MOJOK.CO – Manajemen PS Sleman tengah “sakit”. Suporter mereka, BCS, menentukan sikap tegas untuk mengobatinya. Apakah manajemen punya perasaan sembada?
12 September 2018, saya menulis soal giant flag BCS yang mengiringi promosinya PS Sleman ke Liga 1. Saya mengakhiri tulisan dengan sebuah paragraf:
“PS Sleman, suka dan duka, kejayaan atau kesedihan, tidak akan berjalan sendirian. Melewati badai, jalan yang berliku bersama Brigata Curva Sud dan semua Sleman Fans bersama-sama.”
Namun, kini, per Jumat (17/1), PS Sleman terancam sendirian. BCS sudah mengeraskan hati, untuk menempuh jalan yang sebetulnya menyakiti hati mereka sendiri. Bagi suporter, tidak ada hal yang paling menyakitkan di sepak bola selain marah kepada klub sendiri. Marah kepada ia yang dicintai. Kepada ia, di mana suporter tidak berpikir dua kali untuk berkorban.
Saya dikirim press release resmi oleh Aand Andrean, media guide BCS. Judulnya sangat jelas dan menohoh: “Pilih, Mereka Atau Kami Yang Mundur?” Sebuah peringatan akan tanda bahaya untuk manajemen PS Sleman jika mereka tidak punya kemampuan untuk menjadi “sembada”.
Kata sembada di Bahasa Jawa bisa diartikan sebagai ‘pantas’ atau ‘patut’. Kata yang juga menjadi semboyan Kabupaten Sleman itu sebetulnya bermakna lebih dalam. Kata sembada adalah tentang perasaan yang dalam. Tentang ilmu merasa bahwa yang dilakukan harus sesuai dengan tanggung jawab, janji, kemudahan yang sudah diucapkan.
Tanpa memahami kata sembada, manajemen PS Sleman akan menuai badai menjelang gelaran Liga 1. Tanpa memahami perasaan BCS, manajemen PS Sleman akan ditinggal oleh mereka yang mendukung paling dekat, paling militan, paling royal membelanjakan semua yang dimiliki demi berdiri di tribun Maguwo International Stadium.
Meski terbaca sangat keras, sikap BCS ini juga harus diterjemahkan dengan cara berbeda. Suporter yang peduli dengan keadaan klub akan selalu gusar ketika “sesuatu yang salah” tengah terjadi. Suporter yang peduli tidak hanya akan memikirkan kemenangan atau nama besar semata. Suporter yang peduli akan menjadi “musuh” yang dibutuhkan manajemen.
BCS sudah mengingatkan manajemen sejak lama. Bahkan sejak sebelum Elang Jawa promosi ke Liga 1. Pada 10 September 2018, ketika meliput pertandingan PS Sleman vs PSBS Biak, saya berbincang dengan Aand Andrean. Sebagai media guide dan sudah lama aktif di BCS, Aand mengungkapkan keprihatinannya.
Sebuah keprihatinan yang sampai saat masih saya simpan di dalam hati. Belum pernah saya tuliskan. Aand bercerita kalau manajemen tidak bekerja dengan baik. Bahkan, perangkat pertandingan, yang harusnya menjadi tanggung jawab klub, dibantu oleh suporter.
Mengingat kembali kerja panjang BCS untuk membangun basis suporter modern, bantuan untuk perangkat pertandingan ini saja sudah terlalu jauh. Suporter terbaik se-Asia pada 2017 versi Copa90 itu sudah berkorban banyak. Bukankah sifat antara suporter dan klub adalah timbal balik? Tidak mungkin hanya satu arah saja.
“Apa ya pantas promosi kalau manajemen nggak bagus seperti ini?” Sebuah pertanyaan yang saya tidak sanggup menjawab. Promosi adalah impian semua klub di divisi bawah. Yang luar biasa adalah, dengan kondisi yang tidak baik, PS Sleman tampil sangat baik di Liga 1. Mereka menyelesaikan musim dengan duduk di posisi delapan. PS Sleman menjadi tim promosi terbaik.
