MOJOK.CO – Perjalanan pernikahan Milly dan Mamet membuat kita belajar satu hal penting: memilih mertua harus ekstra hati-hati.
Buat yang belum tetapi hendak menonton film Milly & Mamet, tulisan ini bersifat spoiler. Jadi, kalau memang kamu anti banget sama spoiler, mending nonton dulu baru baca ini!
Milly & Mamet adalah salah satu film spin off yang paling ditunggu-tunggu. Ya, setelah AADC 2 yang cukup mengecewakan, saya termasuk orang yang berharap ada sisi lain dari drama Rangga dan Cinta yang bisa ditampilkan.
Ernest Prakasa dan Meira Anastasia menjawab keinginan tersebut. Kalau soal lucunya, sih, lucu banget. Berkali-kali saya tertawa menemukan jokes yang beneran lucu dan petjah sampai yang garing. Tuh, yang garing aja lucu! Eh, atau jangan-jangan selera humor saya yang terlalu receh? Anyway, film yang saya kira tadinya hanya berisi adegan lucu dan manis seputar kisah cinta Milly (Sissy Priscillia) dan Mamet alias Slamet (Dennis Adhiswara), justru menceritakan banyak hal yang lebih rumit.
Malah, kisah cinta Milly dan Mamet sebelum menikah sama sekali nggak dijelaskan. Lebih jauh lagi, film ini bercerita tentang passion dan masalah-masalah yang terjadi setelah seseorang/sepasang kekasih menikah. Singkatnya, kisah Milly dan Mamet ini adalah kehidupan mereka setelah menikah. Anti-mainstream, kan? Kalau di film-film Disney, sinetron, hingga FTV umumnya kisah romansa berakhir di ‘they married and lived happily ever after’, Milly & Mamet justru mengambil latar waktu setelah janji suci terucap dan mencoba mengajak penonton realistis dalam melihat pernikahan.
Bahkan ketika kamu menikah dengan kekasih yang kamu sayang dan menyayangimu, yang bikin kamu bangga tanpa melakukan apapun, yang sama-sama mau kompromi, dan lain-lain sebagainya, masih ada satu yang harus dihadapi ketika menikah, yakni: mertua.
Dalam film itu, Mametlah pihak yang bermasalah dengan sang mertua, yaitu ayah Milly yang diperankan oleh Roy Marten. Mamet yang punya passion di dunia kuliner harus mengalah dan mengurus pabrik konveksi milik mertua karena sang mertua sudah sepuh dan kurang sehat. Masalah muncul ketika Mamet dianggap melangkahi Roy Marten (saya lupa nama tokohnya siapa) dengan memutuskan mengambil kain dari vendor yang bukan langganannya.
Intinya, Mamet dianggap nggak becus. Padahal dari sisi Mamet, ia hanya berusaha tegas dan belajar mengambil keputusan. Baik Milly, Mamet, maupun Marten merasa bahwa yang dilakukan masing-masing sudah benar dan selfless. Milly mengurus anaknya, Sakti, di rumah, nggak nyambi apa-apa, meski bosan setengah mati. Ia tentu ingin bekerja, tapi pemikiran semacam ‘Nanti kalau aku kerja, Sakti gimana? Ini, kan, demi Sakti dan demi Mamet biar dia nggak khawatir!’ selalu muncul. Mamet yang ingin punya restoran sejak zaman kuliah akhirnya menuruti kemauan mertuanya demi melihat istri tercinta lebih ayem dengan kondisi kesehatan bapaknya. Sementara itu, Marten menyerahkan konveksinya ke tangan Mamet dengan alasan ‘buat Milly dan Sakti juga’.
Nah, semua kelihatannya benar, kan? Tapi, kok, semuanya menderita—terutama Mamet yang cita-citanya tak tergapai dan selalu bilang ‘Nggak apa-apa, aku nggak usah dipikirin. Ini kan juga buat kamu sama Sakti’??? Hiks, sedih aku tuh!
Saya lalu ingat dengan salah satu tulisan Puthut EA di bukunya yang berjudul Enaknya Berdebat dengan Orang Goblok. Buku ini saya dapat melalui giveaway dan menjadi teman commuting Jogja-Solo-Jogja minimal tiap dua minggu sekali atau pas antre tiket. Isinya esai-esai singkat—rasanya seperti membaca esai di Mojok, tapi yang nulis Kepala Suku semua.
Tulisan yang saya maksud berjudul Nasihat Pernikahan yang Tidak Banyak Diketahui Orang, halaman 98-102. Dalam tulisan ini, Puthut EA berangkat dari nasihat para penceramah pernikahan, bahwa: menikah bukan hanya tentang dua orang yang menjalin ikatan resmi dan sah, melainkan mempertemukan dua keluarga yang bisa saja berbeda kultur dan beda lain-lainnya.
