MOJOK.CO – Jadi, mau menyambut tantangan baru seperti apa Paul Pogba? Terasing bersama Juventus, atau patuh kepada kolektivitas bersama Real Madrid?
Genit. Pesepak bola juga bisa genit. Seperti ayam betina mau kawin saja. Ia memberi tanda-tanda, dari yang tersamar, sok bijak, hingga terang-terangan. Ya nggak ada salahnya. Pesepak bola juga manusia, toh. Ada yang cepat bosan, ada yang ingin gaji besar, ada yang ingin segera juara, ada pula yang ingin tantangan baru.
Bagi Paul Pogba, Manchester United kayaknya memang tidak menantang. Ketika berbicara di depan wartawan, pemain asal Prancis itu mengakui secara terbuka. Ia ingin hengkang, karena merasa sudah memberikan semua dan masih bisa berkembang. Sudahlah, Paul Pogba, kita semua tahu kok betapa memalukannya bermain untuk tim pemuja setan: Manchester United.
“Setelah musim ini dan semuanya yang sudah terjadi, di mana ini musim terbaik saya di Manchester United, saya rasa inilah saatnya saya mencari tantangan baru di tempat lain. saya memang sedang memikirkannya,” ungkap Paul Pogba, dikutip oleh Guardian.
Kalimat di atas tentu tak bisa lagi diartikan berbeda. Pemain asal Prancis itu sudah dengan gamblang ingin pergi dari United. Pembicaraan paling konkret ke depan adalah soal siapa yang sanggup memenuhi permintaan nilai transfer United, menuruti permintaan gaji, dan tunduk dengan permintaan sadis dari agen super: Mino Raiola. Mino, adalah kunci dari saga ini.
Pemain yang sudah ingin pergi memang sulit untuk ditahan, diubah ketetpan hatinya. Yang perlu dilakukan United adalah memikirkan baik-baik pemain mana yang cocok menggantikan Paul Pogba. Yang ingin bermain bola sepenuh hati sembari mengenakan seragam United. Karena perlu fans United tahu, Pogba adalah pemain terbaik mereka musim depan. Well, setidaknya jika kita melihat statistik (secara buta).
Musim lalu, Paul Pogba menjadi: pencetak gol terbanyak (13 gol), bikin asis paling banyak (9 asis), paling banyak nembak ke gawang (50 kali, nggak tau berapa yang keterima), paling sering menggiring bola melewati pemain lawan (60 giringan sukses), paling banyak dapetin pelanggaran (69 kali manja), paling banyak bikin peluang (55 kali, yang lain itu ngapain aja), paling banyak ngerebut bola (218, terbanyak kedua itu Lukaku, bek terbaik United), paling banyak bikin umpan ke daerah sepertiga akhir lapangan (321 kali rajin), dan paling banyak memenangi duel (234 kali).
So, mengganti Paul Pogba bisa jadi urusan pelik. Dan biarkan urusan pelik itu jadi masalah United. Saat ini, hanya ada dua klub yang calon destinasi Pogba. Kedua klub itu adalah Juventus dan Real Madrid. Mau pilih yang mana?
Paul Pogba terasing bersama Juventus
Minggu (15/6), saya menulis sebuah artikel dengan judul “AC Milan Adalah Puisi Paling Sedih di Sejarah Serie A”. Bukan, itu bukan tulisan yang menjelek-jelekkan Milan. Itu justru tulisan harapan dan doa. Milanisti yang langsung ngegas berarti nggak baca artikel sampai tuntas. Tipikal betul!
Membaca tulisan dengan panjang 900an kata itu, kamu akan menemukan satu bagian di mana saya menyebut “terasing seperti Juventus”. Ada yang bertanya, apa arti kata “terasing” itu? Mari, sini saya jelaskan.
Sudah berapa kali Juventus megang Scudetto? Betul, delapan kali. DELAPAN kali berturut-turut. Juara dua atau tiga atau empat kali berurutan itu masih penuh gairah untuk dirayakan. Delapan kali, saya yakin itu yang bikin confetti buat selebrasi udah bosen. Sejak awal musim, dia udah bikin confetti warna hitam dan putih.
Musim lalu saja, narasi soal Serie A adalah soal siapa yang bakal lolos ke Liga Champions. Untuk menemani Juventus. MENEMANI. Artinya, sejak awal musim, Serie A tak pernah seru untuk membahas siapa yang akan jadi juaranya.
