MOJOK.CO – Seorang teman menyarankan untuk main aplikasi kencan online, seperti Tinder dan OkCupid. Katanya, sih, seru, tapi … kok gini?!
Aplikasi kencan online terpasang di hape seorang teman. Bukan cuma satu, tapi lebih dari tiga. Saya lupa apa saja namanya, tapi yang jelas ada Tinder dan OkCupid.
“Kamu main itu?”
Teman saya terkekeh dan balas berkata, “Kamu harus coba.”
Kalimatnya saya anggap sebagai candaan dan tak pernah masuk ke dalam pikiran serius. Selang berbulan-bulan kemudian, saya tidak tahu bahwa perkataan isengnya itu justru mendorong tangan saya menekan tombol install ketika semua pekerjaan sudah selesai dan saya sedang tidak punya keperluan apa pun.
Lalu, dimulailah: kisah main aplikasi kencan online untuk kali pertama bagi seseorang yang cemen .
*JENG JENG JENG*
Aplikasi yang pertama kali saya install bernama OkCupid, baru kemudian Tinder. Dari pengalaman kilat saya yang sama kilatnya dengan perasaan jatuh cinta yang berubah jadi sakit hati, setidaknya saya merasa ada hal-hal yang bodoh dan aneh dalam aplikasi-aplikasi kencan online, tapi harus tetap dihadapi para pemburu gebetan di balik hape masing-masing.
Pertama, berdasarkan aplikasi pertama yang saya install—OkCupid—saya menemukan bahwa ada semacam kuis mini yang harus diisi untuk membuat akun. Pertanyaannya cukup ribet dan nggak sedikit, walau nggak sebanyak kuis personality MBTI.
Kebanyakan, pertanyaan yang diberikan meliputi perihal asmara dan hubungan individu di dalamnya. Ada bulir yang berbunyi: apakah kamu keberatan punya pasangan yang memiliki utang? Apakah menurutmu cemburu dalam hubungan itu perlu? Apakah kamu suka diajak ngobrol soal politik?
Bagi orang-orang yang memang sedang berniat mencari pasangan, pertanyaan-pertanyaan di atas terasa sangat masuk akal. Tapi, hey, bagi orang-orang yang baruuuuu saja patah hati dan merasa kesepian teramat besar karena ditinggal pas lagi sayang-sayangnya, kuis mini ini justru membuka luka yang masih basah.
Ya gimana nggak? Niat hati ingin move on dan memperluas jaringan kenalan, malah langsung mentok di pertanyaan “Berapa lama kamu ingin hubungan asmaramu berikutnya berjalan—one night atau sepanjang sisa hidupmu?”. Apa alasannya?
Soalnya, pertanyaan tadi langsung mengingatkan kita (hah, kita???) pada janji setia dengan sang mantan waktu hubungan yang kini kandas itu masih berbunga-bunga dan penuh cinta. Bukankah itu sakit rasanya, Malih???
Belum lagi pertanyaan semacam: “Apakah menurutmu cemburu dalam hubungan itu perlu?” yang bakal mengingatkan kita (hah, kita lagi???) pada rasa cemburu-cemburu lucu yang muncul waktu dulu masih pacaran, yang lalu bakal reda dengan sebuah pelukan atau video call. Lagi-lagi—bukankah itu sakit rasanya, Malih???
Pada poin ini, saya rasa Tinder lebih manusiawi dengan tidak menyertakan pertanyaan-pertanyaan detail semacam itu. Atau malah, sebenarnya, orang-orang yang baru putus emang nggak sebaiknya buka-buka OkCupid dulu, lah, kalau sendirinya belum OK!
Kedua, prinsip utama dalam memilih kenalan baru di aplikasi kencan online adalah melakukan swipe right kalau kita suka, atau swipe left kalau sebaliknya. Hal ini terdengar sederhana, tapi nyatanya selalu saja ada orang yang…
…salah swipe!!!