Puthut menyayangkan mengapa nasihat pernikahan hanya berhenti di situ. Padahal, sebenarnya yang lebih penting adalah pokok bahasan setelahnya, yakni: memilih mertua. Iya, menikah itu ternyata bukan hanya soal memilih pasangan hidup, tapi juga memilih calon mertua, yang kata Puthut: harus dilakukan ekstra hati-hati.
Katanya lagi, ada banyak pernikahan kandas karena mertua. Banyak pula pernikahan langgeng karena sikap mertua yang enak diajak bekerja sama ternak lele. Bahkan, dalam sidang perceraian pun banyak dijumpai masalah yang sesungguhnya bukan terjadi antara pasangan menikah, melainkan antara menantu dan mertua.
Hmm, saya belum pernah menikah dan nggak pernah datang menyaksikan sidang cerai di pengadilan agama, jadi nggak tahu apakah hal itu benar atau nggak. Tapi, saya nggak jarang menjumpai keluhan beberapa orang di sekitar saya yang sudah menikah, soal mertua. Yang tinggalnya nggak serumah aja bisa kena dampak, apalagi yang serumah. Heu, mamam tuh drama FTV versi real life!!!
Kembali lagi ke nasihat pernikahan yang tidak banyak diketahui orang, Puthut memberikan panduan memilih mertua buat kamu-kamu yang ingin menikah.
Ia membagi mertua ke dalam empat tipe: mertua kaya, mertua mantan pejabat, mertua sederhana, dan mertua lugu. Dari gambaran di atas, maka Roy Marten masuk ke jenis pertama: mertua kaya. Katanya, mertua jenis ini sering dijadikan guyonan: enaknya punya mertua kaya, apalagi kalau sudah sangat tua. Maksudnya, tinggal menunggu kematiannya saja. Waduh, Mamet nggak sampai segininya, sih!
Meski kekayaan bisa bikin hidup seseorang relatif lebih enak, nyatanya punya mertua kaya bisa jadi bumerang. Mungkin apa-apa dijamin. Enak. Tapi, menurut Puthut, ada perasaan superior dari mertua: apa-apa bisa dibeli, anaknya tidak boleh terlihat susah, dan perhatian berlebihan kepada cucu.
Nah, cocok banget ini dengan karakter yang diperankan Roy Marten: nggak percaya dengan passion menantunya sendiri karena sudah kadung mapan dengan konveksi. “Kalau ada yang sudah pasti, kenapa harus mengejar mimpi?” kira-kira begitulah yang saya tangkap dari karakter Roy Marten ketika Mamet undur diri dari konveksi dan hendak membuka restoran, memulai usaha dari nol. Sedih, kan? Tapi ya itu tadi, karakter yang diperankan Roy Marten nggak mau melihat anak cucunya hidup susah.
Kalian boleh bilang, “Lah itu kan cuma film.” Namun, jangan lupa bahwa fiksi dalam bentuk apapun itu, termasuk film, seringkali berangkat dan merupakan refleksi dari kehidupan nyata. Dalam hal ini, Ernest Prakasa dan Meira Anastasia, sekali lagi, berhasil menampilkan sisi kehidupan paling realistis dari kehidupan berkeluarga, seperti juga yang ia tampilkan dalam film Cek Toko Sebelah.
Saya jadi ingat, dan kamu mungkin juga masih ingat beberapa bulan lalu ketika ‘ajakan’ nikah makin sering digembar-gemborkan. Bahkan, menikah dianggap sebagai solusi untuk berbagai permasalahan. “Males kerja? Nikah aja!” Seolah-olah, setelah menikah, kita sudah nggak butuh uang, nggak butuh pekerjaan. “Males kuliah? Nikah aja!” Seolah-olah kalau menikah kita otomatis langsung pintar dan dapat ijazah. Dih!
Barangkali orang-orang itu berpikir bahwa menikah hanya sebatas lari dari tanggung jawab sementara (padahal habis itu tanggung jawab selamanya), dibuatin sarapan sama istri (ew!), menghalalkan seks, dan menjalin ikatan resmi dan sah dengan pasangan. Dikiranya, kalau menikah, semua masalah lalu hilang atau berkurang signifikan. Pasti pada belum mikir sampai bab mertua, ya kan???!!!
Kalau mikirnya sudah sampai mertua, pasti ya bakal mikir lagi: apa iya, ya, menikah bakal menyelesaikan masalah tanpa masalah? Duh, ya jelas nggaklah, memangnya Kantor Pegadaian???!!!