Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Pojokan

Apa Masalahnya Kalau Cuma Ngerekam tapi Nggak Nolongin?

Audian Laili oleh Audian Laili
28 Maret 2019
A A
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Komentar, “cuma ngerekam tapi nggak nolongin”, pasti muncul di setiap konten rekaman kejadian yang terlihat dramatis. Ta, tapi, kan nggak apa-apa kalau mereka bisanya memang cuma ngerekam?

Dengan harga gadget yang semakin murah, saat ini hampir setiap orang sanggup mengantongi handphone dengan fitur kamera. Ternyata, hal ini pelan-pelan memberikan dampak pada setiap orang seolah bisa jadi ‘wartawan’. Tak perlu mengirimkannya ke media, cukup di akun pribadi dan video tersebar dengan mudahnya.

Tanpa kamera CCTV pun, rasa-rasanya hidup ini sudah dipenuhi kamera di mana-mana. Yang cukup bisa dijadikan kontrol tingkah kita. Bahkan, teman saya pernah menolak membonceng saya karena saya tidak pakai helm. Ia menolak bukan karena takut dicegat polisi, atau mengkhawatirkan saya. Tapi, dia takut menjadi viral kalau-kalau direkam netizen. Apalagi saat itu, dia menyadari knalpot motornya cukup menganggu pendengaran. Jadi, dia tidak ingin semakin menarik perhatian sorotan kamera, dengan membonceng saya tanpa helm.

Begitulah, dengan mudahnya akses menggunakan kamera dan upload media sosial. Maka kamera betul-betul mengintai hidup kita. Ia bisa merekam setiap kejadian. Baik pertengkaran dengan pacar di pinggir jalan, sebuah kecelakaan, bencana alam, maupun konflik-konflik yang sebetulnya menjadi privasi orang yang bersangkutan—tapi ndilalah, kok ya kebetulan ada yang ngerekam dan jadi viral.

Biasanya, setelah kejadian-kejadian semacam ini direkam atau difoto kemudian di-upload di media sosial dan ramai. Pasti adaaa saja yang berkomentar, “Kok cuma ngerekam tapi nggak nolongin?”

Seperti yang terjadi pada video yang sedang ramai, tentang seorang ibu-ibu yang mendorong paksa seorang anak berseragam SD turun untuk dari mobil. Ntah apa yang terjadi sebetulnya. Komentar mempertanyakan si kameramen yang, “cuma ngerekam tapi nggak nolongin” itu, juga muncul.

Padahal, apa salahnya yang ngerekam, sih? Tanpa video tersebut, kita-kita para netizen, kan jadi nggak tahu kalau ada kejadian yang sungguh tampak kejam seperti itu. Jika berita semacam ini nggak ada, kita jadi nggak tahu, kalau seorang perempuan—entah itu ibunya atau bukan—ternyata ada juga yang bisa sekasar itu dengan seorang anak kecil.

Bayangkan kalau nggak ada video itu, pasti berita di Lambe Turah, lagi-lagi masih bergulat soal Nikita Mirzani, Lucinta Luna, dan Syahrini. Nilai mendidiknya itu, di mana, loh!

Selain itu, coba kita pikirkan baik-baik. Memangnya gampang? Bisa mendapatkan momen kayak gitu? Saya aja—yang udah pegang gadget 12 tahun lamanya—belum pernah. Dan saya rasa, tidak semua orang dari njenengan sekalian punya pengalaman berhasil mengabadikan momen-momen semacam itu.

Kalau pun berkesempatan menemui momen yang jarang terjadi, kendala teknis bakal jadi tantangan selanjutnya. Mohon maaf, ya. Masalahnya, tidak semua handphone itu nggak nyendat-nyendat kalau digunakan. Layaknya handphone saya nih, biasanya kalau pengin memotret sesuatu cepet-cepet, malah jadi ngehang. Layarnya betul-betul nggak bisa dipencet apa-apa. Entah kenapa. Mungkin dia punya sisi psikologis yang nggak suka diburu-buru.

Oleh karenanya, alangkah lebih baik kalau kita semua menghargai mereka-mereka yang sudah merekam kejadian-kejadian tidak terduga semacam itu.

Mengenai alasan mereka tidak menolong, itu juga sangat bisa dipahami. Saya kira kita memang tidak terlalu suka terlibat dengan urusan orang lain. Ataupun sok ikut campur urusan orang lain. Bukannya nggak betul-betul nggak peduli, tapi takut salah langkah. Jadi, terkadang justru lebih suka memperhatikan dari jauh sambil direkam supaya tidak ketinggalan momennya.

Kalau memang nggak suka ikut campur, kenapa memperhatikan? Bukankah diri kita sebetulnya punya sisi yang menyukai drama? Lalu, bukankah kejadian tersebut menjadi sebuah drama in real life? Bukankah yang terjadi nyata di depan kita, itu justru lebih menarik?

Tidak perlu mengelak soal ini, kalau kita masih saja suka nontonin reality show, semacam Termehek-mehek, Katakan Putus, Rumah Uya, dan sebagainya. Yang kontennya seolah-olah betulan terjadi. Bikin kita ikut-ikutan simpati sama si klien, padahal mah, ya gitu.

