Curhat
Dear Mojok, saya mau curhat serius.
Tapi sebelumnya, saya punya rikues khusus. Saya minta untuk curhat saya kali ini, yang njawab Mas Dafi, sebab curhatan saya ini menyangkut perkara aliran agama, sehingga rasanya pas kalau yang njawab adalah lulusan pesantren.
Jadi begini, Mas Dafi.
Sebelumnya sedikit saya ceritakan latar belakang saya, saya sejak kecil sudah aktif sebagai “warga” sebuah ormas yang cukup eksklusif terhadap yang beda aliran. Tentang ormas ini saya yakin Mas Dafi cukup paham. Tapi bagaimanapun juga, di ormas ini saya mendapat banyak ilmu dan pemahaman tentang Islam.
Sampeyan tentu paham dengan doktrin di dalam ormas ini, tentang kebenaran beribadah yang kita klaim sebagai satu-satunya yang paling benar.
Garis besar tentang beribadah di sini adalah harus sesuai dan memurnikan Al-Quran dan Hadis hanya karena Allah sampai mati. Dengan dalil “yarjuuna rohmatahu wayakhofuna adzaba…” mengharapkan rahmat (pahala) dan takut pada siksa-Nya. Definisi “karena Allah” inilah yang kemudian ketika saya beranjak dewasa menjadi semacam jadi ganjalan di hati.
Adalah kisah Cak Dlahom-nya Almarhum Cak Rusdi yang menginspirasi saya (untuk Cak Rusdi Alfatihah), saya akhirnya mencoba untuk membuka diri dan pikiran. Saya tidak lagi fanatik terhadap satu ormas saja. Saya datangi beberapa pengajian umum.
Sampai kemudian, di satu acara pengajian, sang kiai menyampaikan tentang tingkatan niat beribadah kepada Allah. Belio menjelaskan, niat ibadah yang paling mulia itu hanya semata mengharapkan ridho Allah, karena cinta pada Allah. Di titik inilah saya mulai mengalami-mungkin bisa disebut krisis identitas.
Keyakinan saya selama ini seolah langsung diempaskan. Saya yang semula dipenuhi hitung-hitungan pahala-dosa sangat malu ketika mencoba memahami frase “mengharap ridho Allah”.
Empat tahun terakhir ini ibadah saya serasa kosong, saya belum bisa memaknai ibadah dengan mengharap ridho-Nya. Dalam sholat malam saya sampai menangis karena sulitnya mencoba untuk khusyuk, bayang-bayang mendapat pahala besar saat menunaikan ibadah masih saja bermunculan. Dulu yang saya sempat merasa sombong dan merasa kasihan terhadap orang-orang yang saya anggap dholalah, kini berbalik saya justru mengasihani diri sendiri.
Meski begitu saya tidak bisa mengkhianati ormas ini, tapi saya juga tidak bisa menerima pemahaman tentang niat beribadah yang diajarkan, atau jangan-jangan saya salah dalam menafsirkan ajaran Islam? Mohon Mas Dafi bisa memberi pencerahan bagi saya, apa yang mesti saya lakukan?
Jawab
Dear anonim. Meski saya tahu nama ormas yang saudara maksud, tapi saya kok malah curiga kalau sampeyan itu sebetulnya punya jiwa-jiwa Nahdliyin. Lha itu, sama almarhum Cak Rusdi Mathari aja sampeyan kirim alfatihah segala, hehehe. Haduh, ternyata Cak Rusdi emang bisa menyatukan yang beda-beda ya? Alfatihah buat beliau~
Oke, kembali ke topik. Mengenai ormas yang sampeyan ceritakan itu. Secara pribadi saya memang tidak pernah ada masalah dengan ormas tersebut. Bahkan beberapa teman saya sendiri ada yang ikut ormas yang sampeyan juga ikuti, meski mungkin tidak seekstrem yang biasanya digosipin oleh orang-orang di luar ormas ini.
Begini, Mas Anonim. Mengharapkan ridho Allah itu memang tataran yang paling yahud. Beruntung Mas Anonim bisa mencapai kesadaran itu. Sebab, seperti yang sampeyan juga tahu, tidak banyak orang yang bisa mencapai pemahaman sampai seperti Mas Anonim ini lho.
Hanya saja, jangan kemudian menganggap bahwa orang yang masih “transaksional” (dengan konsep pahala-dosa atau surga-neraka) dalam berhubungan dengan Allah jadi salah atau tidak benar ya, Mas. Sebab, pengalaman setiap manusia dalam berhubungan dengan Allah itu beda-beda. Sebab hubungan spiritual semacam itu bagi saya seperti aurat. Tidak perlulah ditunjukkan ke orang-orang dan biarkan jadi rahasia sendiri-sendiri. Oleh karena itu, tidak patut bagi sesama kita saling menghakimi kedekatan seorang hamba sama Tuhannya.
