MOJOK.CO – Jika long march Sultan Agung menghasilkan ladang pertanian, lantas apakah long march Persija akan menghasilkan SSB dan lapangan sepak bola baru?
Sudah empat kali Persija 1928 tampil di Stadion Sultan Agung Bantul di pergelaran Liga 1 musim ini. Kali pertama tampil melawan PSIS Semarang yang bertindak sebagai tuan rumah dan menang besar. Penampilan kedua melawan Persebaya Surabaya dan dinyatakan batal karena seantero luar stadion menjadi gelanggang atletik lempar cakram batu. Penampilan ketiga menjamu PSM Makassar yang berakhir imbang 2-2. Sementara di penampilan keempat saat melawan Bali United, berakhir dengan kekalahan 0-2. Di tiga penampilan terakhir itu, Persija 1928 berstatus sebagai tuan rumah.
Mengapa Bantul dipilih Persija 1928 sebagai stadion alternatif kandang mereka saat tak ada satu pun stadion ibu kota yang menerima mereka? Pertama-tama, ini semua demi Asian Games. Persija 1928 rela pergi demi olahraga antarnegara Asia itu. Tapi, memilih Bantul?
Di situlah tugas saya bekerja dan tulisan ini harus ada. Pertama-tama, Stadion Sultan Agung memang menjadi salah satu stadion lolos verifikasi untuk menggelar kompetisi kasta tertinggi. Lho, Stadion PTIK di Bogor yang lahan parkirnya saja nauzubillah luasnya itu dan bagusan Stadion UNY, kok, boleh menyelenggarakan kompetisi kasta tertinggi? Bahkan, PTIK kini menjadi kandang Bhayangkara FC. Semuanya kembali kepada panpel di Liga Indonesia Baru dan ketua PSSI yang nasionalistis itu.
Saya kira, bukan soal lolos saja sehingga Persija 1928 memilih Bantul sebagai kandang hingga Jakarta kembali “kondusif” dari olimpiade olahraga Asia itu. Lebih dari itu, Sultan Agung dianggap sebagai stadion “incognito” alias “sedang tak bertuan”. Sebab, tuannya yang selama ini menjadi musabab mengapa stadion ini dibangun Pemerintah Kabupaten Bantul di era Idham Samawi pada 2007 sedang turun dalam galian tambang bawah tanah memburu remah-remah batu mulia di Liga 3.
Alasan yang lain, tentu saja soal kecocokan kantong dengan harga sewa Sultan Agung yang mirip dengan harga angkringan. Saya tak tahu pasti berapa harga sewa stadion ini. Namun, menurut salah satu jurnalis yang lokal banget—sebut saja Cahyo, nama sebenarnya—harga Sultan Agung separuh harga dari stadion berstatus internasional di kabupaten bagian utara Yogyakarta sana. Mengejar harga angkringan itu, PSIS Semarang lebih memilih Bantul ketimbang Sleman saat menjamu tamu-tamu mereka yang memiliki basis suporter besar saat tandang. PSIS ini ibarat mahasiswa UNY, selisih harga 500 rupiah dan parkiran gratis, itu yang dikejar habis-habisan.
Iya sih, apa-apa di Bantul itu masih murah. Biaya kuliah di ISI yang legendaris itu juga murah. Masuklah ke warung yang lagi hit di Bantul, tepatnya di Kampung Mataraman, harga-harga masih jauh di bawah Sleman.
Siapa yang enggak mau dengan yang murah dengan kualitas masih direstui pengelola liga. Nah, menurunkan harga sewa bisa berarti pula Bantul sedang mempromosikan salah satu wisata venue olahraganya. Pemda sadar betul, beberapa big match yang berlangsung di Stadion Sultan Agung disiarkan secara langsung oleh televisi Jakarta. Sebut saja pertandingan pada Selasa, 17 Juli, antara Persija 1928 vs Bali United.
Tapi, saya yakin, Persija 1928 enggaklah hanya gara-gara selisih harga memilih Sultan Agung sebagai alternatif pertama saat ibu kota sedang tak kondusif. Ramasyook. Ini klub ibu kota, lho, di mana 60 persen perputaran uang di seantero Republik ada di sana. Pemakaian BBM dan listrik juga paling royal dibandingkan ratusan kota lain di seluruh Indonesia. Jakarta kaya, insya Allah.
Persija 1928, tak hanya kaya secara finansial, tapi juga hatinya mau berbagi dengan kepentingan yang lebih besar: Timnas NKRI. Kandang mereka saja Gelora Bung Karno, stadion besar pertama dibangun di Republik dan termegah se-Asia Tenggara.