Swipe right yang berarti swipe ke kanan, meski sudah jelas artinya, ternyata ada saja yang melakukannya dengan keliru: mereka malah swipe dari arah kanan, yang ujung-ujungnya berarti swipe ke kiri, alias swipe left. Sementara itu, swipe left pun dilakukan justru dari kiri ke kanan, yang malah berujung swipe right.
Akibatnya, orang-orang yang kita (hah, kita???) gebet pun hilang, sedangkan orang-orang yang kita harap untuk tidak jadi teman satu circle (ya monmaap nih sebelumnya) justru berpeluang mengirimi kita chat kalau mereka juga memberi kita like alias swipe right.
Apa? Hal ini terlalu bodoh untuk terjadi dan siapa pun yang salah swipe adalah orang-orang yang payahnya kebangetan???
Iya, sih, hal itu juga yang terlintas di kepala saya waktu menyadari bahwa kolom chat di aplikasi kencan online saya isinya cuma pesan dari om-om dan orang-orang berfoto telanjang dada plus pose-pose selfie mirror yang saya kira sudah saya tolak, tapi ternyata malah saya swipe right semua. Mamam~
Ketiga, pesan yang dikirim antar pengguna aplikasi kencan online kadang-kadang terasa sangat awkward dan nggak penting. Sebenarnya hal ini wajar-wajar saja karena, toh, nggak semua orang pandai membangun komunikasi, apalagi komunikasi lewat media tertulis. Namun, karena salah seorang teman pernah mengeluhkan pesannya tak kunjung dibalas oleh cewek yang ia temukan di Tinder, saya jadi sedikit banyak tergerak menuliskan ini.
Ada pesan-pesan yang masuk yang tidak saya balas. Selain karena kebodohan salah swipe, hal ini juga disebabkan oleh isi pesan yang… iyuh, apaan, sih???
Maksud saya, kita tuh harus membalas apa kalau dikirimin chat isinya cuma “Halo” atau “Hi….” atau “Salken”??? Sebagai bocoran, nih, ya: pesan pembuka yang cuma berisi satu kata begitu justru bakal membuatmu tampak malas mengobrol dan membosankan, Fernando~
Tapi, ini tidak berarti bahwa pesan yang terdiri lebih dari satu kata pasti pesan yang bakal dibalas, ya, Kakak-kakak sekalian. Yang penting, tolong, lah, kalau mau kirim pesan itu nggak perlu yang nyerempet-nyerempet, misalnya: “Aku lagi selonjoran, nih, di kasur. Kamu udah di kasur juga belum? Pakai baju apa?”
Duh, Mas, situ mau cari temen beneran atau temen khayalan?
Keempat, perasaan deg-degan yang muncul saat pertama kali pakai aplikasi kencan online umumnya dipengaruhi juga oleh satu hal penting: takut ketahuan teman dan perasaan gengsi yang muncul setelahnya.
Aplikasi Tinder, misalnya, menggunakan range lokasi sebagai cara penemuan pengguna. Ini jelas menguntungkan kalau kita (hah, kita???) nggak suka LDR: bisa mengatur sendiri jarak lokasi yang diinginkan. Tapi sialnya, ini juga berarti bahwa bakal mungkin-mungkin saja teman kita yang pakai Tinder melihat profil kita dan ngakak nggak ketulungan waktu tahu kita akhirnya memakai Tinder, padahal sebelumnya kita menolak ajakan ini mentah-mentah.
Perkara ini mengganggu pikiran saya berkali-kali. Meski sepele, rasanya tetap tidak aman dan insecure, persis kayak waktu lagi gelisah dan khawatir kala bertengkar dengan pasangan kekasih yang dulu. Daripada tidak baik untuk kesehatan mental, saya lantas meng-uninstall Tinder dan memilih hidup normal dan bahagia.
Mungkin, kadang-kadang, yang kita butuhkan cuma istirahat dan menyenangkan diri sendiri, bukannya kenalan-kenalan baru yang belum tentu bisa membantu proses penyembuhan luka.