Menjelang musim baru, eskalasi masalah sudah sampai titik didih. BCS menentukan sikap. Apakah manajemen mau mendengar dan memperbaiki diri? Apakah mereka berpikir dalam kerangka jangka panjang dan dalam konteks profesionalitas?
Saya juga perlu menegaskan kalau langkah BCS ini bukan sikap pribadi mereka. Saya yakin, sikap ini juga mewakili semua Sleman Fans yang peduli dengan kondisi manajemen klub. PS Sleman harus sadar kalau keberadaan BCS memang sangat besar. Sikap mereka akan menular dan menjadi gerakan besar yang tidak bisa dibendung tanpa kemampuan menjadi sembada.
Apakah sikap BCS ini bisa diartikan sebagai ancaman? Saya sarankan manajemen PS Sleman untuk merasa terancam. Baca kembali paragraf sebelumnya. Tanpa suporter, klub bisa apa? Tanpa mereka yang mau berkorban, stadion tak ubahnya tanah lapang semata. Tidak ada gairah, tidak kehidupan di sana.
BCS menahan sakit di dalam hati ketika “menyerang” klub mereka sendiri. Sebuah langkah yang justru baik untuk iklim sepak bola Indonesia. Sikap kritis dan tegas kepada klub yang tidak sehat harus menjadi budaya. Kematian sebuah klub juga berarti kematian suporter. Demikian juga sebaliknya. Timbal balik. Saling menghidupi.
Pada akhirnya, PS Sleman harus sadar kalau klub bukan sebuah semata perusahaan. Suporter bukan semata customer. Ada sesuatu yang luhur dari hubungan dua entitas ini. Apakah manajemen punya sifat sembada di dalam dirinya? Waktu yang akan menjawab.
Berikut press release dari BCS untuk PS Sleman:
Rabu, 15 Januari 2020 menjadi hari paling berat dan memuakkan sepanjang menjadi pendukung PSS. Tentu ketika anda membaca tulisan ini haruslah membaca literasi lain mengenai banyak hal mengenai PSS dan delapan tuntutan yang kami utarakan musim lalu.
Benar saja, kemarin adalah puncak. BCS dibuat terdiam oleh cara dan keputusan sepihak ini. Namun, kami tentu telah mempelajari dari berbagai masalah sebelumnya.
Pertama, pada awal musim 2019. BCS sangat prihatin PT. PSS mengelola klub dengan ala kadarnya. Padahal tahun itu, adalah musim pertama PSS kembali ke kasta tertinggi sepakbola Indonesia. Belum adanya fasilitas pendukung, pekerja profesional dan tumpang tindihnya peran menjadi perhatian kami. Hingga akhir musim 2019, delapan tuntunan itu tak satupun kunjung terealisasi.
Berikut catatannya:
- Program Pembinaan dan Akademi Usia Muda PS Sleman. Pengembangan usia mudia atau akademi yang dikerjakan seadanya. Untuk akademi memang diasuh oleh SDM berkompeten. Namun secara operasional, terlihat betapa kurang diperhatikan. Kasus tempat menginap sewaktu laga tandang, hingga permasalahan admistrasi pemain yang terpaksa terhenti ditenggah jalan karena putus kontrak.
- Mess untuk PS Sleman. Pemain PSS masih menggunakan hotel dan itu milik pribadi.
- Lapangan untuk berlatih. Lapangan latihan yang tak jelas dan selalu berpindah.
- Marketing & Bussines Development yang buruk. Hingga tulisan ini diturunkan belum ada sponsor baru yang bergabung bersama PSS. Serta, yang disayangkan ketika CEO PT. PSS justru memilih menggandeng agensi sponsorship. Tidak digarap secara mandiri.
- Memanfaatkan Media Klub sebagai Pusat Informasi dan Publikasi. Kejadian press conference hari lalu seakan menampar secara terbuka yang kami inginkan. Adapun alasan mengenai lupa memberikan mandat kepada media klub adalah bentuk ketidakmampuan CEO dengan segala kuasa dan posisinya.
- Menghapus Peran dan Posisi Ganda. Masih ada posisi dalam manajemen tim maupun PT yang tumpang tindih. Seperti; peran ganda Bapak Yohanes sebagai Humas PT dan manajer akademi.
