MOJOK.CO – Sekarang ini, kalau ngomongin Bantul, yang terbayang cuma sate klatan Pak Barry atau Mak Adi saja. Persiba Bantul udah nggak menarik lagi untuk jadi bahan obrolan.
Kira-kira tidak sampai sepuluh tahun yang lalu, obrolan mengenai sepak bola DIY lebih kompleks. Perbincangan soal sepak bola tidak melulu tentang PS Sleman atau PSIM Yogyakarta. Dulu, ada sebuah klub yang pernah menggemparkan persepakbolaan DIY. Namanya Persiba Bantul, yang kini nggak menarik sama sekali untuk jadi bahan obrolan.
Sik, sik. Saya ini warga mBantul, kok. Jadi jangan dihujat dulu. Saya memproklamirkan diri sebagai penggemar Persiba Bantul Garis Lembut. Jadi, ojo dibully, Lur.
Kalau dulu, sih, bangganya minta ampun mendaku diri sebagai fans Persiba Bantul. Kini, memproklamirkan diri sebagai penggemar Persiba Bantul tak ubahnya seperti sebuah lelucon.
Bagaimana tidak, jika berkaca pada Liga 3 Nasional musim lalu, Persiba Bantul bahkan bukan tim Kabupaten Bantul terbaik. Di klasemen akhir babak 32 besar Liga 3 Nasional, Persiba berada di posisi terbawah. Protaba Bantul, klub antah berantah yang selama ini hanya menjadi bayang-bayang Persiba bahkan berada satu tingkat di atas Persiba.
Biar kamu tahu, Protaba bisa dibilang tim satelitnya dari Persiba Bantul. Konon, para pemain Protaba berlomba-lomba menjadi yang terbaik supaya dilirik Persiba. Lha kok bisa-bisanya Persiba kalah peringkat dengan tim satelitnya sendiri. Jangan-jangan di masa depan malah pemain Persiba yang berlomba-lomba menjadi yang terbaik supaya dilirik Protaba.
Wajar saja jika Persiba Bantul tidak lagi mempunyai nilai jual untuk diperbincangkan di burjonan. Protaba malah lebih pantas untuk diperbincangkan, lebih ada gregetnya.
Prestasi Persiba belakangan ini sangat jomplang dengan satu dekade lalu. Dulu, Persiba pernah menjadi juara Divisi Utama Liga Indonesia pada musim 2010/2011.
Kala itu, puluhan ribu pendukung Persiba berbondong-bondong datang ke Solo untuk menyaksikan pertandingan semifinal dan final yang diadakan di Stadion Manahan. Tim asuhan Sajuri Syahid tersebut membantai Persidafon Dafonsoro dengan skor 5-2 di semifinal, serta mengalahkan Persiraja Banda Aceh dengan skor 1-0 ketika babak final.
Petualangan Persiba di kompetisi musim tersebut diakhiri dengan momen sang kapten, Wahyu Wijiastanto, mengangkat piala Divisi Utama tinggi-tinggi. Momen ikonik yang membuat pendukung Persiba mbrebes mili bahagia. Persiba pun menjadi satu-satunya wakil DIY yang berlaga di kompetisi teratas Liga Indonesia musim berikutnya.
Skuat yang dimiliki Persiba bukan sembarangan. Pemain lokal maupun asing, semua memiliki andil. Deretan pemain lokal; Wahyu Wijiastanto, Wahyu Tri Nugroho, Slamet Nurcahyo, Nopendi, merupakan nama-nama hebat yang menjadi idola publik Bantul. Duet penyerang asing, Ezequiel Gonzalez dan Fortune Udo menjadi bumbu penyedap tim sekaligus momok menakutkan bagi pertahanan lawan.
Dengan komposisi pemain itu, tidak jarang Persiba Bantul membantai lawan dengan skor besar. Meskipun saat itu saya masih anak ingusan, saya masih bisa mengingat dengan jelas perasaan bahagia ketika Persiba dengan mudah menjungkalkan lawan dengan skor besar. Kenangan indah itu bahkan lebih membekas daripada kenangan cinta pertama saya.
Salah satu pertandingan yang paling membekas dalam ingatan adalah ketika Persiba Bantul membantai klub mainstream PS Sleman dengan skor 5-0 pada tahun 2011. Fortune Udo mencetak quattrick pada laga itu. Pertandingan lain yang juga tidak kalah memorable adalah saat Persiba menumbangkan klub Malaysia, PKNS FC dengan skor 4-2 pada laga uji tanding tahun 2012.
Pada masa-masa indah itu, Stadion Sultan Agung (SSA) selalu dipenuhi penonton ketika Persiba berlaga. Area sekitar SSA pun masih kental dengan nuansa merah, bukan dominan biru lor ndeso seperti sekarang ini.
Sayangnya, masa-masa indah menjadi pendukung Persiba Bantul tidak bertahan lama. Bisa dibilang, tim ini mulai terpuruk saat terjadi dualisme di PSSI. Huft, kapan PSSI waras…ckckck….
Saat itu, liga terbelah menjadi dua. Indonesia Super League (ISL) yang sebelumnya merupakan kompetisi resmi tertinggi menjadi ilegal dan diganti Indonesian Premier League (IPL). Persiba, yang saat itu berhak promosi ke kasta tertinggi memilih jalan aman dengan mengikuti IPL yang merupakan kompetisi resmi. Namun, pamor IPL saat itu justru kalah dengan ISL yang merupakan kompetisi ilegal. Pemain bintang pun banyak yang lebih memilih bergabung dengan klub ISL pada saat itu.
Sejak saat itu, tim ini mulai berubah. Persiba bukan lagi sebuah tim tangguh yang bisa dengan mudah melibas lawannya. Sebaliknya, Persiba menjadi tim yang dengan mudah dilibas lawan. Perlahan tapi pasti, Persiba bertransformasi menjadi selevel Protaba, hingga akhirnya di bawah Protaba. Ya maaf saja, kata “medioker” itu kayaknya memang diciptakan buat Persiba Bantul.
Saking mediokernya, kalau ngomongin “Bantul” yang kebayang bukan sepak bola, tapi sate klatak Pak Barry, Mak Adi, atau Mbak Bella. Ngomongin kabupaten ini malah kebayang KKN. Maklum, Bantul sering menjadi jujugan KKN kampus-kampus di DIY. Sepak bola blas nggak jadi top of mind. Persiba pancen ra mbois tenan.
Walaupun begitu, sebagai pendukung Persiba Garis Lembut, saya masih menaruh harapan. Saya pengin melihat Laskar Sultan Agung ini kembali menjadi topik yang menarik untuk diperbincangkan di burjonan. Nggak cuma burjoan di Bantul, tapi di DIY, seperti dulu lagi.
Bantul is red!
BACA JUGA Chelsea Spesialis Degradasi Ketimbang Juara, Liverpool Itu Kakek Penderita Osteoporosis atau tulisan “sepak bola keras” lainnya di rubrik TEKEL.