MOJOK.CO – “Tuhan, tolong jadikanlah pak Amien Rais sebagai calon presiden. Tolong jadikan, Tuhan.” Doa yang tulus dari seorang anak kecil yang masih SD di Maluku.
“Bapa, kalo ko tra percaya hitung cepat, ya sudaa… Ko hitung sendiri plan-plan.”
Ya, Pilpres 2019 dengan segala kehebohannya sudah berlalu. Kontestasi politik itu tidak hanya menjadi ajang berebut posisi kuasa, tapi juga ujian bagi penghitungan hasil-hasil survei tentang siapa yang paling ilmiah, paling akurat, siapa paling waras.
Dengan mensleding kata-kata terkenal Charlie Chaplin, saya mau bilang: politik bisa jadi tragedi bila dilihat secara close-up. Tapi jadi komedi bila dilihat secara long-shot. Sekrang kita mulai punya waktu sedikit untuk ngaso, dengan menyiapkan cara pandang long-shot itu.
Pak Amin Rais Capres?
Di sebuah SD di Maluku, di awal-awal tahun kemarin, para pelajar kelas 6 sedang mengikuti sebuah ulangan yang diberikan oleh gurunya. Sebuah soal menanyakan tentang siapa saja calon presiden yang akan mengikuti pemilihan presiden yang akan datang.
Seorang anak, sebut saja namanya Johan, sepulang sekolah terus-menerus berdoa: “Tuhan, tolong jadikanlah pak Amien Rais sebagai calon presiden. Tolong jadikan, Tuhan…”
Sang Mama yang mengamati dan mendengarkan lafal doa si anak lalu bertanya:
Mama: “Ko bikin apa, Johan?”
Johan: “Beta ada berdoa, Mama.”
Mama: “Kenapa ko sebut-sebut pak Amien Rais sebagai calon Presiden? Calon Presiden kan, Pak Jokowi dan Pak Prabowo?”
Johan: “Itu sudah, Mama. Tadi di jawaban ulangan beta tulis pak Amien Rais yang jadi calon presiden. Makanya beta berdoa semoga Tuhang Allah kasi ganti Jokowi dengan pak Amien Rais, Mama.”
Mama: “Ko pi mandi sudah. Biar otakmu sadiki encer.”
Sambil berjalan ke kamar mandi Johan berkata: “Mama ee, Tuhang Allah Maha Kuasa, to? Kalau Tuhang Allah su mau Pak Amien Rais jadi calon presiden, katorang manusia bole bikin apa?”
Sujud Syukur
Usai pengumuman quick count dengan segala buntut dan efeknya, sahabat saya Jefry menelpon, barang tentu sambil bercerita tentang prediksi hasil penghitungan suara di kota Ambon. Sebelumnya saya perlu ceritakan bahwa Jefry adalah aktivis senior di Ambon khususnya, dan kawasan Maluku pada umumnya.
Pada Pemilu 2014 lalu Jefry pernah mencalonkan diri sebagai caleg daerah dari Partai Demokrat. Ketika berkampanye di sebuah kampung, seorang Mama tua bertanya: “Nyong, kasih jelas dolo partai Demokrat itu bagaimana? Ini partainya dorang Nazaruddin yang kropsi itu, kah?”
Berbekal pengalaman lapangan berinteraksi di banyak komunitas di Maluku, sambil senyum sadiki hilang-hilang, Jefry berkata: “Mama ee, Mama pu pertanyaan ini bagus sekali. Tapi Mama, beta mau kata, kalau partai tra bisa disalahkan, to? Yang salah itu orangnya.”
Sang Mama balik jawab: “Nyong, mana bisa partai bajalan sandiri kalo trada manusianya yang kasi jalan?”
Jefry sudah dua kali mencoba masuk di dunia politik, tapi belum berhasil. Tahun 2014 itu masa terakhir ia mencoba. Dengar-dengar saat ini Jefry laris sebagai konsultan politik. Ia memang seorang ahli strategi. Nah, beberapa waktu lalu, ketika lembaga-lembaga survei sudah ramai merilis hasi-hasil hitung cepatnya, Jefry bertanya ke saya lewat telpon.
Jefry: “Ale, sujud syukur itu apa? Apa bedanya deng sujud solat di masjid-masjid itu?”