- Penyelenggaraan Pertandingan yang Profesional. Penyelenggara Pertandingan gagal mengelola dengan baik. Dari sistem ticketing, pembagian kuota kepada suporter tamu dan masih banyaknya calo berkeliaran yang membuat penonton tidak nyaman serta image buruk bagi PSS.
- Standar Operasional Prosedur (SOP) yang Jelas dalam Perusahaan. Tidak ada Good Corporate Governance dalam bekerja yang sesuai porsi. Ini juga terjadi antara pejabat PT dengan karyawan di dalamnya.
Tidak hanya delapan tuntutan yang gagal dipenuhi, PT. PSS juga telah gagal merangkul pihak-pihak yang berkompeten dan berprestasi untuk PSS. Sekarang PT. PSS berisikan orang yang latar belakang prestasi dan peran tidak jelas. Nama di bawah ini adalah deretan nama yang selama ini mempunyai kemampuan, berperan dan berprestasi, yang justru dihilangkan. Di antaranya:
(a) Bapak Sismantara – Manajer PSS musim 2018, membawa PSS Juara Liga 2 2018.
(b) Bapak Dewa – Assisten Manajer PSS musim 2018, membawa PSS Juara Liga 2 2018.
(c) Ibu Retno Istri Alm. Bapak Supardji – Pemiliki saham minoritas PT. PSS.
(d) Bapak Erry Febrianto (Mas Ableh) – Official tim PSS 2018, oprasional tim membawa PSS Juara Liga 2 2018.
(e) Bapak Sigit – Fisioterapi PSS musim 2017/2018, membawa PSS Juara Liga 2 2018.
(f) Ibu Viola – CEO PSS April hingga Agustus 2019, menjalin kerjasama dengan sponsorship, bonus pemain dan sistem kinerja.
(g) Coach Seto – Pelatih PSS 2016 hingga 2019, membawa PSS Juara Liga 2 2018 dan finish peringkat 8 Liga 1 2019.
PSS justru terdiri dari nama dibawah ini yang tidak memiliki kemampuan, serta peran atas situasi yang terjadi. Sebagai berikut;
(a) Bapak Soekeno – Pemilik Saham Mayoritas PT. PSS Gagal memenuhi 8 tuntutan yg sudah beliau tandatangani di atas meterai. Adanya kontrak pemain tanpa rekomendasi pelatih.
(b) Bapak Fatih – CEO PSS September 2019 – Januari 2020. Gagal berperan sebagai CEO, baik dalam menjalin kerjasama dan memenuhi 8 tuntutan.
(c) Bapak Teguh – General Manager PT. PSS 2019. Gagal berperan sebagai seorang General Manager, baik dalam manajemen PT dan memenuhi 8 tuntutan.
(d) Bapak Yohanes – Humas PT. PSS & Manajer Akademi 2019. Memiliki peran dan posisi ganda, baik secara PT dan Manajemen.
(e) Coach Bejo – Pelatih Kiper PS Sleman 2018 – 2019. Gagal menujukan sikap profesional dalam peran dan tugasnya, merujuk tidak adanya evaluasi regular pelatih kiper. Belum memiliki lisensi sesuai regulasi PT LIB.
(f) Alfonso – Pemain PS Sleman. Gagal menujukan sikap profesional seorang pemain. Terutama mengenai kedisiplinan dalam berlatih.
Oleh karena itu berdasarkan pertimbangan dan alasan BCS di atas. Kami sepakat tidak ingin lagi PS Sleman berjalan mundur dan diisi oleh SDM yang tidak kompeten. Serta beberapa pihak yang tidak berkompeten yang tidak kami ketahui dimohon untuk meninggalkan peran dan jabatannya.
Selain itu, kami juga mendesak secepatnya untuk mencari investor yang sesuai dengan masyarakat sepak bola Kabupten Sleman.
Tuntutan BCS jelas, delapan tuntutan dan deretan nama yang tidak berprestasi. Sekarang tinggal pilih, keluarkan semua yang tidak berkompeten atau kami yang keluar dari tribun selamanya/boikot semua pertandingan PS Sleman?
BACA JUGA Karya Kreatif BCS dan Sleman Football Untuk PS Sleman atau tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.