Yang kemudian perlu dibenahi dari saya dan Mas Anonim, mungkin adalah soal habluminannas-nya. Hubungan sosialnya. Nah, karena di sini urusannya dengan sesama manusia, maka diperlukan cara-cara manusia juga, enggak bisa dong memperbaiki hal-hal duniawi begini dengan doa saja, ikhtiar kan juga diwajibkan dalam agama. Termasuk juga dalam soal mengikuti ormas-ormas keagamaan. Ini juga salah satu bentuk habluminannas itu.
Nah, untuk itulah agama juga memandang sangat penting mengenai akhlak. Mengenai perilaku. Agar hubungan sesama manusia bisa adem ayem, tentrem, seperti hubungan antara tutup pentil ban motor dengan ban motor yang mesra. Mas Anonim juga pasti tahu, kalau misi Nabi Muhammad itu awalnya untuk memperbaiki akhlak. Bukan memperbaiki ilmu pengetahuan umatnya.
Haya jelas dong.
Kota Mekah saat itu sedang maju-majunya peradabannya. Jadi lokasi ziarah favorit plus jadi tempat perdagangan maju pada periode segitu. Artinya, kita sebagai umat beliau, yang diutamakan terlebih dulu dalam hubungan antar manusia itu ya akhlaknya. Makanya kalau Mas Anonim pernah mondok di pondok tradisional, biasanya kan kitab pertama yang kita pelajari adalah Akhlaqulilbanin atau Ta’lim muta’alim bagaimana cara berperilaku yang baik dulu dan bagaimana menghormati orang tua sekaligus guru-guru. Baru setelahnya dikasih pengetahuan-pengetahuan yang canggih-canggih soal tafsir dan sebagainya.
Harapannya, agar jadi orang itu baik dulu secara agama, jangan jadi pintar dulu secara agama. Soalnya kalau jadi pintar dulu secara agama dan kebetulan kebaikan/akhlak nggak dibarengi, yang terjadi malah bisa jadi bencana.
Mengenai perasaan sombong menganggap diri sendiri adalah yang paling benar itu memang manusiawi sih. Jangankan sampeyan. Saya dan masyarakat Nahdliyin saja belakang ini juga sering merasa benar sendiri kok. Tidak percaya yang lain, menganggap yang lain itu radikal, lalu bermaksud ingin memerangi golongan radikal—malah jadi terjebak jadi radikal sendiri. Jadi ruwet kan?
Poinnya, menganggap aliran sendiri benar dan yang lain salah itu menurut saya nggak apa-apa. Ya iya dong, gimana kita bisa menilai diri kita benar kalau nggak tahu batasan salahnya?
Yang jadi masalah kalau apa yang kita anggap salah itu diutarakan di depan orang yang kita anggap salah dengan kata-kata yang tidak mencerminkan akhlak-akhlak Nabi. Masa iya kita mau bilang ke orang buta, “Woy orang buta”, atau orang pincang “Woy pincang!”, ya memang bener sih yang dipanggil itu buta atau pincang, tapi kan akhlak membuat kita tak perlu menunjukkan kekurangan orang lain juga.
Soal mengenai ormas yang tidak bisa dikhianati, kalau memang betul dengan ormas itu Mas Anonim bisa semakin dekat dengan Allah dan tidak menyakiti orang-orang di sekitar sampeyan, lalu apa salahnya?
Jadi alasan untuk “ingin keluar” itu saya pikir tidak cukup masuk akal. Kalau memang keluarga Mas Anonim (terutama ibu) menghendaki Mas tetap di situ dan mas menganggap bahwa hanya ormas itu yang bisa mengakomodasi hubungan spiritual sampeyan dengan Allah, ya kalau kata saya ngapain juga harus keluar?
Kecuali kalau mas menemukan sendiri keraguan dan menemukan kelompok lain yang lebih bisa mengakomodasi hubungan kita dengan Allah, nah itu baru nggak masalah. Hanya dengan catatan; jangan sampai karena mengejar hubungan Allah, lalu mengabaikan hubungan baik dengan sesama manusia. Apalagi sampai menghilangkan sifat-sifat Allah yang diwariskan ke manusia; seperti pengasih dan penyayang.
Semoga kalimat berbusa-busa ini, sudah cukup memuaskan ya Mas Anonim ya. Kalau ternyata belum memuaskan, ya maaf, saya kan memang bukan alat pemuas, hehe.
Salam
~Khadafi Ahmad