Saya: “Beda, ale. Sujud syukur itu bukan solat wajib. Itu hanya tindakan untuk menyatakan rasa syukur kepada Tuhan. Seng wajib, itu. Karena rasa syukur dan berterima kasih pada Tuhan bole dilakukan deng berbagai cara, ale.”
Jefry: “Capres 02 ada basujud syukur berkali-kali, tu.”
Saya: “Tra papa, to. Baik-baik sa. Itu tanda antua banyak bersyukur. Ale liat Mo Salah dorang. Tiga kali bikin gol, bisa tiga kali sujud syukur.”
Jefry: “Seng, beta cuma pikir, antua calon 02 banya-banya sujud syukur, mangkali nanti malah lupa sujud solat wajib. Su basujud berkali-kali, yang dilantik orang lain. Kasihan, to…”
Caleg fakir miskin
Teman-teman relawan penanggulangan bencana di Sulawesi Tengah bekerja siang malam. Bukan hanya mendampingi para korban bencana di pengungsian, mereka juga terus mengawasi secara kritis kebijakan-kebijakan pemerintah dalam penanggulangan bencana. Beberapa dari mereka juga mencalonkan diri sebagai caleg daerah lewat berbagai partai.
Pencalonan itu sendiri sudah terjadi sebelum Sulawesi Tengah dihajar bencana pada September tahun lalu. Kendati begitu, kerja utama mereka sesungguhnya adalah mengurus pengungsi dan mengawal program-program rehab rekon pasca bencana. Bisa dikata urusan nyaleg adalah usaha sampingan.
Tapi politik kita sudah sedemikian rusaknya, di mana soal logistik menjadi penentu penting bakal terpilih atau tidaknya seorang calon politisi. Bukan komitmen kerja, apalagi keberpihakan seperti para relawan itu.
“Torang teman-teman yang nyaleg ini bisa dikata caleg fakir miskin. Caleg-caleg yang logistiknya kuat, ke mana-mana pasti datang bawa-bawa bingkisan, to. Kalo torang cuma bawa minyak angin. Bekerja dengan pengungsi sampe larut malam, bisa bikin badan masuk angin. Mestinya negara tidak cuma urus pengentasan kemiskinan orang miskin saja. Gimana dengan caleg fakir miskin seperti torang ini?” Begitu kata seorang teman relawan yang juga nyaleg untuk wilayah Poso, sebut saja namanya Jemy.
Tapi karena solidaritas di antara para relawan begitu bagus dan kuat, teman-teman yang nyambi nyaleg, sering merasa berada di dalam jaringan solidaritas di mana mereka bisa saling bacarita dan berbagi ide.
Begitulah. Satu kali Jemy bermaksud membuat kalender kampanye di awal tahun kemarin, lengkap dengan foto dirinya yang hmm itu. Rencananya dorang mau cetak 1000 eksemplar kalender. Desain so jadi, tapi logistik tra cukup untuk biaya pencetakan sebanyak 1000 eksemplar. Curhatlah ia ke seorang teman, sebut saja Ferry, di posko relawan.
Ferry: “Tuaka kasi kurang sa kalendernya.”
Jemy: “Apa maksud ngana? Jumlah eksemplarnya dikurangi?”
Ferry: “Bukan. Kasi kurang jumlah bulannya. Jang buat Januari sampai Desember. Januari sampai Juni, saja. Bisa to? Pasti percetakan akan kasi diskon.”
Akhirnya kalender jadi. Beres. Jemy yakin kampanyenya akan sakses. Ia lalu mencari seorang teman yang berprofesi sebagai driver lepas dan sering bawa penumpang. Kepadanyalah Jemy lalu menitipkan 1000 eksemplar kalender kampanyenya itu.
Selang 3 hari setelah kalender dititipkan, Jemy bertemu dengan temannya si driver lepas itu.
Jemy: “Bagimana? So ngana sebar kalenderku?”
Driver: “Beres bos! Sa so sebar rata di terminal dan pasar, satu orang dapa satu. Malah ada yang minta, tapi kalender so habis, bos!”
Jemy: “Mantap, bro! Terima kasih. Di wilayah mana sebarnya?”
Driver: “Sa kemarin dapa penumpang ke Palopo, to. Sa kasi sebar di Palopo sana, bos!”
Jemy: “Ancoor… Ngana tau sa bacalon di Poso, to? Palopo itu bukan cuma beda Dapil, tapi juga beda Propinsi… Tuangalah, gagal sudah nyalegku!”