MOJOK.CO – “Kepercayaanku kepada Allah dan agama Islam tidak akan segampang itu jadi lebih tingi atau lebih rendah karena omongan orang,” kata Gus Mut.
Dengan semangat perjuangan yang membara Mas Is meminta Gus Mut menyeru ke warga kampung untuk ikut aksi bela agama yang akan diselenggarakan beberapa hari lagi di balai kota.
“Kita harus tunjukkan sikap kita, Gus. Bahwa Islam nggak boleh dihina. Nggak boleh dinista,” kata Mas Is penuh membara sambil menunjukkan selebaran ajakan untuk aksi bela agama.
“Dapat dari mana, Is, selebaran ini?” tanya Gus Mut nggak begitu menanggapi pernyataan Mas Is.
Tak berselang lama Fanshuri datang. Memang kebetulan pada sore itu, Fanshuri sudah janjian main catur dengan Gus Mut. Tentu Fanshuri sedikit terkejut kalau udah ada orang lain yang sudah datang. Lebih terkejut lagi kalau yang datang Mas Is.
“Loh? Ada Mas Is, janjian mau ikut main catur sama Gus Mut juga?” tanya Fanshuri langsung duduk di samping.
“Ini loh, Mas Is dapat selebaran aksi bela agama di balai kota besok Sabtu,” kata Gus Mut ke Fanshuri.
“Iya, Fan. Kita nggak bisa biarkan ini,” kata Mas Is masih semangat.
“Biarkan apa sih? Coba sini lihat,” kata Fanshuri meminta selebaran yang sedang dibawa Gus Mut.
“Oh, kasus yang kemarin itu to?” tanya Fanshuri enteng saja.
Mendengar Fanshuri berkata seperti itu lalu cuma melengos mengambil papan catur, Mas Is jadi sedikit tersinggung. “Kok gitu mukamu, Fan? Nggak enak banget. Kamu nggak merasa sakit hati gitu melihat ada orang menghina agama kita? Keislamanmu itu perlu dipertanyakan lho, Fan.”
Mendengar itu Fanshuri jadi ikut naik pitam. “Apaan ini maksudnya mempertanyakan agamaku segala? Urusanmu apa, Mas?” Fanshuri yang tadinya mau ambil papan catur berbalik menantang.
“Kamu itu gimana sih, agama kita ini yang sedang diserang. Kok respons kamu begitu aja?” Mas Is tidak mau kalah.
Gus Mut cukup terkejut dengan potensi perkelahian yang hampir terjadi di hadapannya. “Eh, sebentar, sebentar. Ini ada apa sih, kok jadi ribut di rumahku,” kata Gus Mut gelagapan mencoba melerai.
“Ini dia, Gus, Mas Is nyolot aja bawa-bawa keagamaan orang,” kata Fanshuri nunjuk-nunjuk.
“Apaan Islammu itu, Fan. Begini kok malah bersikap dingin nggak mendukung perjuangan Islam,” balas Mas Is tidak mau kalah.
“Sudah. Ini kalian ada di rumahku lho. Kalau mau ribut ya jangan di sini, sudah sana di jalanan saja,” kata Gus Mut sedikit marah pada Fanshuri dan Mas Is. “Aku bakal masuk saja ke rumah kalau kalian tidak mau tenang. Gimana?”
“Iya, iya, Gus, habis…” kata Mas Is garuk-garuk kepala.
“Halah, yang mulai juga tadi kamu, Mas,” kata Fanshuri.
“Sudah, Fan. Kamu ini loh, nggak ada berhentinya ini nanti,” kata Gus Mut. “Sudah, sudah, sini aku mintakan kopi dulu sama Fatonah.” Fatonah itu maksudnya istri Gus Mut. “Bu, minta kopi dua lagi ya buat Fanshuri sama Mas Is,” pinta Gus Mut sambil melengok ke dalam rumah.
“Sudah, ini gimana sih kok jadi ribut gini. Aku sedang damai-damai gini kok tahu-tahu kalian ribut saja. Sebentar, Is, tadi pertanyaanku belum kamu jawab. Dari mana kamu dapat selebaran ini?” tanya Gus Mut.
