MOJOK.CO – Perempuan yang sukses dalam kariernya katanya memiliki kemungkinan selingkuh lebih tinggi. Jadi, lebih baik perempuan di rumah saja, fokus ngurus suami dan anak. Lebih barokah dunia dan akhirat.
Ada sebuah penelitian yang dilakukan oleh Joris Lammers, seorang professor dari Tilburd University di Belanda. Beliau menemukan bahwa perempuan yang berkarier apalagi menduduki jabatan tinggi, lebih tertarik pada tantangan dan risiko yang tinggi. Nah, salah satu hal yang dilakukan untuk memenuhi hasrat tersebut adalah dengan berselingkuh.
Ya, ya, ya, intinya penelitian ini seperti menunjukkan bahwa perempuan yang bekerja dan memiliki karier yang cukup sukses, dia lebih mudah berselingkuh atau justru meminta cerai. Hal ini kemudian seakan-akan dijadikan kambing hitam, bahwa akan lebih baik jika seorang perempuan tidak lebih sukses atau tidak berjabatan lebih tinggi dibandingkan suaminya. Atau akan lebih baik lagi, jika perempuan tidak perlu bekerja, di rumah saja, biar lebih manut sama suami dan nggak berbuat yang macem-macem.
Kamu pasti tidak asing, kan, dengan wejangan-wejangan yang memintamu—sebagai perempuan—untuk tidak berkarier atau berpendidikan lebih tinggi? Susah dapat jodoh katanya. Soalnya, hal ini bisa bikin para lelaki jadi keder di awal dan nggak berani mendekat apalagi melakukan penjajakan—karena takut dikuasai. Apalagi dengan tambahan penelitian terbaru tentang kecenderungan selingkuh tadi, Niscaya, mungkin ketakutan mereka berlipat ganda. Wah, coba kalau rasa takut bisa dijual….
Maka, tidak mengherankan jika ada anggapan bahwa sebaik-baiknya perempuan adalah yang tinggal di rumah saja, biar gampang diatur nggak selingkuh.
Tunggu dulu, tunggu dulu. Kok kesimpulannya jadi kayak gini, ya? Ini gimana ceritanya?
Sepertinya ada yang miss dengan pola pikir ini. Semuanya semacam disamaratakan dengan mudah. Kesimpulannya dibikin terlalu sederhana, jika A maka B. Tidak memberikan kesempatan adanya kemungkinan lainnya.
Begini, ketika seorang perempuan yang—anggap saja—berpendidikan tinggi dan atau bekerja, tidak serta merta dia pasti—bakal—selingkuh begitu saja. Jika kemudian para lelaki langsung membatasi kebebasan perempuan untuk menentukan hidupnya, tentu tidak dapat diterima. Pasalnya, ada faktor lain yang menyebabkan mengapa sebuah perselingkuhan itu terjadi.
Kita ambil perumpaan yang mudah saja, untuk menelaah hasil dari penelitian ini. Misalnya, seorang perempuan memiliki suami yang tidak bertanggung jawab, berlaku sewenang-wenang, apalagi—ternyata—punya istri lebih dari satu tapi tidak sanggup berlaku adil!!1!!! *sungguh sosok antagonis yang paripurna.
Mungkin bagi perempuan yang tidak memiliki berpenghasilan dan pendapatannya manut sama suami, dia tidak memiliki banyak pilihan, apalagi jika ia sudah memiliki anak. Pilihan untuk bercerai dirasa terlalu egois dan tidak memikirkan nasib anak-anaknya. Maka, tidak sedikit yang memilih untuk ‘lebih baik diam’ demi kelangsungan hidupnya serta—terutama—buah hati mereka.
Tentu saja, hal ini akan berbeda dengan seorang perempuan yang katanya ‘lebih punya power’, di mana ia memiliki penghasilan sendiri dan tidak terlalu menggantungkan hidupnya kepada suami. Ketika stimulus yang sama dia terima, ada respon berbeda yang dia berikan. Sebagai perempuan yang merasa lebih mandiri secara finansial, ia memiliki pertimbangan lain supaya tidak diperlakukan semena-mena. Bisa jadi, dia lebih memilih untuk berselingkuh, sebagai upaya untuk menunjukkan ‘power’-nya itu. Atau respon lebih lanjut, ia memutuskan lebih baik…
…berpisah saja. Toh, untuk urusah kebutuhan anak-anak, ia merasa yakin masih bisa memenuhinya tanpa harus bergantung pada suami.
Selanjutnya, masalah perempuan yang bekerja memiliki kecenderungan untuk selingkuh—menurut saya—tidak serta merta hal ini dikaitkan dengan jabatan yang mereka sandang. Misalnya ketika seorang perempuan jadi bos di kantor, tidak langsung mengindikasikan dia memiliki hasrat untuk selingkuh begitu saja.
Begini, ketika seseorang memutuskan untuk bekerja, tentu ia memiliki lingkaran hidup yang baru. Ia memiliki kesempatan yang lebih besar untuk berinteraksi dengan orang lain yang memiliki kesamaan visi-misi, bahkan berpeluang untuk bertemu dengan orang-orang yang se-chemistry. Hal ini didukung dengan pertemuan-pertemuan yang cukup intens ketika menggarap sebuah proyek bersama—misalnya.
Dari gambaran tersebut, yang membuat perempuan bekerja memiliki kecenderungan untuk selingkuh lebih tinggi, bukan sekadar jabatan yang ia sandang. Melainkan, karena ia berkesempatan untuk berinteraksi dengan lebih banyak orang.
Perempuan yang bekerja—sama seperti perempuan lainnya—tentu saja dapat menjaga komitmen pernikahannya, asalkan ia juga dapat menjaga interaksinya dengan lawan jenis. Pasalnya, di mana pun kita berada, kita selalu berpeluang bertemu dengan seseorang, kemudian merasa cocok, seakan-akan dia adalah yang kita cari selama ini, lantas cinta lokasi dengannya.
Oleh karena itu, sebaiknya kita nggak ngasal menggunakan bercandaan ‘ciye-ciye’, apalagi pada seseorang yang telah diikat dengan komitmen pernikahan. Kita tidak pernah dapat membayangkan kekuatan di balik ‘ciya-ciye’ yang katanya hanya bercanda itu. Kita tidak pernah tahu, apa yang terjadi di alam bawah sadar seseorang dengan stimulus tersebut—yang sebetulnya terlihat nggak niat.
Maka dengan hal ini, bukan artinya seorang perempuan yang memilih menjadi ibu rumah tangga atau bekerja dari rumah, ia tidak memiliki kemungkinan untuk berselingkuh. Keduanya memiliki kesempatan yang sama. Hanya saja, bagi seorang perempuan yang berkarier tinggi, ia memiliki kesempatan lebih besar karena selain merasa tidak terlalu bergantung pada suami perihal finansial, ia juga memiliki lingkungan pertemanan lebih luas yang memungkinkannya bertemu dengan seseorang yang nge-klik di rasa namun tidak secara hukum dan agama.