Tanya
Dear Mojok dan jajaran pribadi murah hati yang bersedia piket menjawab curhat, semoga sehat selalu.
Dengan datangnya curhat ini, sudah jelas kalau saya ingin curhat ya. Misal tidak dimuat, dijawab pribadi via email pun saya berterima kasih.
Begini, saat ini saya bekerja di Kota Surabaya. Indekos di rumah kos untuk perempuan dan keluarga. Di kos ini, ada satu keluarga yang kamarnya tepat di depan kamar saya. Anggotanya, papa, mama, satu anak kelas 4 SD, dan satu bayi 6 bulan.
Si mama keluarga ini, sebut saja Mama Bernad, punya kebiasaan yang naudzubillah ngguatheli. Mulai dari suka mengatur, suka berteriak tanpa kenal waktu, dan suka minjam uang. Yang terakhir inilah yang paling mengesalkan saya.
Baru dua bulan saya kos di sana, saya sudah dipinjami uang oleh doski. Jumlahnya di bawah lima ratus ribu, alasannya untuk membayar uang sekolah anak. Sejak pinjaman pertama itu hingga sekarang, entah sudah berapa kali si Mama meminjam uang. Kalau ditotal, nominalnya sudah sekian juta.
Sejujurnya saya tulus membantu meminjamkan uang. Apalagi di awal-awal meminjam, Mama Bernad memang sedang hamil putra kedua, butuh tambahan biaya operasi caesar, dan sebagainya, dan sebagainya.
Sebagai orang yang saya kira masih sanggup membantu, saya pikir akan sangat jahat kalau saya bohong tak punya uang. Prinsip saya, kalau pengin dibaikin, harus baik sama orang, kalau nggak pengin dibohongi, jangan bohongi orang.
Demikianlah….
Waktu berlalu… sudah enam bulan sejak pinjaman pertama diberikan, tetapi belum sekali pun mereka berinisiatif mengembalikan. Selain selalu mengulur-ulur waktu untuk nyaur, mencicil pun tidak. Ya, mereka memang ngasih BPKB sepeda motor matic mereka ke saya sih.
Dengan keadaan sudah punya utang tidak sedikit, Mama Bernad masih percaya diri pinjam uang lagi ke saya. Selain pinjam ke saya, penghuni kos lain ternyata juga mengalami hal serupa. Saya yang awalnya simpati pada kesulitan si Mama menjadi jengkel sendiri.
Sebagai anak kos, nominal tersebut tidak sedikit. Dan tambah jengkelnya lagi, mengapa dalam keadaan yang sering ia koar-koarkan susah, merasa biaya kos kemahalan, SPP anak yang tinggi karena bersekolah di sekolah swasta, dan susu anak yang tidak murah, Mama Bernad masih suka memasak yang enak-enak.
Semua orang tua pasti ingin anaknya makan enak. Sayur lengkap dengan ayam, udang, atau daging. Tetapi tidak setiap hari juga kan. Saya yang ngutangin aja ngirit-ngirit di akhir bulan, mengapakah si Mama tega menggoreng udang tepung di akhir bulan? Atau jalan-jalan akhir pekan dan beli es krim Häagen-Dazs empat ember?
Sampai sebelum tulisan ini saya kirim, pagi tadi si Mama minta tolong saya menransfer sejumlah uang dengan dalih untuk mengambil rapor anak. Namun, setelah saya transfer, ternyata bukan rekening sekolah si anak yang saya kirimi uang, melainkan rekening suaminya.
Saya tidak tahu kebohongan apa yang sedang dibuat si Mama, saya tidak ingin berprasangka. Beberapa orang bilang, saya ini goblok nggak ketulungan. Nggak bisa menyortir mana yang layak ditolong, membahayakan diri sendiri, dan sebagainya. Tapi, sedih nggak sih jika suatu saat kita ganti yang butuh ditolong lalu orang yang kita mintai tolong pura-pura nggak bisa bantu?