“Oh, itu. Dari masjid kampung sebelah, Gus. Kebetulan tadi aku lewat masjid di sana. Terus ada ramai-ramai. Aku lihat, eh ternyata ada kabar kalau agama kita lagi dilecehkan orang terus ada bagi-bagi selebaran itu,” kata Mas Is.
Gus Mut mendengarkan dengan seksama penjelasan Mas Is.
“Kamu sering salat di masjid kampung sebelah itu ya?” tanya Fanshuri tiba-tiba memotong Gus Mut.
“Sudah lah, Fan. Biar aku saja yang nanya. Kamu nggak usah bicara ya? Nanti ribut lagi,” kata Gus Mut. “Tapi aku juga jadi penasaran, kamu sekarang salat di masjid sana ya? Pantes dari dulu nggak pernah kelihatan salat di masjid,” tanya Gus Mut.
Mas Is baru saja mau menimpali pertanyaan Fanshuri, untung Gus Mut menegur Fanshuri.
“Ya nggak juga sih,” kata Mas Is.
“Nggak juga gimana?” tanya Gus Mut.
“Ya kan Gus Mut tahu. Boro-boro salat di masjid. Salat wajib saja saya masih bolong-bolong,” kata Mas Is. “Tapi kan ini beda soal, Gus. Ini soal membela harga diri kita sebagai umat muslim. Ya gimana nggak marah kalau agama kita dihina sedemikian rupa?” sambung Mas Is yang khawatir akan dimasalahkan persoalan salatnya yang masih bolong-bolong itu.
Fanshuri hampir saja ketawa. Untung dia bisa menahan, akan bisa jadi perkelahian hebat kalau sampai Fanhsuri menertawakan tetangganya itu. Apalagi Gus Mut juga sama sekali tidak tertawa mendengar pengakuan Mas Is.
“Ya sudah, kalau memang panggilan hatimu ingin berangkat ikut aksi, ya silakan saja. Itu hakmu juga sebagai seorang muslim,” kata Gus Mut.
“Tapi kan aku ke sini bukan minta restu, Gus. Aku ke sini itu untuk ngajak Gus Mut, Fanshuri, dan warga kampung kita. Agar menunjukkan kalau kampung kita ini kompak,” kata Mas Is lagi.
“Apa saya juga nggak berhak untuk nggak ikut-ikutan begitu?” tanya Gus Mut.
“Iya itu hak Gus Mut sih, tapi kan masa Gus Mut sebagai salah satu tokoh agama di sini tidak merasa tersinggung ketika agama Gus Mut dihina sih? Ini kan jadi aneh bagiku, Gus,” kata Mas Is.
“Justru sebenarnya itu yang aneh itu kamu, Mas. Ngapain ikut beginian padahal ibadah saja kamu masih bolong-bolong gitu. Apa nggak aneh?” kali ini Fanshuri sudah tidak bisa menahan diri.
“Fan, diam kamu. Jangan bikin masalah lagi,” tegur Gus Mut lagi kepada Fanshuri.
“Justru ini kan bisa jadi momentum saya kan, Gus? Untuk kembali ke Islam yang kaffah? Siapa tahu setelah aksi ini aku jadi umat yang rajin. Salat nggak bolong-bolong lagi ya kan?” bela Mas Is.
Gus Mut tersenyum mendengarnya.
“Makanya, itu, Is. Aku kan juga nggak melarang kamu untuk ikutan aksi tersebut. Karena aku juga berpikiran demikian. Siapa tahu gara-gara aksi ini kamu jadi sering jamaah ke masjid bareng kita-kita ya kan? Ya bagus dong kalau itu memang jadi tujuanmu. Lagian membela agama Allah itu memang ada dalilnya. Semakin mendekatkan diri ke Allah. Kan memang caranya tiap orang itu nggak harus sama. Jadi bukan hakku juga untuk menilai bahwa niatmu untuk ikut aksi itu baik atau jelek,” kata Gus Mut.