Persija 1928 memilih Bantul karena nama stadion ini mengingatkan mereka pada sejarah mereka sendiri. Mengingatkan mereka kepada kota yang melekat pada nama mereka, yakni Jakarta. Ada nama besar Fatahillah di abad 16 memang yang terpacak di sana; yang mengubah Sunda Kelapa menjadi Jayakarta. Tapi, jangan lupa, ada nama Sultan Agung di tahun 1628 juga terpacak di Jakarta.
Dengan sangat heroik—ngapal jalan kaki Jogja-Jakarta —Sultan Agung Amien Rais membawa rombongan besar pasukan untuk long march di tahun 1628 untuk menyerang VOC di Batavia. Menurut perkiraan GoogleMaps, jarak 520 kilometer itu bisa ditempuh empat hari sebelas jam.
Tentu saja ini bukan piknik biasa. Ini bawa 10 ribu pasukan tempur ditambah ratusan ekor sapi, ribuan buah kelapa, serta ribuan karung beras. Kalau enggak cukup bagaimana? Dicuri Dicari di jalan dengan cara membuka lahan pertanian. Konon, Karawang menjadi lumbung padi untuk menghidupi pangan orang-orang ibu kota karena efek dari long march Sultan Agung ini.
Menang? Keok! Peristiwa ini sering dinyinyiri pujanggawan macam Pramoedya Ananta Toer sebagai kekalahan telak Jawa. Untuk menutupi rasa malu kalah perang di Jakarta itulah, lanjut Pram, generasi pertama penguasa Yogya ini merapat ke Ratu Kidul.
Tapi, bukan itu poin saya, melainkan ada hubungan yang emosional antara Persija 1928 dan Sultan Agung 1628 dari sisi historis. Selain bunyi “28-28” yang kriuk di ujung lidah itu, Persija 28 tampaknya ingin menapaktilasi jejak Sultan Agung 1628. Tentu saja tidak dengan jalan kaki, melainkan dengan transportasi darat dan udara.
Pasukan tempur utama yang berjumlah 22 orang dengan pelatih kepala Stefano Cugurra Teco lewat udara, sementara lima ribuan lainnya melewati darat dengan segala variannya; dari bus bersuspensi hingga kopaja legendaris oranye, dari mobil pribadi hingga vespa.
Dalam napak tilas ini, Persija 1928 dan The Jak sedapat mungkin memberi teladan; mereka datang bukan sebagai perusak, melainkan pembebas dan membikin semuanya gembira. Kalah enggak apa-apa, yang penting Bantul nyaman, tetap projo taman sari.
Demikianlah, inilah zaman yang tak ada dalam sejarah satu dekade lebih setahun Stadion Sultan Agung di mana pada akhirnya semuanya serba-Jakarta. Di lingkar luar stadion, tepatnya sepanjang utara dan timur, para penjual syal, kaus, dan topi semuanya serbaoranye, warna khas Persija 1928.
Masuk dan bacalah bentangan spanduk-spanduk raksasa di Tribun Utara dan Selatan yang dikuasai oleh tulisan-tulisan besar nama-nama kampung yang hanya bisa rakyat Bantul saksikan di televisi-televisi Jakarta, antara lain Utan Kayu, Tanjung Duren, Kebon Jeruk, Pondok Kelapa, Lebak Bulus, dan Pademangan.
Di pagar reklame pinggir lapangan pun demikian. Selain dikuasai spanduk sponsor-sponsor utama macam Gojek dan Buka Lapak, terdapat pula di sana “Bank DKI”. Satu-satunya ada unsur “Bantul”-nya hanyalah tulisan di papan skor elektrik di Tribun Utara.
Jika para tukang kronik sudah cermat menulis sejarah dengan detail, bisa jadi Sultan Agung 1628 juga melakukan hal yang sama. Bawa bendera-bendera keperwiraan dengan membawa spanduk dengan tulisan yang ada unsur-unsur nama kampung-kampung legenda ini: Langenarjan, Wirobrajan, Patangpuluhan, Ketanggungan, Suronggaman, Bugisan, Dhaengan, maupun Mantrijeron.
Tapi, tentu kita masih menunggu, apa jejak Persija 1928 sepanjang melakoni long march Jakarta-Bantul ini. Jika Sultan Agung 1628, walaupun kalah, tetap dikenang melahirkan lahan pertanian di Karawang dan Cirebon, bisa jadi bakal ada Sekolah Sepak Bola (SSB) dan lapangan sepak bola baru yang megah di Purworejo, Kebumen, maupun Gombong.
Semoga saja. Sebab, naga-naganya, long march Persija 1928 ini bukan hanya tiga pertandingan, melainkan longgggg benaran. Sebab, setelah Asian Games, ibu kota menyambut tahun politik yang rawan dan tentu saja susah mengantongi izin untuk kegiatan-kegiatan yang melibatkan massa bejibun.