Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Corak Infus

Seperti Roda Berputar

Rusdi Mathari oleh Rusdi Mathari
16 Oktober 2017
A A
perawat mojok.co
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Bayangkanlah pada suatu ketika otot-otot di tubuhmu lenyap seperti ditiup angin. Bayangkanlah pada suatu ketika dirimu kehilangan daya hanya untuk memegang kapas.

Malam itu kami tiba di rumah sakit tentara di Jakarta Pusat pukul 20.15 atau sekitar tiga jam dari rumah saya di Jakarta Selatan. Itu waktu yang cukup lama untuk jarak 23 kilometer dan untuk kondisi lalu lintas yang berlawanan dengan arus kendaraan (yang mengangkut) orang-orang pulang kerja. Tapi, lalu lintas di Jakarta sering sulit ditebak, sebagaimana nyeri di punggung saya.

Di mobil saya seperti koboi amatir sedang belajar menunggangi rodeo: duduk di punggung kuda liar dan harus mengendalikannya. Serbasalah saya berusaha meredamnya. Sebentar bersila. Sebentar berselonjor. Kadang menjadikan dua telapak tangan sebagai jok tambahan mengganjal bokong. Mujarab?

Hanya pada saat menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan sampai saya tertidur (10 menit), rasa nyeri ikut menguap. Bangun tidur, kembali saya menunggangi kuda liar. Begitu seterusnya hingga saya keluar gelanggang rodeo: tiba di rumah sakit, turun dari mobil, berjalan tertatih.

Saya memegangi pundak Voja, anak saya. Kami berjalan sangat pelan. Mirip siput. Mungkin siput terluka seperti yang pernah saya lihat di halaman rumah pada suatu pagi. Cangkangnya remuk sebagian entah karena apa.

Di depan kami dokter dan istri saya terlihat bergegas masuk ke ruang IGD, Instalasi Gawat Darurat, sebuah nama yang identik dengan instalasi listrik atau teknik, dan karena itu tak pernah saya pahami penggunaannya sebagai istilah di rumah sakit.

Kami terus berjalan mencari tempat duduk buat saya. Pada malam Jumat itu bangku di ruang tunggu penuh terisi. Beruntung Voja melihat sebuah brankar yang seperti teronggok di sudut ruangan. Kami berjalan ke sana. Saat kian mendekat saya tahu, itu adalah brankar besi model lama dan butut: catnya kusam, tempat tidurnya tak bisa ditinggikan atau direndahkan.

Tingginya hanya sepinggang saya walau saya tetap kesulitan untuk naik ke atasnya. Voja tak bisa membantu. Kedua tangannya menahan brankar agar roda-rodanya tak bergerak. Saya terus berusaha menaikkan kaki atau bokong. Berusaha lagi. Lagi, lagi, dan lagi. Tetap tak sanggup. Rasa nyeri di punggung yang luar biasa telah membuat otot tangan tak bertenaga bahkan sekadar untuk memegang sisi brankar sebagai pijakan tubuh agar saya bisa naik.

Sialnya fragmen kami malah menjadi tontonan. Tak ada yang membantu atau bertanya. Orang-orang di ruang tunggu hanya memandangi. Mungkin mereka juga sibuk dengan keruwetan masing-masing karena orang tua, anak, suami, istri, saudara, atau sahabat mereka malam itu juga masuk IGD. Mungkin pula mereka merasa heran melihat wajah saya yang terlihat tidak sakit, tapi bisa kesulitan hanya untuk naik ke brankar. Sebagian sibuk dengan gajet masing-masing. Ini sungguh malam Jumat 13 Juli yang menjengkelkan.

Sekali lagi saya berusaha naik dan dalam waktu sekian detik, saya menjerit. Voja telah mengangkat kaki dan mendorong tubuh saya. Kini saya sudah di atas brankar dan bisa rebahan. Voja yang menunggu di samping melihat saya. Saya melihatnya. Dia seperti merasa bersalah. Saya berusaha tersenyum, mencoba meyakinkan dia, saya baik-baik saja.