“Berarti Gus Mut positif nggak bakal ikutan ini? Padahal kan ada dalilnya kata Gus Mut tadi?” tanya Mas Is lagi.
Fanshuri mulai tak sabar, meski begitu tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya.
“Karena aku ada kewajiban lain yang lebih penting,” kata Gus Mut.
“Apa itu Gus kalau boleh tahu?”
“Ya aku kan harus ngajar. Kalau aku ikut bela aksi agama seperti itu, kan kasihan murid-muridku,” kata Gus Mut.
“Ya tapi kan itu urusan dunia, Gus. Ini kan urusan sama Allah, Gus?” tanya Mas Is lagi.
“Mengajar itu juga urusanku sama Allah. Ini juga caraku membela agamaku. Ngajar ngaji di surau kecil begini juga jadi ibadahku. Karena menuntut ilmu itu jadi kewajiban murid-muridku juga. Dan apa jadinya jika aku mengingkari kewajiban murid-muridku, Is?” tanya Gus Mut.
“Kok kalian malah nggak marah sih sama beginian? Jelas-jelas agama Islam dilecehkan,” kata Mas Is mulai tak sabar.
“Karena mungkin pengalaman agamaku berbeda denganmu, Is. Terserah mereka mau bilang agamaku kayak apa, karena kepercayaanku kepada Allah dan agama Islam tidak akan segampang itu jadi hina. Keyakinanku nggak akan nambah atau berkurang hanya gara-gara ada orang yang menghinaku atau kepercayaanku. Kalau bisa jadi rendah atau tinggi hanya karena omongan orang, ya bagiku itu perhitungan secara komunal saja, bukan keyakinan,” kata Gus Mut.
“Oleh karena itu, aku persilakan kalau Mas Is mau datang. Karena keyakinan Mas Is kan bentuk dan pengalamannya beda dengan keyakinanku meski kita sama-sama Islam. Toh yang kita lakukan ini sama-sama ada dalilnya kan? Hanya saja tentu nggak boleh hanya karena hal itu kita jadi nggak berteman, jadi nggak bersilaturahmi, jadi nggak ngopi-ngopi bareng ya kan?”
“Ta, tapi, Gus. Kita sebagai umat Islam itu harus kembali. Kembali ke Islam yang kaffah. Dan dengan jalan ini kita justru bisa menyatukan persepsi. Menunjukkan pada dunia luar bahwa Islam Indonesia itu kuat karena bersatu,” kata Mas Is.
“Kembali ke mana, Is, maksudmu?”
“Ya kembali ke Al-Quran dan As-Sunnah dong, Gus,” jawab Mas Is lagi.
“Lah, memang kita selama ini hidup harus selalu pakai itu. Kita nggak pernah dan nggak boleh ke mana-mana memang. Lah masa nggak ke mana-mana kok disuruh kembali. Rumahku itu ya Al-Quran dan As-Sunnah. Lah ngapain aku disuruh kembali kalau aku sudah di dalam rumah? Jangan-jangan justru yang mewanti-wanti itu yang sebenarnya belum kembali?”
Mas Is terdiam mendengarnya.
“Belum kembali ke masyarakat, belum kembali jamaah di masjid kampung sendiri, belum kembali ke orang tua untuk berbakti kepada mereka, belum kembali ke keluarga untuk menafkahi mereka, belum kembali ke anak-anaknya untuk kasih waktu ke mereka. Karena yang begitu-begitu ada juga di Al-Quran dan As-Sunnah. Keduanya sangat dekat, sedekat ciumanmu ke sajadah waktu salat malam atau sedekat ciuman kening ke istrimu. Al-Quran dan As-Sunnah itu di sekitar kita, nggak pernah jauh. Jadi ngapain kembali?”
“Tap, tapi, Gus…” Mas Is merasa belum puas.
Fanshuri yang sedari tadi sudah tidak sabar.
“Sudah, biar nggak pusing, ayo kita main catur saja sudah,” kata Fanshuri langsung menaruh papan catur di atas meja.
“Nah, ide bagus. Ayo, Is. Kamu main sama Fanshuri dulu, nanti yang menang lawan aku ya?” kata Gus Mut.