MOJOK.CO – Ketika sebuah sinetron meledak dengan rating share sangat tinggi, maka kompetitor akan melakukan berbagai macam cara untuk berebut.
Bagi orang-orang TV dan orang iklan, rating share merupakan penentu panjang atau pendeknya umur sebuah program. Ia adalah indikator banyak tidaknya penonton program masing-masing setiap jamnya. Data perolehan pemirsanya bisa amat sangat detail dan lengkap, bukan cuman dari jam ke jam, bahkan dari detik ke detiknya.
Bahkan ketika TV mati, tak ada penonton, data tetap bisa disediakan oleh Lembaga Survey AC Nielsen. Lembaga survei satu-satunya yang menyediakan data kepemersiaan melalui sampel pemirsa. Jujur, orang-orang TV dan iklan pun tak pernah tahu siapa-siapa saja keluarga yang disurvei.
Artinya keluarga mana saja yang memiliki people meter di Indonesia. Oh iya, btw people meter adalah remote khusus yang dibuat untuk penghuni rumah yang disurvei.
Seorang pemirsa yang disurvei Nielsen, harus menekan tombol khusus berupa gender dan kategori usia sebelum dia menekan channel TV. Makanya, setiap hari (kecuali hari Minggu dan tanggal merah), orang-orang TV memiliki data siapa saja pemirsa yang menonton programnya pada hari kemarin.
Siapa penonton terbesar program sinetron mereka, umur, gender, kelas sosial dari mana asal penonton mereka dan pada menit-menit kapan pemirsa mereka berkurang dan pindah ke channel mana.
Seiring berjalannya waktu, data dari AC Nielsen ternyata mampu membuat sebuah genre drama, berevolusi karena menyesuaikan dengan selera penonton.
Kenapa muncul jenis drama hardcore yang setiap scene-nya berisi orang emosi, marah-marah, bentak-bentak, banting pintu, pecahin gelas, gebrak meja? Ternyata karena data memperlihatkan pemirsa stay dan meningkat pada saat melihat scene-scene bertensi tinggi seperti itu.
Penonton seperti kalangan emak-emak atau asisten rumah tangga yang sedang menonton TV pada pagi hari sambil bekerja, ngepel, masak, atau nyapu akan wajar jika tertarik ketika mendengar di TV ada orang yang berbicara pakai nada keras. Dilanjutkan dengan tayangan seorang tokoh jahat menindas tokoh baik nan lemah.
Sementara di TV lain, kompetitor yang menargetkan audience-nya lebih ke remaja akan asyik bermain dengan FTV remaja. Cerita tentang anak kuliahan dengan cinta-cintaan atau romantis-romantisan.
Mereka sadar, penonton remaja tak mungkin bakal tertarik melihat genre drama hardcore atau FTV hidayah. Sama halnya dengan TV lain yang menargetkan pasar pemirsa anak kecil, mereka akan asyik dengan acara kartun.
Bisa dibilang, semua Stasiun TV dan Agensi Periklanan TV melihat data rating share berdasarkan pada laporan lembaga survei satu-satunya ini.
Ketika sebuah sinetron meledak dengan rating share sangat tinggi, maka kompetitor melakukan berbagai macam cara untuk “berebut kue”. Dan perang terbesar itu terjadi pada saat jam prime time (antara jam 18.00 sampai 22.00).
Pada jam inilah, jam penonton terbanyak terjadi. Semua orang sudah berkumpul di rumah. Anak-anak pulang sekolah, ayah pulang kerja, dan emak sudah selesai beres-beres rumah. Potensi paling mudah untuk mencapai rating share tertinggi ketimbang periode waktu yang lain.
Prime time sering disebut “program besi” atau “program magnet”, karena ketika sebuah tayangan di slot prime time, baik itu talkshow, variety-show, reality-show ataupun sinetron menarik banyak penonton, maka ketika TV off, besoknya, pas TV on, channel TV-nya masih sama dengan yang dinyalakan saat prime time.
Itulah kenapa, harga iklan saat prime time begitu mahal. Ya karena pemirsanya terbanyak.
Ketika sebuah stasiun TV menang rating share dalam peperangan prime time, makai TV tersebut biasanya menjadi TV dengan peringkat pertama dari slot keseluruhan. Tentu saja ini diikuti dengan iklan-iklan yang banyak tergiur untuk memasang promo brandnya pada jam ini.
Makannya penting bagi para pelaku industri hiburan ini untuk menganggap semua slot adalah prime time dan harus dimenangkan kalau mau jadi stasiun TV nomor satu.
Ketika dulu Dunia Lain TRANSTV heboh dengan uji nyali dan penampakannya, stasiun-stasiun TV lain membuat program serupa. Atau ketika pada tahun 2013, Yuk Kita Sahur, program prime time Trans TV yang awalnya sukses di bulan Ramadan lalu jadi program regular dengan nama Yuk Keep Smile, mendadak muncul program-program serupa di TV lain. Beberapa di antaranya, seperti di SCTV dengan Like This-nya.
Ketika ramai reality-show pencarian bakat Akademi Fantasi Indosiar (AFI), semua mendadak berbondong-bondong berkompetisi melawan dengan program serupa. Dari Idol, The Voice, Got Talent, sampai Indonesia Mencari Bakat.
Semua ini dilakukan untuk memenangkan hati penonton agar stasiun TV yang bersangkutan mendapatkan data yang lezat dari AC Nielsen. Rating share penonton 15-20 persen merupakan standar banyak stasiun TV untuk akan menentukan panjang-pendeknya suatu program yang mereka miliki.
Saat saya di TRANSTV, ketika sebuah program mendapat rating share 15 persen, maka produser beserta timnya akan mendapatkan bonus.
Jika satu program, berada di angka itu dan berlangsung lama, maka semua produser, penulis, kreatif, sutradara, artis, dan kru akan lega karena selain ada di zona aman, juga ada di zona nyaman dengan bonus yang menggiurkan.
Apalagi jika sebuah program mendapatkan lebih dari 20 persen atau bahkan mencapai rating share 50 persen, itu adalah kebahagiaan terbesar para pekerja yang terlibat di dalamnya.
Mari berandai-andai sejenak, jika saja AC Nielsen, lembaga survei yang menyediakan data kepemirsaan ini tak pernah ada, tak ada sampel yang disurvei? Apakah yang akan menjadi pedoman untuk para pengiklan?
Apakah komentar netizen, trending-nya sebuah program di Twitter atau di IG Lambe Turah yang akan menjadi indikator keberhasilan sebuah program televisi? Tentu saja tidak.
Sebab, komentar netizen bisa fake dan satu orang bisa membuat banyak akun media sosial. Viral potongan adegan di media sosial juga tak menandakan sebuah acara ditonton dari awal sampai akhir oleh pemirsa TV.
Jadi wajar saja jika selentingan apapun yang terjadi di media sosial soal program TV, mau seviral apapun, tak akan mengubah kebijakan di program stasiun TV. Sebab, selain tak begitu berpengaruh terhadap rating share, penonton televisi juga kebanyakan tidak aktif bermedia sosial.
BACA JUGA Tulisan Balasan untuk Penulis Skenario FTV Cepi Komara dari Netizen yang Masih Nonton Televisi dan tulisan Cepi Komara lainnya.