Sejauh ini saya memang berusaha terlihat tidak sakit. Saya tak mau siapa pun termasuk Voja melihat saya lemah bahkan pada saat saya sebetulnya sedang hancur sehancur-hancurnya. Kali pertama merasakan nyeri di punggung, saya setiap akhir pekan tetap rutin mengajak Voja lari pagi mengelilingi danau sejauh lima kilometer (yang kemudian olahraga itu saya tinggalkan karena kondisi punggung semakin parah). Hanya istri saya yang tahu betapa saya sebetulnya sedang sakit dan menderita meski wajah saya tampak seperti orang sehat walafiat.

Jauh-jauh hari sebelum kondisi saya semakin memburuk, istri sayalah yang tahu sejumlah perubahan pada tubuh saya. Suatu hari sewaktu mengompres benjolan di punggung, dia memberi tahu bahwa pundak saya miring, sudah tidak simetris dengan tulang punggung yang juga bengkok. Kali lain, saat memandikan saya, dia memberi tahu otot-otot di bokong saya nyaris tak ada.

Saya memang laki-laki dengan bokong tepos atau tidak menjulang, tapi yang dimaksud istri saya bukan bokong saya yang semakin tepos, melainkan kulit di bokong yang kian kendur karena tidak ada lagi otot-otot yang menempel. Kulitnya berkerut-kerut. Seperti keriput. Mirip balon kempes setelah beberapa hari menjadi hiasan pesta. Dia juga yang memberi tahu tentang otot di paha lalu di betis yang juga mulai berkurang.

Saya kemudian bukan hanya kesulitan berdiri dan berjalan, tapi berat badan saya melorot drastis dalam hitungan hari. Dari semula berat normal 45 kilogram turun menjadi 35 dalam waktu sebulan. Kulit di sekitar siku tampak kendur.

Iklan

Setelah dirawat inap saya benar-benar tak mampu duduk tanpa dibantu untuk tegak dan tanpa sandaran, apalagi berdiri dan berjalan. Itu terjadi sejak hari-hari pertama. Perawat memasangkan gelang plastik berwarna telor asin sebagai tanda bahwa saya pasien terdaftar; di atas gelang ditempel stiker warna kuning sebagai tanda saya pasien yang harus diperlakukan ekstra hati-hati karena mudah “patah”—begitulah seorang perawat menerangkan arti warna-warna di gelang sewaktu dia selesai memasangkannya di pergelangan tangan saya. Kata dia, semua perawat tahu dan paham dengan tanda di gelang pasien. Saya tersenyum mendengar penjelasannya. Di rumah sakit ini saya merasa mirip barang pecah belah yang di kardusnya bertuliskan “Jangan Dibanting” atau “Fragile”.

Untuk hilir mudik dari ranjang ke kamar mandi saya harus dibopong oleh paling sedikit dua orang dengan kaki terseret-seret. Bersyukur banyak kawan yang rela menjaga saya, terutama dari Komunitas Kretek, beberapa mahasiswa, dan pesantren. Mereka rutin bergiliran menginap menemani saya. Setia memapah bahkan pada saat dini hari saat mereka sudah terlelap di sofa, dan mesti saya bangunkan dengan memanggil-manggil nama mereka. Keluarga pasien sebelah, keluarga dari seorang serdadu karier berpangkat letnan satu, sering juga membantu membangunkan kawan-kawan bila mendengar saya memanggil-manggil.

Di kamar mandi kawan-kawan itu mau memegangi badan saya agar tegak saat cuci muka dan menyikat gigi. Menyandarkan saya pada punggung kloset, membuka popok saat saya hendak kencing atau buang air besar, yang sering tidak jadi keluar atau kalaupun jadi keluar, hanya berupa cairan dan sedikit. Mereka juga orang-orang pertama yang melihat seluruh aurat saya. Mereka menyuapi saya. Mereka yang naik turun dari kamar perawatan di lantai empat ke lantai dasar untuk mengirim dan mengambil hasil uji darah, menebus resep, menyalin berbagai dokumen perawatan, membeli ini itu, dan sebagainya.

Pada suatu sore, di kamar mandi saya terjatuh. Mungkin karena rutin, istri saya dan seorang kawan kurang fokus memegang saya yang berdiri menghadap kloset. Bruuukkk …. Saya ndlosor di lantai. Istri saya menjerit. Kawan saya segera membopong agar saya kembali berdiri.