Intinya, mendapat perlakuan demikian dari si Mama sampai tadi pagi, saya sudah kadung sakit hati. Bagaimana cara bijak menghadapi tetangga kos yang demikian?
Maaf, curhatnya kepanjangan.
~ E yang malang padahal tinggal di Surabaya
Jawab
E yang malang padahal tinggal di Surabaya,
Pertama, saya bukan psikolog. Sayang sekali, dua kru Mojok yang punya latar belakang sarjana psikologi justru bekerja sebagai tenaga keuangan dan sekretaris redaksi. Jadi, jika jawaban ini sangat tidak bijak, mohon salahkan saja Kepala Suku Mojok yang salah menempat orang.
Sikap saya terhadap kasus Anda sih jelas, yakni sama dengan tanggapan teman-teman Anda: Anda ini memang goblok nggak ketulungan. Tapi, semoga Mojok bisa menulungi Anda lewat balasan curhat ini.
Ya, sudah jelas tho, Mbak, kalau tetangga parasit seperti itu tidak usah ditolongi lagi. Sampean bukan malaikat yang nggak bisa mangkel, juga bukan anak Firaun yang hartanya nggak habis-habis. Kalau sampean merasa antara gaya hidup dan cara keluarga si tetangga kos menyelesaikan persoalan finansial ora mashok, ya sudah, biarkan itu menjadi problem mereka sendiri. Nggak usah sok-sok pahlawan.
Sebab, saya nggak mau Mbak nanti malah nggak tahan dan muak, kemudian memaksa keluarga tersebut untuk melunasi utang yang menumpuk. Yang saya takutkan, nanti malah muncul konflik. Dan lebih mengerikan lagi jika Mbak sampai sewa debt collector yang tidak segan-segan melakukan kekerasan saking mangkelnya sampean.
Biasanya, Mbak, niat baik yang berujung kekecewaan akan menghasilkan kekejaman tak terbayangkan. Demi menghindari kekerasan yang tidak diinginkan, lebih baik sampean melakukan kekejaman yang diinginkan saja. Yaitu dengan berani mengatakan tidak pada utang.
Mbak nggak perlu bohong lho kalau bilang “tidak”. Tidak ya tidak, nggak usah ngeles receh kayak “gaji saya belum turun”. Kalau memang mau ngeles, ngeles yang kejam sekalian seperti, “Wah, uang saya sudah dianggarkan buat masak udang goreng tepung sebulan penuh”.
Wajar saja Mbak mangkel, masalah uang itu memang ruwet. Ada keringat dan darah kita di sana.
Jangankan sama tetangga, Mbak, kalau perkaranya sudah bab uang, keluarga pun bisa pecah.
Sering terjadi, perselisihan keluarga dimulai ketika ada saudara yang merasa miskin dan meminjam kepada saudara yang dirasa kaya. Tapi kemudian, saudara yang meminjam ini jadi tidak tahu diri. Tidak melunasi utang karena menganggap “itu kan saudara” dan “saudaraku kan kaya”.
Ini hitung-hitungannya sudah bukan soal membantu supaya kelak dibantu. Wong dia sendiri dibantu sudah jelas nggak tahu diri, Mbak kok mengharap kelak dibantu dia. Kalau semua orang yang ditolong akan balas menolong, nggak akan ada peribahasa air susu dibalas air tuba.
Jadi gitu saja, Mbak, jawaban saya jelas ya, itu tetangga mbok nggak usah diutangi lagi. Kalau Mbak masih ngeyel karena sungkan, ya sudah, sampean memang orang goblok berhati sangat mulia.
Demikianlah jawaban dari saya. Mohon dimaklumi jika tidak mencerahkan sama sekali, sebab jiwa saya memang bukan jiwa konselor, melainkan jiwa tubir yang kelam nan suka menggunjing. Jiwa konselornya yang sebenarnya sedang sibuk ngurusi laporan keuangan akhir bulan.
Salam samyang,
~ Prima Sulistya yang nggak istimewa walau tinggal di Jogja