MOJOK.CO – Belum becus benerin program televisi, KPI tiba-tiba pengin ikut ngurusin konten di platform digital. Banyak tenaga betul~
Kalau ada lembaga negara yang senang betul cari-cari pekerjaan, mungkin Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) adalah salah satunya. Bagaimana tidak? Belum becus ngurusin tayangan-tayangan di televisi supaya lebih bermutu, sekarang malah bakal cawe-cawe plaform digital seperti YouTube, Facebook, atau Netflix untuk melakukan pengawasan terhadap kontennya.
Sebetulnya, aturannya ini masih belum ada. Beliau-beliau ini masih sedang mengharapkan DPR merevisi Undang-Undang Penyiaran supaya segera dapat menjadi dasar hukum biar bisa ngawasi. Mungkin kalau di kelas, KPI ini udah mirip kayak anak rajin yang duduk di bangku paling depan. Hobi rajinnya itu, sering kali mengusik ketenangan siswa yang lain.
Ya, mohon maaf nih. Kami-kami yang selama ini berbahagia dalam menikmati konten-konten di YouTube atau Netflix sebetulnya memang sudah jengah dengan konten televisi yang terlalu banyak nggak masuk akalnya. Jadi, meski harus mengeluarkan biaya yang lebih banyak—untuk beli kuota, tidak menjadi masalah: Demi konten yang berkualitas yang bisa memberikan nutrisi baik bagi otak.
Selain itu, KPI pengin melakukan pengawasan pada platform digital supaya konten yang ada memang layak ditonton dan punya nilai edukasi—sehingga bisa menjauhkan masyarakat dari konten berkualitas rendah.
Eh, bentar. Gimana? Punya nilai edukasi dan tidak berkualitas rendah? Terus, apa kabar sama program-program televisi kita selama ini?
Bukankah sudah terlalu banyak program yang betul-betul bobrok dan nggak layak dipertontonkan karena terlalu banyak settingan, ghibah, dan guyonan sampah? Eh, KPI juga terlihat nggak ada masalah, tuh. Ya, kalaupun ada yang dikasih peringatan, paling juga emang peringatan doang. Misalnya diperingatkan berkali-kali, biasanya sih “kekuatannya” stagnan. Sebut saja Fesbukers yang kontennya terlalu sering bermasalah, tapi masih tayang juga, kan? Palingan cuma dikurangi jam tayang.
Selain konten yang ide dan eksekusinya terlalu “minimalis”, program televisi juga menjemukkan dengan banyaknya gambar-gambar yang disensor. Memang yang menyensor itu bukan KPI-nya, tapi program televisinya sendiri. Namun, bukankah itu sebetulnya karena aturan panjang dari KPI yang kurang jelas—sehingga bikin televisi punya pemaknaan berbeda-beda? Lantas memilih cara aman hingga nggak masuk akal.
Kalau saja, KPI mau bikin pedoman dengan “lebih jelas”, tentu pemaknaan tersebut nggak bakal manasuka. Atau, sekalian ngasih sanksi yang beneran tegas biar program-program alay itu terhempas dari bumi pertelevisian dan bikin industri televisi kita berlomba-lomba di jalan yang lurus. Jalan yang diridhoi semesta.
Jadi, energi para kru televisi bisa disalurkan untuk bikin program yang berbobot. Bukannya sibuk nyensor bajunya Sandy di Spongebob, Shizuka, atau susunya sapi yang lagi diperah. Sungguh sebuah bukti persilangan paripurna antara pedoman yang kurang jelas dan industri televisi yang “terlalu ketakutan” tapi konteksnya nggak pas.
Oleh karena itu, kami nggak sudi rela kalau KPI harus ikut campur sama sama konten-konten di platform digital yang kami rasa nggak ada masalah. Tolonglah, kami juga nggak bodoh-bodoh amat dalam milih konten, kok. Biarkan kami menonton Black Mirror di Netflix dengan tenang. Biarkan kami nonton Spongebob di YouTube dengan pandangan lebih nyaman.
Jadi KPI, lebih baik benahi dulu program-program di TV. Sama anu, pemilihan komisionernya juga. Gimana bisa baik kalau yang terpilih jadi komisioner ujung-ujungnya orang yang berafiliasi sama industri TV-nya sendiri. Hehehe, lembaga independen macam apa~