Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Pojokan

Sayang Orang Lain Terus, Udah Sayang Diri Sendiri Belum?

Audian Laili oleh Audian Laili
3 Oktober 2018
A A
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Kita terjebak dalam realita, terlalu sibuk memikirkan orang lain, tetapi lupa dengan diri sendiri. Lupa untuk sayang diri sendiri.

Dengan hadirnya teknologi, kini kita hidup di dunia yang serba cepat. Serba padat. Serba dikejar deadline. Sampai-sampai, terkadang kita merasa kesulitan untuk menemukan ketenangan meski sejenak. Untuk sekadar menikmati segala hal yang telah dianugerahkan Tuhan dan berada di sekitar kita.

Bahkan, tidak sedikit dari kita, yang sulit menemukan kelegaan meski katanya sedang liburan. Diri kita tetap dipaksa menerima banyak informasi, jarang diberikan kesempatan untuk benar-benar beristirahat.

Sederhana saja, ketika ingin tidur, kita justru memilih men-scroll smartphone kita. Melihat meme, menonton Youtube, atau membaca caption, artikel dan Whatsapp. Tidak rela membiarkan waktu yang sepersekian menit sebelum terlelap itu, jika tidak dimasuki suatu informasi apa pun.

Katanya sih, banyak yang merasa tidak bermasalah dengan segala deadline yang padat itu. Bahkan mendaku bahwa dirinya dapat menikmati hal tersebut dengan baik. Merasa hidupnya lebih baik jika berada di tengah keadaan itu. Benarkah mereka benar-benar dapat menikmati target-target di kehidupannya tanpa masalah berarti dan baik-baik saja?

Ataukah hal ini hanya sekadar menutup rasa lelah dengan kelelahan yang lain? Sehingga kemudian tidak dapat benar-benar memahami dan membedakan: yang mana rasa nikmat dan yang mana rasa terlalu lelah?

Apakah kita tidak ingin membiarkan diri kita beristirahat sejenak, berusaha memahami apa yang sebenarnya kita butuhkan. Dengan sedikit mengabaikan standar ‘kehidupan seharusnya’ yang disampaikan oleh orang-orang sekitar kita.

Mengutip perkataan Sekretaris Redaksi Mojok dengan sedikit perubahan, harusnya begini cara kita melakoni hidup. Seharunya kita menjalankan kehidupan dengan beberapa tingkatan prioritas.

Pertama, mengutamakan kesehatan mental.

Kedua, mengutamakan kesehatan jasmani.

Ketiga, mengutamakan keluarga.

Keempat, mengutamakan pekerjaan.

Jangan sampai kebalik. Jangan sampai, kita terlalu terhanyut dengan target-target semu, tapi melupakan hal yang sebetulnya menjadi kebutuhan utama kita. Yang sangat perlu kita prioritaskan.

Begini, banyak orang yang rela-rela saja mengeluarkan sebagian pendapatannya digunakan untuk mengasuransikan kesehatan jasmaninya. Namun, berapa banyak orang yang kira-kira rela mengasuransikan kesehatan mentalnya?

Iklan

Bukankah keduanya merupakan hal yang sama-sama pentingnya? Bukankah keduanya sama-sama dapat jatuh sakit dengan tiba-tiba tanpa kita perkirakan sebelumnya?

Sakit fisik itu biasanya terlihat dan dapat dirasakan sumber sakitnya, yang dapat menyerang semua bagian tubuh kita. Berbeda dengan sakit mental, yang biasanya hanya menyerang hati dan otak. Hati dan otak di sini bukan sebagai organ tubuh kita. Namun hati sebagai perasaan dan otak sebagai pikiran. Yang kemudian rasa sakit di kedua bagian itu, dapat mempengaruhi seluruh bagian tubuh kita.

Karena wujudnya yang tidak sejelas sakit fisik, sakit mental ini justru sering diabaikan, tidak ingin dirasakan, lalu menganggap bahwa dirinya baik-baik saja.

Padahal, masalah kesehatan mental ini sangat penting untuk diprioritaskan. Pasalnya, seseorang yang sehat secara mental, ia akan dapat menggunakan potensi dirinya dengan maksimal dalam menghadapi setiap permasalahan dalam hidup, dan tidak jarang akan berhasil membangun hubungan positif dengan orang lain.

Sebaliknya, orang yang mengalami masalah dengan kesehatan mentalnya, biasanya ia cenderung akan mengalami gangguan mood, kemampuan dalam berpikir serta mengontrol emosi. Hal ini akan berdampak pada perilaku yang kurang baik menurut norma sosial.

Gangguan kesehatan mental ini biasanya terjadi akibat adanya tuntutan hidup yang kurang mampu diselesaikan dengan maksimal. Lalu perasaan gagal dalam menghadapi tantangan di depan tersebut menjadi masalah. Diantaranya mengakibatkan depresi dan stres.

Tidak banyak orang yang tahu, kondisi depresi dan stres dengan tingkatan yang parah dapat menyebabkan kegilaan bahkan bisa membuat seseorang ingin bunuh diri. Pasalnya, ada perasaan sangat tidak mampu menanggung beban-beban itu.

Perasaan tidak mampu ini sering tidak disadari. Hanya dianggap sebagai angin lalu, lantas tidak menjadi prioritas dalam kehidupannya untuk diselesaikan.

Masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sendiri misalnya. Menurut survei Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2014, memiliki indeks kebahagiaan di atas rata-rata. Yakni di atas angka 70%. Nilai ini dihitung dari kepuasaan 10 aspek kehidupan. Diantaranya kesehatan, pendidikan, pekerjaan, pendapatan rumah tangga, keharmonisan keluarga, ketersediaan waktu luang, hubungan sosial, kondisi rumah dan aset, keadaan lingkungan serta kondisi keamanan.

Namun yang menyedihkan, justru tingkat bunuh diri di provinsi ini tidak dapat dikatakan kecil. Bahkan pada tahun 2015, Provinsi DIY memiliki angka bunuh diri tertinggi nomor empat di Indonesia. Dengan 59 kasus.

Kira-kira ada apakah ini? Apakah hal ini salah satu yang dapat menunjukkan ketidakjujuran kita pada diri sendiri? Tidak punya keberanian untuk jujur pada dirinya bahwa kita tidak sedang baik-baik saja. Memangnya, salahkah perasaan ‘tidak baik-baik saja’ itu?

Apakah hal ini dikarenakan kondisi lingkungan kita yang membentuk dan meminta kita untuk selalu baik pada orang lain? Untuk selalu kuat dalam menjalani kehidupan? Dan memaksa kita melakukan segala hal yang seharusnya dilakukan. Padahal, kondisi mental kita tidak bisa selalu sama. Tidak dapat selalu kuat dalam menjalani hidup. Toh, bagaimanapun juga, ada titik tertentu di mana kita memang membutuhkan istirahat dan tidak dapat terus menerus menekan diri sendiri.

Apakah hal ini disebabkan karena sejak kecil, kita diajarkan untuk dapat menyayangi orang lain? Ketika kecil, kita diajarkan sebuah lagu dengan lirik seperti ini,

Satu-satu aku sayang ibu

Dua-dua juga sayang ayah

Tiga-tiga sayang adik kakak

Satu dua tiga sayang semuanya

Sejak kecil kita diminta untuk sayang ibu, ayah, adik, dan kakak. Kita diajarkan untuk menyayangi orang lain, namun tidak pernah diajarkan untuk menyayangi dan membahagiakan diri kita terlebih dahulu.

Padahal, bagaimana caranya kita dapat membahagiakan orang lain, jika diri kita sebenarnya belum benar-benar dapat bahagia? Mau menutup dengan topeng berapa lapis lagi untuk tetap kekeuh menyiksa diri sendiri dengan berpura-pura baik-baik saja?

Terakhir diperbarui pada 22 Februari 2019 oleh

Tags: keluargakesehatan fisikkesehatan mentalpekerjaansakit mentalsayang diri sendirituntutan hidup
Audian Laili

Audian Laili

Redaktur Terminal Mojok.

Artikel Terkait

Program PIJAR sebagai upaya Pemerintah Kota Semarang atasi persoalan gangguan kesehatan mental remaja MOJOK.CO
Kilas

PIJAR: Gerakan agar Para Remaja di Semarang Tak Merasa Sendirian, Biar Tak Alami Gangguan Kesehatan Mental

15 Oktober 2025
Para pembicara di “Sarasehan” dengan tajuk Generasi Emas: Mengenal Akar Kenakalan Remaja dan Solusinya yang diadakan oleh Al Kahfi Cabang Surabaya 3. MOJOK.CO
Kilas

Miris Melihat Remaja Terjerumus dalam Jurang “Kegelapan”, Yayasan Al Kahfi Ajak Ratusan Pelajar SMA Surabaya Menemukan Jati Diri

13 Agustus 2025
Teman Manusia Jogja ajak menengok anak kecil dalam diri kita yang dewasa MOJOK.CO
Kilas

Teman Manusia Jogja Ajak Tengok Anak Kecil dalam Diri Dewasa Kita, Tanggalkan Beban untuk Lebih Kuat Jalani Kehidupan

23 Juli 2025
Lulus dari UAD, Jogja pindah ke Bangka untuk bangun karier sebagai psikolog. MOJOK.CO
Sosok

Jogja bikin Saya Sadar “Kebobrokan” di Kampung Halaman hingga Punya Motivasi untuk Membangun Karier sebagai Psikolog

30 Mei 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Transformasi Wayang dalam Sejarah Peradaban Jawa

Transformasi Wayang dalam Sejarah Peradaban Jawa

30 November 2025
Judi Online, judol.MOJOK.CO

Pengalaman Saya 5 Tahun Kecanduan Judol: Delusi, bahkan Setelah Salat pun Doa Minta Jackpot

2 Desember 2025
Bakpia Mojok.co

Sentra Bakpia di Ngampilan Siap Jadi Malioboro Kedua

1 Desember 2025
Wonogiri Bukanlah Anak Tiri Surakarta, Kami Sama dan Punya Harga Diri yang Patut Dijaga

Wonogiri Bukanlah Anak Tiri Surakarta, Kami Sama dan Punya Harga Diri yang Patut Dijaga

1 Desember 2025
banjir sumatera. MOJOK.CO

Bencana di Sumatra: Pengakuan Ayah yang Menjarah Mie Instan di Alfamart untuk Tiga Orang Anaknya

1 Desember 2025
Gowes Ke-Bike-An Maybank Indonesia Mojok.co

Maybank Indonesia Perkuat Komitmen Keberlanjutan Lewat Program Gowes Ke-BIKE-an

29 November 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.