MOJOK.CO – Istilah putus baik-baik terdengar aneh. Bukankah putusnya sebuah hubungan menggambarkan keadaan yang tidak baik-baik? Kalau baik-baik, kenapa harus putus?
Lagu Pamit-nya Tulus menarik perhatian saya waktu lagi galau. Soalnya, lagu yang ceritanya tentang orang minta putus cinta ini berbunyi:
“Izinkan aku pergi dulu
Yang berubah hanya
Tak lagi kumilikmu
Kau masih bisa melihatku
Kau harus percaya
Kutetap teman baikmu”
See? Coba dilihat dua baris terakhir: “Kau harus percaya kutetap teman baikmu”. Pada titik ini, tokoh “aku” dalam lagu sedang menenangkan (calon mantan) pacarnya bahwa mereka bakal tetap berteman walau akan berpisah dan putus.
[!!!!1!!!1!!!!1!!!]
Sekarang, coba tunjuk jari—ada berapa banyak dari kita yang langsung berteman dengan mantan setelah putus??? Berapa???
Putus baik-baik digambarkan dengan kalimat-kalimat pembuka yang halus, misalnya menanyakan kabar, kesibukan, sampai cerita bertele-tele. Keadaan ini diikuti dengan kalimat-kalimat seperti “Ini bukan salahmu, ini salahku”, “Maafin aku”, “Kayaknya kita lebih baik jadi teman dulu aja” hingga kalimat penghiburan “Kita nggak tahu ke depan bakal kayak apa” dan “Kalau kita jodoh, pasti ketemu lagi”.
Seakan tak cukup dengan kalimat, beberapa dari kita pun tak tega melihat (calon mantan) pacar menangis, sampai akhirnya memutuskan untuk memeluknya erat-erat, menghapus air matanya, hingga membelai-belai rambut dan mengecup ubun-ubunnya. Pokoknya, tujuan utama dalam putus secara baik-baik adalah menghindari menyakiti perasaan seseorang, padahal sudah jelas kita tahu bahwa hatinya—atau hati kita—akan patah berkeping-keping.
[!!!!1!!!1!!!!1!!!]
Putus baik-baik, bagi saya, terdengar seperti oksimoron, yaitu dua kata berlawanan yang dipaksa berjejal menjadi satu. Bukankah putusnya sebuah hubungan menggambarkan keadaan yang tidak baik-baik saja? Lagi pula, kalau memang baik-baik, kenapa harus putus?
Putus cinta—apalagi bagi pihak yang diputusin atau bahkan dikhianati—adalah kejadian yang tidak menyenangkan dan berpotensi menyakiti hati. Setidaknya, seseorang di antara sepasang kekasih tentu akan merasa sakit dan nyeri pegal linu saat kata putus terucap. Nah, sudah efeknya bikin kepala dan hati nyut-nyutan, kenapa bisa-bisanya ada istilah putus baik-baik???
FYI aja nih, dear calon-calon jomblo, menurut penelitian yang digelar di Utah, kebanyakan orang ternyata lebih memilih ketegasan saat dihadapkan dengan berita buruk. Daripada kalimat bertele-tele semacam “Aku pengin ngomong sesuatu sama kamu, meski aku harus akui ini berat banget buat aku. Tapi aku rasa kita sudah cukup dewasa karena, yah, ini semua kan awalnya salah kita juga…” yang mengarah ke tahap review ulang segala permasalahan asmara, kalimat tegas dan tepat sasaran seperti “Kita perlu bicara” lebih banyak dipilih. Kalimat “Kita perlu bicara” diyakini dapat memberi kesempatan pada otak dan hati untuk mempersiapkan diri menghadapi berita buruk.
Dalam penelitian yang melibatkan 145 peserta ini, sebagian besar meyakini bahwa semakin buruk kabar putus cinta yang dibawa kekasih, semakin sedikit pula kata-kata yang mereka harapkan untuk dengar. Hasil ini dicapai setelah ke-145 peserta tadi diberi pilihan cara putus cinta: disampaikan bertele-tele atau tanpa basa-basi.
Sebagai analogi, tim peneliti menggambarkan kondisi saat rumah kita kebakaran—tentu kita ingin segera keluar tanpa ba-bi-bu. Dalam adegan putus cinta, semakin bertele-tele kalimat yang disampaikan—meski maksudnya agar menjadi putus baik-baik—hasilnya justru tidak baik-baik bagi “pelaku” dan “korban”. Apalagi, kalau putus cinta ini diikuti dengan upaya “penenang”, misalnya pelukan, pesan teks, hingga panggilan telepon yang dimulai dengan dalih menjaga hubungan dan menjadi teman baik—seperti lagunya Tulus.
Menjaga hubungan, Gundulmu! Lah wong pas masih ada hubungan aja nggak dijaga, kok sekarang sok-sokan mau menjaga hubungan??? Apa? Mau jadi teman baik? Setelah menghancurkan hati sampai krompyang-krompyang dan bernanah??? Uh, no way~
Mylov, kebaikan dari putus baik-baik yang selama ini dielu-elukan nyatanya memang tak sebaik itu. Malah, tak sedikit orang menganggap bahwa putus baik-baik justru meninggalkan perasaan yang mengganjal. Munculnya harapan akibat kalimat sok baik “Nanti kalau jodoh, kita pasti bertemu” juga tak berdampak positif-positif amat. Alih-alih move on dengan segera, mereka yang hatinya patah justru jadi menunggu hingga batas waktu tak terbatas; berharap mantan kekasihnya kembali untuknya, padahal bisa saja ia memang seorang bajingan yang tak perlu dinanti sama sekali.
Jadi, ya sudah. Pergilah sekarang kalau mau memutuskan pacarmu. Pastikan prosesnya cepat dan—ingat—kamu tidak perlu menambahkan sakit hati yang lain baginya.