Curhat
Dear, Gus Mul.
Perkenalkan, nama saya Nisa.
Langsung saja ya, Gus. Jadi begini, Gus. Di dalam keluarga besar saya ada satu kebiasaan yang cukup unik, yakni arisan antara keluarga. Arisan ini diadakan sebulan dua kali. Pesertanya ya perwakilan masing-masing keluarga. Jumlah keluarga dalam keluarga besar saya cukup banyak. Dari pihak turunan kakek ada tujuh, sedangkan dari turunan nenek ada sepuluh. Ditambah dari keluarga dekat ada tiga. Jadi total ada sekitar dua puluh peserta lah.
Nah, di keluarga saya, yang biasanya jadi perwakilan adalah ibu saya. Maklum, namanya juga arisan, pasti yang lebih antusias adalah ibu-ibu. Di keluarga yang lain pun agaknya juga begitu.
Masalah bermula saat bapak saya mendapat panggilan tugas proyek dari kantornya selama dua bulan ke Jogja. Bapak saya ini kerjanya sebagai sound visualiser, emh, atau apalah saya kurang paham, pokoknya kerjaannya ngedit-ngedit suara di film-film gitu. Nah, kebetulan kantor tempatnya bekerja dapat semacam kerjaan proyek dari pemerintah daerah yang mengharusnya bapak untuk ikut ke Jogja.
Ternyata, Ibu ngebet memaksa untuk ikut ke Jogja. Katanya pengin menemani bapak. Dan bapak tak keberatan, malah senang, sebab bakal ada yang mengurus dirinya selama dua bulan saat di Jogja.
Nah, karena Ibu ikut Bapak ke Jogja, sebelum berangkat, ia menyuruh saya untuk menggantikan dia sebagai perwakilan arisan selama dua bulan.
Jujur, saya sangat malas dengan arisan ini. Bukan apa-apa, tapi saya muak karena saya pasti bakal ditanya sama budhe dan bulik-bulik saya soal kapan saya mau menikah.
Maklum sih, saya sudah 29 tahun, dan belum juga menikah. Boleh dibilang, saya adalah salah satu gadis tertua di keluarga besar saya yang belum juga menikah. Tentu bukan karena saya tak laku, saya hanya memang belum siap saja untuk menikah.
Saya sudah hafal akan hal ini, sebab setiap ada acara kumpul keluarga, pertanyaan yang hampir selalu mampir kepada saya adalah memang pertanyaan tersebut.
Lebaran kemarin, misalnya, entah berapa kali saya ditanya “Kapan nikah?” sama bulik-bulik dan budhe-budhe saya. Hih, rasanya emosi betul. Apa mereka nggak sadar kalau pertanyaan mereka cukup membuat saya sensi. Lagian, kalau saya nikah, yang nikah kan ya saya sendiri, bukan mereka. Ngapain mereka sibuk ngurusin urusan kapan saya nikah?
Nah, menurut Gus Mul, apa yang harus saya lakukan. Apakah saya harus tetap mewakili arisan, atau menolak mentah-mentah permintaan ibu saya?
~Nisa
Jawab
Dear Nisa
Maaf jika curhatanmu baru bisa saja jawab tiga minggu setelah kamu mengirimkannya. Mungkin jawaban ini telat, sebab saya yakin, ibumu sekarang mungkin sudah di Jogja.
Namun begitu, walau telat, semoga jawaban ini masih cukup berguna.
Beberapa waktu yang lalu, adik saya menikah. Ia mendahului saya. Dan dalam acara resepsi kemarin, bukan hanya keluarga besar saya yang memberondong bertanya kapan saya akan menikah, namun juga banyak orang di luar keluarga saya.
Dalam hal ini, saya merasa punya beban yang jauh lebih besar ketimbang beban yang kamu tanggung.
Namun begini, Nisa.
Dalam keluarga, pertanyaan soal nikah adalah pertanyan yang sebenarnya lumrah. Sayang, beberapa orang mungkin memang tidak terlalu terbiasa dengan hal tersebut. Biasanya ditanyakan oleh bulik atau budhe kepada keponakan-keponakan mereka.
Pertanyaan itu, di luar bahan basa-basi, bisa juga merupakan salah satu bentuk verbal kepedulian mereka pada keponakan-keponakannya.
Dengan bertanya kapan nikah, itu sudah menjadi bukti bahwa mereka ikut bersuka-cita kalau kita menikah.
Dalam keluarga, nikah adalah perkara komunal. Urusan nikah bukan urusanmu sendiri. Tantemu, bulikmu, paklikmu, budemu, embahmu, kerabat dekatmu, semua berhak punya urusan pada pernikahanmu. Mereka orang pertama yang bakal sambatan, yang bakal cawe-cawe, yang bakal menyumbang tenaga dan (mungkin) harta paling besar demi lancarnya acara resepsimu.
Orang-orang terdekatmu, keluargamu, kerabatmu, selalu punya andil yang besar pada hidupmu.
Beda soal kalau yang tanya itu bukan keluargamu. Kalau yg ini, kamu jawab dengan judes pun silakan. Bahkan kalau perlu, pas ditanya “Kapan nikah?” jawab sekalian, “Entar ah, masih pengin freesex!”
Dulu saya punya bulik yang sering sekali bertanya soal sekolah saya. Nilai saya bagus apa tidak, di sekolah dapat ranking berapa? Dsb dsb.
Pada titik tertentu, pertanyaan tersebut mungkin terlihat sangat mengganggu, utamanya jika saya ternyata murid yang goblok dengan banyak nilai di raport yang berwarna merah ketimbang biru.
Namun belakangan baru saya ketahui, bulik saya itulah yang, dulu saat orangtua saya kesulitan membayar uang sekolah, ikut membantu membayarkan uang sekolah saya. Dia bahkan pernah menjual ali-ali emas miliknya demi meminjami orangtua saya uang untuk saya masuk ke SMA.
Dengan fakta tersebut, kalau kemudian saya menganggap pertanyaan-pertanyaan bulik saya adalah pertanyaan yang tidak sepantasnya, maka betapa kurangajarnya saya.
Nah, Nisa. Saya tak tahu kamu sudah menentukan ikut arisan atau tidak. Tapi saran saya, ikutlah. Tak perlu anti dengan pertanyaan “Kapan nikah?” Percayalah, bulik-bulik dan budhe-budhemu bukan sekadar bertanya kapan nikah, lebih dari itu, mereka juga berharap dan bahkan ikut mendoakanmu.