Ketika Inter Milan, AC Milan, AS Roma, dan Atalanta masih seru saling sikut untuk mengamankan posisi tiga dan empat–posisi dua milik Napoli–media di Italia membahas Juventus dengan dua narasi besar saja. Pertama, ketika melawan siapa Juventus pasti juara. Kedua, kapan Allegri mundur?
Tidak ada yang betul-betul memikirkan secara serius siapa itu Juventus. Mereka terlalu dominan. Mereka seperti pertapa sakti yang bahkan tidak bisa ditandingi oleh jagoan paling mumpuni. Ketika Juventus sudah belajar berlari sebelum bisa berjalan, klub-klub lain masih sibuk ngompol dan ngempeng ibu jari.
Mereka terasing di tengah kesuksesan. Ini bukan bertendensi menghina. Ini adalah bentuk kesuksesan yang dibangun secara profesional. Apakah Paul Pogba, yang konon sedang mencari “tantangan baru”, puas dengan dominasi ini? Apakah ada tantangan dengan menjadi bagian dari raksasa yang begitu superior?
Apakah “tantangan baru” yang dimaksud Paul Pogba adalah balik kucing ke Juventus untuk mengejar piala Liga Champions? Juventus, ketika bermain di Liga Champions adalah pesakitan yang paripurna. Hmm…ini baru tantangan. Bisa saja, ia memutuskan kembali untuk memutus “kutukan” Si Nyonya Tua di panggung Eropa. Tapi kok…
Sekrup kecil dari mesin besar Galacticos Real Madrid
Ini baru tantangan. Menjadi pemain Real Madrid itu seperti memberi makan lubang hitam. Tidak ada kepuasan yang nyata dari perut manja raksasa La Liga itu. Tidak klub, tidak suporternya. Ketika presentasi Eden Hazard, fans Madrid malah bernyanyi. Bukan untuk menyanjung Hazard, tapi untuk bilang ke manajemen kalau mereka ingin Kylian Mbappe didatangkan. Bersyukur kenapa, sih.
Mungkin selamanya pula, pemain berkaliber besar yang datang ke Real Madrid akan disebut “Galacticos baru”. Meski menampik dan bilang dirinya belum pantas dipadang sebagai “Galacticos baru”, status itu tetap menempel di dada Eden Hazard. Toh ia menegaskan di masa depan, ia ingin bisa pantas menyandang status itu. Siapa sih yang enggan disebut sebagai “pemain terbaik” yang bermain di “klub terbesar” di dunia?
Jika resmi bergabung ke Real Madrid, Paul Pogba jelas akan menyandang status yang sama. Sebagai individu, ia dianggap sebagai salah satu gelandang sentral terbaik di dunia. Kalau kamu ngeyel dan nggak percaya, tonton performa Paul Pogba di Piala Dunia 2018.
Namun, bermain untuk Real Madrid, kamu tidak akan bisa sepenuhnya menonjol seorang diri. Tidak David Beckham, tidak Zinedine Zidane, tidak Ronaldo Nazario, tidak pula Paul Pogba. Kamu harus berkorban untuk sistem. Paul Pogba harus menjadi sekrup dari mesin besar. Satu sekrup mati bisa diganti oleh sekrup lain, tapi mesin besar akan tetap ada.
Paul Pogba dan Real Madrid seharusnya tahu sama tahu. Sebagai sebuah tim, mengumpulkan pemain-pemain terbaik cuma 40 persen kerja. Selebihnya adalah menyatukan mereka ke dalam satu sistem yang berjalan secara ideal. Kolektif. Si pemain pun harus sadar bahwa dirinya harus bisa terus berputar, bekerja untuk sistem itu.
Paul Pogba, yang menginginkan “tantangan baru” harus mau “menundukkan kepalanya”, mengilangkan ego untuk terlalu menonjol. Ingat, paku yang terlalu mencuat akan kena pukul duluan. Itu pun berlaku di sepak bola, di sebuah tim yang sesak pemain kelas elite, di sebuh sistem penuh ego besar.
Jadi, mau menyambut tantangan baru yang seperti apa Paul Pogba? Bisa leluasa gonta-ganti model rambut tanpa tekanan bersama Juventus, atau menjadi rendah hati dan patuh kepada kolektivitas bersama Real Madrid?