MOJOK.CO – Mikel Arteta menggunakan “benda mati” dalam diri para pemain senior yang tidak peduli dengan Arsenal untuk mendapatkan “kesenangan tersendiri”, yaitu ego.
Ketika memosisikan diri sebagai fans rival Arsenal untuk keperluan menulis, saya sudah tidak mendapatkan kesenangan untuk meledek atau membuat analogi lucu. Untuk mendapatkan efek lucu dari sebuah ledekan, kamu hanya perlu menulis kata “Arsenal” saja dan semua orang bakal tertawa.
Saya rasa, yang tengah terjadi kepada Arsenal adalah semacam opera sabun murahan, dengan jokes garing yang tak lagi memuaskan pemirsa. Maka, satu-satunya respons yang bisa kita dapatkan hanya tertawa lepas saja, untuk kemudian terdiam karena kebodohan itu diulang minggu demi minggu.
Seakan-akan, menyakiti diri sendiri adalah sebuah misi, dari Mikel Arteta dan para pemain. Seperti ada sebuah tujuan untuk membuat fans sebal dan para rival menjadi muak karena ledekan yang sama tidak lagi mempan. Tidak lagi mempan karena Arsenal sudah seperti kebal dengan kebodohan dirinya sendiri.
Banyak kebodohan yang dilakukan Arsenal di satu malam saja….
Pertama, ketika para rival kehilangan poin, Arsenal selalu tidak bisa memaksimalkan keadaan untuk ikut-ikutkan kalah. Ironisnya, para rival hanya bisa bermain imbang atau kalah karena lawan mereka memang tampil bagus.
Tottenham Hotspur dan Liverpool bermain imbang karena Crystal Palace dan Fulham tampil sangat stabil. Manchester United dan Manchester City berbagi angka karena mewaspadai kekuatan masing-masing lawan. Chelsea kalah karena Everton bermain cukup disiplin.
Arsenal kalah dari Burnley bukan karena lawannya yang istimewa, tetapi kebodohan dari pelatih hingga para pemain. Dan itulah yang menjadi kebodohan kedua.
Kebodohan kedua adalah ketika Mikel Arteta menegaskan bahwa komposisi pemain yang dipilih untuk menghadapi Burnley adalah “komposisi terbaik”. Tujuan pemilihan pemain ini adalah untuk menang. Sebuah lawakan garing yang tak lagi lucu karena tiap minggu selalu diulang.
Ironis sekali pikiran yang terbentuk di dalam benak Arteta. Bagaimana bisa Hector Bellerin dan Willian selalu mendapat menit bermain ketika kedua selalu bermain buruk. Jika tak bermain dengan kesadaran penuh, kelemahan Bellerin menjadi sangat terlihat. Dia tidak bisa mengontrol bola, tak bisa mengumpan dengan benar, tak bisa menggiring bola, tak punya first touch profesional, dan lain sebagainya.
Ironisnya, ada dua pemain yang saat ini lebih baik dari Bellerin tetapi hanya dimainkan di kompetisi “kasta kedua”. Untuk lini tengah, Arteta seharusnya sadar bahwa Granit Xhaka tidak sesuai dengan karakter permainan yang ingin dikembangkan Arsenal.
Kembali, hal ironis terjadi. Ada satu pemain, yang hampir selalu bermain stabil ketika bermain sebagai bek sayap kanan sekaligus gelandang sentral, tetapi tak pernah mendapat kesempatan sejak awal laga. Sosok pemain yang langsung cocok ketika berduet dengan Mo Elneny di lapangan tengah.
Di lini belakang, Arteta begitu takut untuk memberi kesempatan untuk William Saliba. Ketika Rob Holding tidak konsisten dan Shkodran Mustafi malah mendapatkan sodoran kontrak baru, Saliba tidak mendapatkan menit bermain padahal Arteta sendiri yang bilang kalau perkembangan yang terlihat sangat nyata. Arteta membantah omongannya sendiri? Konyol sekali.
Sudah beberapa minggu para pemain senior ini mengecewakan Arteta. Namun, pelatih asal Spanyol itu tak punya nyali untuk membekukan mereka di bangku cadangan. Ketika situasi menjadi buruk, para pemain senior ini malah tidak bisa memberikan solusi dan membantu pelatih.
Freddie Ljungberg, mantan pelatih Arsenal pernah berkata bahwa Mikel Arteta bakal kesulitan karena beberapa pemain terlalu peduli dengan diri sendiri. Sebuah pernyataan yang ditegaskan Ljungberg dengan memainkan sembilan pemain muda di laga terakhirnya bersama Arsenal.
Inilah kebodohan ketiga, ketika Arteta tidak berani juga mencadangkan para pecundang dan memberi menit bermain untuk pemain muda. Padahal, beberapa pemain muda selalu tampil stabil, terlihat lebih “lapar”, dan peduli dengan emblem Arsenal di dada ketimbang beberapa pemain senior.
Sebuah pemikiran baru bisa menjadi solusi ketika eksekutornya berani mengeksekusi. Ketika sang eksekutor terjebak dalam imajinasi kosong, artinya dia hanya mementingkan ego sendiri. Dia bahagia ketika Arsenal cuma berjarak lima poin dari zona degradasi dan sudah tertinggal 10 angka dari peringkat empat. Siapa yang menempati peringkat empat? Southampton!
Mikel Arteta boleh marah selepas pertandingan ketika berbicara kepada wartawan. Namun, ketika dia tidak mengambil tindakan, Arteta tak boleh lupa kalau dirinya juga bagian dari shitshow ini.
Kalau di pertandingan selanjutnya kebodohan ini masih berlanjut, Mikel Arteta cuma sebatas sosok bapak-bapak dengan fetish menyakiti diri sendiri. Yang tidak dia sadari, fetish itu ikut menyakiti masa depan Arsenal untuk musim ini. Kalau kebodohan ini terus berlanjut, tidak ada makna cinta kepada klub yang bisa dia utarakan lagi di depan publik.
Menurut George Brown, profesor dari Department of Psychiatry and Behavioral Sciences East Tennessee University, fetisisme dapat diartikan sebagai penggunaan benda mati (fetish) yang disukai untuk menghasilkan rangsangan seksual.
Mikel Arteta menggunakan “benda mati” dalam diri para pemain senior yang tidak peduli dengan klub untuk mendapatkan “kesenangan tersendiri”, yaitu ego. Dia ingin pilihannya sukses, bisa memberi hasil positif. Namun, ketika kebijakannya tak berjalan tetapi tidak diubah, dia hanya sebatas bapak-bapak dengan hasrat yang aneh.
… atau dengan kata lain, dia hanya sosok pelatih muda yang konon revolusioner, yang tidak punya nyali….
BACA JUGA Mikel Arteta Perlu Bangun dari Mimpi Basah atau Arsenal Bakal Ejakulasi Dini Tiada Berarti dan tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.