Anehnya, saya tak merasakan apa-apa. Tak ada luka. Tulang tak ada yang patah. Saya kemudian ingat tentang otot-otot di bokong dan kaki yang mulai tak ada dan tak berfungsi, seperti yang selalu diceritakan istri saya. Entah ke mana mereka semua pergi.

Sering saya mendengar suara, “Sekarang, apa yang bisa kamu lakukan, wahai Rusdi? Menurutmu, kamu itu siapa?”

Itu suara dari ototkah? Suara hati? Suara kesadaran jiwa? Saya berhalunisasi?

Saya hanya tahu, saya selalu terlambat menyadari bahwa saya bukan siapa-siapa di hadapan semesta raya. Bahkan sebutir debu pun bukan. Kalau sudah demikian saya hanya bisa menarik napas panjang, menahannya di perut selama mungkin lalu melepaskanya lewat mulut sepelan mungkin.

Apakah saya lumpuh?

Belum. Belum sepenuhnya bila dibandingkan dengan kelumpuhan total setelah punggung saya dibedah.

Sekitar sejam saya dan Voja menunggu di ruang tunggu IGD. Sejak sebulan sebelumnya, di pekan terakhir Ramadan tahun ini dan kini di ruang tunggu IGD, dia tahu yang terjadi pada saya. Istri saya memberi tahu saya: Voja sempat shock, terpukul. Sempat murung sekian hari.

Dari atas brankar butut mata saya berkaca-kaca memandangi wajah Voja. Dia memalingkan muka. Tangannya erat menggenggam tangan saya.

Terakhir diperbarui pada 27 November 2018 oleh

Tags: kankerototrumah sakitrusdi mathari
Rusdi Mathari

Rusdi Mathari

Artikel Terkait

perawat.mojok.co
Ragam

Perawat, “Pahlawan Kemanusiaan” yang Tak Dimanusiakan: Beban Kerja Selangit, Gaji Sulit

6 Oktober 2025
Getirnya Gen Z Jogja Jadi OB Rumah Sakit Cuma Digaji Rp800 Ribu: Jangankan Punya Rumah, Buat Ngopi Aja Mikir-Mikir.MOJOK.CO
Ragam

Getirnya Gen Z Jogja Jadi OB Rumah Sakit Cuma Digaji Rp800 Ribu: Jangankan Punya Rumah, Buat Ngopi Aja Mikir-Mikir

7 Mei 2024
takut naik lift.MOJOK.CO
Ragam

Pengalaman Pertama Naik Lift, Orang Desa Panik dan Malu di RS JIH Jogja sampai Buka Google Dulu

16 Maret 2024
Berdiri Hampir 50 Tahun, RSUP Dr Sardjito Bersiap Jadi Wisata Medis MOJOK.CO
Kilas

Berdiri Hampir 50 Tahun, RSUP Dr Sardjito Bersiap Jadi Wisata Medis

6 Oktober 2023
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Bencana Alam Dibuat Negara, Rakyat yang Disuruh Jadi Munafik MOJOK.CO

Bencana Alam Disebabkan Negara, Rakyat yang Diminta Menanam Kemunafikan

3 Desember 2025
Maybank Cycling Mojok.co

750 Pesepeda Ramaikan Maybank Cycling Series Il Festino 2025 Yogyakarta, Ini Para Juaranya

1 Desember 2025
Pelaku UMKM di sekitar Prambanan mengikuti pelatihan. MOJOK.CO

Senyum Pelaku UMKM di Sekitar Candi Prambanan Saat Belajar Bareng di Pelatihan IDM, Berharap Bisa Naik Kelas dan Berkontribusi Lebih

3 Desember 2025
Bakpia Mojok.co

Sentra Bakpia di Ngampilan Siap Jadi Malioboro Kedua

1 Desember 2025
Kirim anak "mondok" ke Dagestan Rusia ketimbang kuliah UGM-UI, biar jadi petarung MMA di UFC MOJOK.CO

Tren Rencana Kirim Anak ke Dagestan ketimbang Kuliah UGM-UI, Daerah Paling Islam di Rusia tempat Lahir “Para Monster” MMA

1 Desember 2025
Warung makan gratis buat Mahasiswa Asal Sumatra yang Kuliah di Jogja. MOJOK.CO

5 Warung Makan di Jogja yang Gratiskan Makanan untuk Mahasiswa Rantau Asal Sumatra Akibat Bencana

4 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.