Curi Mangga 1
Sore itu Ungke dan kawannya mau sekali makan mangga. Itu karena tadi siang sepulang sekolah mereka melihat mangga Pak Haji yang segar-segar. Tapi, rasa-rasanya untuk meminta langsung itu tidak mungkin. Pak Haji dikenal sebagai orang yang sangat kikir.
Maka tidak ada cara selain mencuri, Ungke serta kawannya bersepakat. Pohon mangga tepat berada di samping rumah Pak Haji. Strategi mulai disusun. Ungke bertugas sebagai juru panjat, sedangkan kawannya siaga di bawah pohon. Setelah merasa situasi cukup aman, aksi dimulai.
“Ungke … ko ambe yang di bawah-bawah saja.”
“Jang ribut … mo dapa dengar, Pak Haji?”
Ungke melempar mangga ke bawah. Kawannya bersiap menangkap. Sudah lima buah yang lolos diamankan. Sialnya, mangga keenam luput dari genggaman Ungke. Jatuh tepat di atap rumah Pak Haji. Beliau langsung bergegas keluar. Ungke juga meluncur laju ke tanah.
“Woooi! Kudacuki! Papancuri!” Pak Haji memergoki Ungke dan kawannya. Namun, mereka sudah berlarian terbirit-terbirit. Pak Haji meluapkan emosinya dengan berteriak.
“Anak babi! Kiapa sa pe mangga yang ko orang panjaaattt?!!”
Ungke yang mendengar teriakan itu dari kejauhan lantas menyahut.
“Bemana, Pak Haji tra ada ba kase siap tangga! Makanya tong panjaaattt!”
Curi Mangga 2
Semenjak kejadian pencurian Ungke, Pak Haji mulai bikin penjagaan ketat. Hampir tiap hari dia duduk di muka rumah. Entah sambil baca koran, minum kopi, bahkan makan di situ untuk memastikan agar tidak ada pencuri sekaligus memberikan pesan tersirat kepada Ungke dan siapa pun yang berniat mencuri untuk sebaiknya membatalkan niat.
Setiba waktu salat Asar barulah Pak Haji luput menjaga. Dan kebetulan papanya Ungke lagi lewat di depan rumah Pak Haji. Melihat buah mangga yang segar, dia akhirnya ingin makan mangga. Merasa Pak Haji tidak sedang mengawasi, tanpa pikir lama Papa Ungke langsung memanjat.
Belum sempat mengambil satu pun buah mangga suara Pak Haji sudah terdengar.
“Woooi! Cukimai! Pancuri! Turuuun!” teriak Pak Haji dari bawah.
Mendengar itu Papa Ungke kaget bukan main. Dia bergegas turun ke bawah. Ssseeet, Papa Ungke tepat meluncur di bawah. Belum sempat Pak Haji memarahi, paaak, Papa Ungke keduluan menampar Pak Haji.
“Ko bateriak kaya apa saja! Ko kira kalo sa jatuh, ko mo tanggungkah?”
Pak Haji membisu, Papa Ungke berlalu.
Curi Mangga 3
Ternyata bukan cuma Ungke yang ingin mencuri mangga Pak Haji. Angki, anak Pak RT yang juga kawan Ungke, punya hasrat yang sama. Sebab, tidak ada lagi mangga di kampung itu selain milik Pak Haji. Jadi, jika ingin menikmati segarnya buah mangga, mengingat Pak haji yang begitu kikir, tidak ada jalan lain selain mencuri.
Ketika melancarkan aksinya, keberuntungan belum memihak kepada Angki. Dia terpergok Pak Haji.
“Turun! Turun!” bentak Pak Haji.
Angki tidak bisa lagi ke mana-kemana. Dia berada dalam kendali Pak Haji.
“Memang ko orang ini, cuma tahu mencuri. Begitu ko diajar papamu? Ikut saya, biar papamu yang goso kau, anak tidak tahu diajar!” Pak Haji emosi betul. Namun, sebelum Pak Haji bergegas, Angki angkat bicara sambil melihat ke atas pohon.
“Papa, turun sudah, Om Haji dong so dapat kita ini!”
Pak Haji mematung.
Duit Hilang
Pagi itu sewaktu Ungke akan berangkat sekolah, dia kaget karena uang yang disimpan dalam saku celananya hilang. Jumlahnya lima ribu. Maka, datanglah Ungke mengeluh di hadapan mamanya. Kebetulan pagi itu Papa Ungke juga lagi membersamai Mama Ungke.
“Sa pe uang ada hilang. Mama tra ada liat kah?” Ungke memasang wajah sedih.
“Di mana ko simpan?”
“Ini, di kantong celana, Mama. Tapi so tra ada sudah.”
“Coba ko ingat lagi, barang ko simpan tampa lain, jadi. Ada berapa yang hilang?”
“Seratus ribu, Mama” Ungke menjawab spontan.
Papa Ungke yang sedari tadi cuma diam buru-buru bersuara.
”Cukimai, ngana, Ungke. Uang cuma lima ribu itu. Papa ada pinjam tadi belikan rokok.”
Ungke tertawa sejadi-jadinya.