MOJOK.CO – Pak Sultan, di antara kita belum ada rasa victoria concordia crescit. Kalau ada waktu, mari mendengarkan saya mendongeng tentang Arsenal yang berhati nyaman.
Lima tahun lalu, kalimat “Arsenal berhati nyaman” mengawali dua judul tulisan saya yang tayang di Fandom. Kalimat tersebut menjadi pengantar sebuah kritikan untuk Yogjakarta. Kritikan untuk pembangunan hotel dan mal yang tidak dibutuhkan, serta tingginya intoleransi di Yogjakarta.
Kata “Arsenal” di dalam judul menjadi sebuah pembanding saja. Ketika seorang fans Arsenal justru menemukan hati yang nyaman dari sebuah klub, alih-alih kota kelahirannya. Lima tahun berselang, saya merasa keadaan tidak berubah. Bahkan, jika boleh jujur, di tengah pandemi ini, keadaan menjadi lebih memprihatinkan. Bukan hanya Jogja, tetapi Indonesia.
Kalau memasukkan kata kunci “Covid-19 DIY” di mesin pencarian, kamu akan menemukan keseragaman di sana. Selalu ada kata “penambahan” dan “lonjakan”. Salah satu biangnya adalah kedatangan wisatawan. Sebetulnya tidak mengejutkan ketika Gubernur DIY, Pak Sultan, tidak pernah tegas mencegah kedatangan wisatawan.
Pernah suatu kali Pak Sultan mengancam akan menutup Malioboro ketika pesepeda memadati kawasan wisata itu. Namun, ancaman hanya sekadar angin lalu. Tidak ada bukti nyata. Hingga akhirnya terjadi klaster baru di Malioboro. Warga memang susah sekali diajak disiplin. Namun, di sisi lain, pemerintah DIY tak pernah dengan tegas “mengajari” kedisiplinan kepada warganya sendiri.
Ketika kasus Covid-19 terus bertambah, Pak Sultan mengeluarkan dua pernyataan yang menggelisahkan.
Pertama: “Lonjakan yo ra popo (lonjakan ya tidak apa-apa), njuk piye (terus bagaimana). Semuanya tergantung masyarakat aku enggak iso opo-opo (aku enggak bisa apa-apa),” kata Pak Sultan.
Kedua: “Misalnya dengan “Kidung Rumekso ing Wengi” atau doa tolak bala anggitan Sunan Kalijaga, yang dilafalkan bakda salat malam dalam suasana hening dan hati bening sebagai kidung pengusir pagebluk. Seraya bersimpuh, berpasrah diri dalam keheningan atas keberadaan-Nya, suwung hamengku ana, agar kita terbebas dari pageblug.”
Terkait pernyataan kedua, menurut Pak Sultan, selain pengobatan medis dan perjuangan, Covid-19 dapat dilawan dengan jalan perenungan kebudayaan sebagai akar hening. Sejuk sekali.
Fans Arsenal tentu sudah tidak asing dengan “perenungan diri sebagai akar hening”. Tidak asing juga dengan usaha mengejar kebahagiaan dengan menemukan kedamaian di dalam diri. Fans Arsenal mengenalnya dalam kalimat victoria concordia crescit atau kemenangan berawal dari keharmonisan.
Oleh sebab itu, saya tidak akan mengkritik soal imbauan Pak Sultan untuk melakukan “perenungan diri sebagai akar hening”. Toh banyak dari kita, terutama orang Jawa, sudah lupa akan identitasnya. Padahal, di dalam identitas itu, banyak petuah leluhur untuk menghadapi masalah seperti pageblug Covid-19 ini. Ketika orang sudah lupa akan warian leluhur, dia akan tersesat dalam kesombongan dan ketidakpedulian.
“Kidung Rumekso ing Wengi” karya Sunan Kalijaga memang bisa menjadi semacam panduan.
Teguh hayu luputa ing lara
luputa bilahi kabeh
jim setan datan purun
paneluhan tan ana wani
niwah panggawe ala
gunaning wong luput
geni atemahan tirta
maling adoh tan ana ngarah ing mami
guna duduk pan sirno
artinya: ‘Ada lagu yang dikumandangkan tengah malam / Yang menjadikan kuat selamat / terbebas dari semua penyakit / Terbebas dari segala petaka / Jin dan setan tidak menggangu / Segala jenis sihir tidak berani / Apalagi perbuatan jahat / Guna-guna tersingkir / Api menjadi air / Pencuri menjauhi dariku / Segala bahaya akan lenyap.’
Doa memang bentuk sebuah usaha. Namun, doa tanpa usaha tidak akan “bermakna”. Ketika Pak Sultan menyerahkan nasib ke warga sendiri, lantas apa guna adanya Raja untuk menjadi petunjuk?
Ada frasa “Suryaning Mataram” di dalam gelar “Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Sri Sultan Hamengku Bawono ingkang Jumeneng Kasepuluh Suryaning Mataram Senopati-ing-Ngalaga Langgeng ing Bawana, Langgeng, Langgeng ing Tata Panatagama.”
Menjadi matahari Mataram punya banyak arti. Salah satunya adalah menjadi petunjuk arah bagi rakyatnya. Kalau Raja sudah nglokro, bagaimana nasib rakyat? Nuwun sewu, ngapunten, Sinuhun. Sebagai rakyat, kami, saya punya hak untuk tapa pepe. Namun, karena Jogja sedang mendung, izinkan saya untuk tapa online saja.
Sebagai fans Arsenal, terutama di paruh akhir musim 2019/2020 dan paruh awal 2020/2021, saya menyaksikan kerja Mikel Arteta sebagai “patron”. Seorang pelatih, sekaligus penuntun bagi pemainnya yang tengah berada dalam kesusahan.
Arsenal pernah dibuat menderita oleh payahnya Granit Xhaka. Namun, Arteta “merangkul” Xhaka dan memperbaiki performanya. Ainsley Maitland-Niles pernah hampir mbalelo tidak mau bermain sebagai bek sayap. Namun, pelatih Arsenal memberinya pengertian bahwa Ainsley punya kemampuan menjadi pemain kelas dunia di banyak posisi.
Pelatih Arsenal itu tidak berujar: “…njuk piye (terus bagaimana). Semuanya tergantung Xhaka dan Ainsley. Aku enggak iso opo-opo.” Pelatih Arsenal itu menegaskan kalau Xhaka dan Ainsley itu iso. Mereka bisa untuk menjadi pemain yang lebih baik lagi. Arteta memang menyerahkan semuanya kepada kerja keras pemain. Namun, dia mengayomi, memberi contoh konkret.
Oleh sebab itu, dengan segala kekurangan yang ada di skuat Arsenal, saya tetap “merasa nyaman”. Ada keyakinan di tengah situasi sulit. Terkadang, rakyat tidak butuh janji muluk, tetapi sebuah hati yang optimis dan nyata.
Penyatuan antara rakyat dan raja akan melahirkan kehidupan yang lebih baik. Melahirkan victoria concordia crescit bagi DIY yang semakin gelisah dilanda corona. Keharmonisan itu, Pak Sultan, tidak terlihat di tengah hubungan rajo kalian kawula. Nyuwun sewu, ngapunten, Sinuhun, matur nuwun.
BACA JUGA Nggak Usah Terbeli oleh Romantisasi Jogja. Asline Biasa Wae, Lur dan tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.