Iklan

Tak hanya itu. Memilih merekam dan tidak mbantuin, sebetulnya bisa dipahami dengan teori sosial, bystander effect. Jadi, ketika kita melihat ada orang yang membutuhkan bantuan. Kita berpikir, bahwa orang lain juga melihatnya, dan pasti akan membantu. Yang jadi masalahnya, kalau ternyata semua orang berpikiran seperti itu. Lantas, tak seorang pun membantu.

Perilaku bystander effect ini bisa muncul karena dua hal. Bisa dikarenakan terlalu banyak orang di tempat itu sehingga memunculkan ketidakjelasan tanggung jawab: siapa yang seharusnya menolong? Selain ketidakjelasan tanggung jawab, hal ini juga bisa terjadi karena perilaku kita sering kali menyesuaikan dengan perilaku masyarakat. Atau, kita lebih nyaman kalau melakukan hal yang sama dengan orang lain. Jadi, ketika melihat tidak ada orang yang bergerak untuk menolong. Maka kita berpikir, memang tidak ada respon yang perlu dilakukan. Daripada nanti malah salah.

Nah, si netizen yang katanya cuma ngerekam tapi nggak nolongin ini, dia adalah si orang yang bingung dengan tanggung jawabnya. Tapi setidaknya, telah berusaha melakukan sesuatu dengan caranya. Fyi aja, kekuatan “cuma ngerekam” ini sifatnya jangka panjang, loh.

Tidak jarang, video-video semacam ini justru menjadi bukti atau pengusutan lebih lanjut tentang sebuah peristiwa. Lebih jauh lagi, video semacam ini juga bisa jadi bahan obrolan di tongkrongan. Lalu, memunculkan perasaan menjadi manusia yang bermanfaat, yang bisa memberikan pembelajaran bagi yang lain. Apalagi punya bukti otentik dari kejadian yang diceritakan tadi. Jelas, nggak sekadar omong doang~

Tidak cukup sampai di situ, adanya ‘wartawan’ di mana-mana yang siap merekam setiap gerak-gerik kita—apalagi kalau tampak nggak sesuai dengan etika. Bisa mengerem kalau-kalau kita mau khilaf. Betul sih, kita sudah dijaga malaikat di kanan-kiri kita dan mencatat setiap perilaku kita. Tapi mohon maaf, nih. Bagi saya, keberadaan si hakim-hakim online ini, ternyata lebih kuat remnya.

Terakhir diperbarui pada 28 Maret 2019 oleh

Tags: bystender effectcuma ngerekamhakim onlinenggak nolongin
Audian Laili

Audian Laili

Redaktur Terminal Mojok.

Artikel Terkait

No Content Available
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

UAD: Kampus Terbaik untuk “Mahasiswa Buangan” Seperti Saya MOJOK.CO

UNY Mengajarkan Kebebasan yang Gagal Saya Terjemahkan, sementara UAD Menyeret Saya Kembali ke Akal Sehat Menuju Kelulusan

16 Desember 2025
Drama sepasang pekerja kabupaten (menikah sesama karyawan Indomaret): jarang ketemu karena beda shift, tak sempat bikin momongan MOJOK.CO

Menikah dengan Sesama Karyawan Indomaret: Tak Seperti Berumah Tangga Gara-gara Beda Shift Kerja, Ketemunya di Jalan Bukan di Ranjang

17 Desember 2025
Lulusan IPB kerja sepabrik dengan teman-teman lulusan SMA, saat mahasiswa sombong kinin merasa terhina MOJOK.CO

Lulusan IPB Sombong bakal Sukses, Berujung Terhina karena Kerja di Pabrik bareng Teman SMA yang Tak Kuliah

17 Desember 2025
borobudur.MOJOK.CO

Borobudur Moon Hadirkan Indonesia Keroncong Festival 2025, Rayakan Serenade Nusantara di Candi Borobudur

15 Desember 2025
Pulau Bawean Begitu Indah, tapi Menjadi Anak Tiri Negeri Sendiri MOJOK.CO

Pengalaman Saya Tinggal Selama 6 Bulan di Pulau Bawean: Pulau Indah yang Warganya Terpaksa Mandiri karena Menjadi Anak Tiri Negeri Sendiri

15 Desember 2025
Ketakutan pada Ular yang Lebih Dulu Hadir daripada Pengetahuan

Ketakutan pada Ular yang Lebih Dulu Hadir daripada Pengetahuan

17 Desember 2025

Video Terbaru

SD Negeri 3 Imogiri Bantul: Belajar Bergerak dan Bertumbuh lewat Sepak Bola Putri

SD Negeri 3 Imogiri Bantul: Belajar Bergerak dan Bertumbuh lewat Sepak Bola Putri

18 Desember 2025
Ketakutan pada Ular yang Lebih Dulu Hadir daripada Pengetahuan

Ketakutan pada Ular yang Lebih Dulu Hadir daripada Pengetahuan

17 Desember 2025
Undang-Undang Tanjung Tanah dan Jejak Keadilan di Sumatera Kuno pada Abad Peralihan

Undang-Undang Tanjung Tanah dan Jejak Keadilan di Sumatera Kuno pada Abad Peralihan

14 Desember 2025

Konten Promosi



Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.