Tanya
Dear Gus Mul yang saya hormati ….
Perkenalkan, nama saya Anindya, saya mahasiswa semester akhir di salah satu universitas negeri di Yogya. Oh ya, sebelumnya saya mau menyampaikan titipan salam buat Gus Mul dari adik saya, namanya Ratna, dia dulu satu SMA sama Gus Mul. “Kalau jadi nulis curhat, sekalian nitip salam buat Mas Agus ya, Mbak. Dia dulu kakak kelas di SMA,” begitu katanya.
Oke, langsung saja ya, Gus.
Jadi begini, saya ini hobi banget nulis. Hobi yang sudah bertahan sekian lama sejak saya masih SMP. Dari zaman masih pake binder ala-ala diari sampai zaman kenal blog. Saya biasa menulis curhat, esai, cerpen, dan macam-macam rupa tulisan lain.
Saya begitu mencintai hobi ini, terlebih setelah saya bisa menghasilkan satu buah buku, yah, walaupun statusnya masih buku antologi alias keroyokan. Yang jelas, saya begitu bahagia karena sudah bisa menghasilkan karya cetak yang bisa dinikmati banyak orang.
Dari penjualan buku antologi ini, saya dan kawan-kawan penulis (total sepuluh orang) mendapatkan uang royalti sebanyak dua juta rupiah, itu artinya setiap penulis mendapat dua ratus ribu rupiah.
Sejak mendapatkan uang royalti tersebut, saya sadar, ternyata menulis bisa menghasilkan uang. Keyakinan saya akan hobi menulis saya ini semakin tebal dan membuat saya semakin mantap untuk fokus menulis agar bisa menghasilkan pundi-pundi uang. Terlebih setelah tahu ada banyak penulis yang sukses dan mapan secara finansial berkat hobi menulisnya.
Nah, yang ingin saya tanyakan, kira-kira langkah apa saja yang harus saya lakukan agar setidaknya saya bisa mengikuti kesuksesan mereka sebagai penulis yang mantap ekonominya.
Itu saja, Gus. Semoga berkenan untuk dijawab.
Anindya
Jawab
Halo, Anindya.
Salam balik buat adiknya ya. Semoga dia tidak minder punya kakak kelas multitalenta seperti saya.
Anindya, jujur, sebenarnya curhatan sampean agak salah sasaran, sebab saya bukanlah pribadi yang mapan finansial karena menulis. Apalah saya ini, cuma sedotan Ale-Ale yang disedot melulu dan dibuang ketika sudah tidak ada lagi yang tersisa buat disedot.
Saya tidak ingin menjawab pertanyaan sampean, tapi justru ingin meluruskan pemikiran sampean. Pemikiran soal menulis dan kesuksesan finansial.
Perlu sampean ketahui, menjadi penulis yang kaya itu tidak salah. Yang salah adalah fokus menulis agar bisa kaya.
Saya kasih ilustrasi ya. Seorang penulis itu rata-rata royaltinya 10% dari harga jual buku. Di beberapa penerbit jumlahnya bisa lebih kecil atau lebih besar, tapi rata-rata segitu. Jadi, jika harga sebuah buku adalah 50 ribu, setiap kali buku itu laku satu eksemplar, si penulis akan mendapatkan jatah royalti 5 ribu rupiah.
Nah, jika jatah penulis hanya 10%, yang 90% ke mana?
Yang 90% nyebar ke penerbit, distributor, sampai toko buku. Produksi buku biasanya 20%, biaya edit, proof, ilustrasi, dsb. biasanya 5—10%, buat penerbit biasanya hanya 10—15%, distributor 20%, biaya promosi dan operasional anggap saja 10%, dan sisanya yang sekitar 30% itu buat toko buku. Jadi sebenarnya, kalau pengin kaya itu jangan jadi penulis, tapi buka toko buku. Atau jadi buzzer politik seperti Iqbal Aji Daryono sekalian.
Intinya begini, jangan pernah berharap kaya dari menulis. Sungguh itu pengharapan yang menurut saya salah besar. Mulailah mengubah mindset sampean.
Saya sudah menulis tiga buku, dan dari tiga buku itu, saya mendapat royalti lumayan. Kendati begitu, saya tak pernah merasa kaya dari royalti buku saya, sebab pada kenyataannya, saya mendapatkan uang lebih banyak justru bukan lewat royalti buku.
Bagi saya, mengharapkan uang royalti sebagai sumber penghasilan adalah hal yang punya potensi menyakitkan hati. Bisa saja royaltimu besar melebih gaji kerja PNS selama setahun, tapi jauh lebih bisa royaltimu hanya setara gaji buruh bangunan selama seminggu. Royalti buku adalah sebuah ketidakpastian.
Memang, ada banyak penulis yang terbukti sukses secara finansial karena menulis, misalnya Raditya Dika, Tere Liye, atau Andrea Hirata. Mereka sukses dan mendapat banyak materi dari royalti buku yang mereka tulis. Tapi, tentu saja harus dipahami, di balik tawa bahagia Andrea Hirata, Tere Liye, atau Raditya Dika karena kesuksesan mereka mendapatkan uang yang tak sedikit dari royalti buku, ada duka ribuan penulis lain yang meringis karena royalti buku mereka hanya senilai puluhan atau ratusan ribu rupiah saja (itu pun sering telat pembayarannya). Kenapa? Ya karena buku-buku mereka kalah laris dibanding buku-bukunya Raditya Dika.
Saran saya, jadikanlah menulis sebagai hobi dan pembahagia diri, jangan sebagai jalan utama untuk mencari uang. Kalau memang ndilalah sampean nanti bisa kaya dari menulis, ya itu bonus. Yang penting, jangan berharap kaya dari menulis.
Ingat hal penting berikut. Hanya ada satu cara agar bisa menulis dan kaya: kerja.
Salam sayang,
Gus Mul