, tapi kan ini mobil yang mahal juga, Pak Kiichiro Toyoda? Ini Innova lho, Pak, bukan Avanza, Agya, atau Rush. Masa interiornya blong-blongan kosong cuma standar-standar aja?
Oke sih, untuk radio sudah ada layar sentuh dan di setir ada tombol kontrol pemutar musiknya, tapi masa mobil semahal ini pengaturan AC-nya masih manual kayak puteran blender sih? Bahkan Innova keluaran 2010 ke bawah saja, sudah ada yang interiornya pakai pengaturan AC digital sehingga kita bisa memilih suhu yang kita mau di dalam mobil. Iya, di mobil yang saya kendarai seperti itu.
Itu baru interior, belum lagi soal harganya yang mahalnya naudzubillah setan untuk kelas mobil keluarga kelas menengah. Rasanya, kok mending sekalian beli Fortuner aja deh.
Jadi begini. Sejak dulu, saya melihat Kijang adalah mobil keluarga yang ramah, baik secara kantong perawatan, kantong pembelian, maupun kantong penjualan kembali. Akan tetapi setelah Toyota keluarin Innova dilanjutkan dengan Innova Reborn, lambat laun Kijang mulai menapaki level konsumen baru yang lebih elite.
Harga Innova Reborn dengan fasilitas yang sebenarnya tidak baru-baru amat ini sebenarnya cukup nggatheli. Meski dari segala peningkatan mesin, kenyamanan, serta harga jual kembali yang—katanya—sangat menjanjikan, namun agak sulit membayangkan kalau Innova yang sekarang sama seperti citra Kijang pada periode 2000-an awal dulu.
Salah satu alasan yang masuk akal, Toyota sudah punya Avanza untuk ber-say hello dengan pelanggan mereka yang lebih kere. Avanza inilah yang sebenarnya disentuh Toyota untuk pelanggan-pelanggan yang mendambakan Kijang tempo dulu dengan teknologi terbaru, tapi tidak mampu untuk beli mobil Kijang paling mutakhir.
Avanza yang jadi mobil di segala lini kehidupan berbangsa dan bernegara inilah yang jadi “Kijang” seperti citranya zaman dulu. Sedangkan Kijang yang sebenarnya dalam bentuk Innova Reborn ini sudah naik karier untuk bertarung dengan para penunggang Fortuner atau Mitsubisi Pajero.
Soal ini, saya dapat bocoran dari teman saya yang makelar mobil mengenai pertarungan merek mobil 5 sampai 10 tahun mendatang. Bahwa Toyota perlu melakukan ini karena ada kompetitor lain yang tak diduga-duga mulai ikut menyenggol dominasi pabrikan Jepang di Indonesia.
Toyota perlu melakukan langkah-langkah antisipatif karena kelas menengah di Indonesia tidak lagi bisa dicekoki dengan reputasi merek untuk beberapa tahun mendatang. Melainkan sudah mulai banyak yang melek pada perbandingan kualitas dengan harga. Kalau bisa dapat murah tapi kualitasnya setara, ngapain beli lebih mahal ya kan?
Pesaing itu bukan muncul dari Hyundai Korea, KIA Korea, atau Chevrolet Amerika. Kekhawatiran Toyota ini dipelajari setelah melihat kacaunya konstelasi pabrikan smartphone yang dialami Samsung atau Nokia dengan lahirnya Xiaomi. Di mana meski sempat diremehkan, tapi saat ini justru banyak pabrikan smartphone yang mesti berdarah-darah melawan “murah”-nya Xiaomi yang jebul tidak terlalu murahan itu.
Eh, memang siapa sih kompetitor yang dikhawatirkan Toyota itu? Yak, pliswelkom: Wuling.