MOJOK.COÂ – Saya bukan penggemar acara rumah uya, tapi saya ngerti yang nonton tayangan ini bukannya bodoh, tapi nggak punya pilihan lain karena televisi kita isinya itu-itu aja.
Tidak butuh waktu 24 jam untuk meramaikan akun Twitter @TRANS7 yang mengunggah cuplikan tayangan reality show Rumah Uya dengan hujatan dan kemarahan netizen. Tahan dulu kawan, karena pada dasarnya caci maki kalian setengahnya berujung sia-sia.
Tiba-tiba mantan Grace muncul seperti di film action! Tertangkapkah dia? #RumahUya pic.twitter.com/LO6mA1DLuj
— TRANS7 (@TRANS7) March 10, 2020
Iya, bahwa acara Rumah Uya itu settingan, seberapa pun Uya Kuya meyakinkan pemirsa bahwa ini semua unscripted, apa yang ditampilkan dalam frame sudah jelas kok. Saya pun merasa nggak perlu menegaskan ini lebih lanjut karena logika kalian sudah sedemikian canggih, kalian memang netizen cerdas. Tepuk tangan dulu.
Beberapa orang (terdiri dari milenial dan gen Z yang merasa melek akan hal ini) resah dan gelisah karena merasa nggak mampu menyelamatkan orang tua dari paparan settingan acara televisi, utamanya Rumah Uya. Mereka menyangka boomer dan penonton Rumah Uya berada pada sebuah tempurung cacat logika.
Kawan-kawan, saya perlu mengatakan bahwa meski dalam level terkecil pun, boomer dan penonton Rumah Uya pada umumnya sudah tahu itu settingan. Ha nek benar-benar menyangka semua yang di televisi itu asli tanpa rekayasa ya memang perlu diketok kepalanya tiga kali sambil mengucap assalamualaikum. Jika tidak ada jawaban maka di dalamnya kosong tak berpenghuni.
Setidaknya saya mengatakan ini berdasarkan pengalaman pribadi. Saya pernah bilang ke bapak saya yang suka FTV bahwa cerita cinta di tayangan itu totally bullshits, cinta nggak selamanya berakhir bahagia. Dan plot FTV selalu begitu sederhana: bertemu seseorang, jatuh cinta, berkonflik, tapi akhirnya bahagia bersama.
Jawaban bapak saya bikin saya sadar kadang saya jadi generasi muda yang sok pinter. Katanya, “Iya saya tahu ini ceritanya emang mustahil tapi senang aja nontonnya.”
Bapak saya itu sudah mencicipi asam garam cinta sementara saya belum. Beliau jelas tahu perihal FTV, apalagi soal sinetron azab. Jangankan itu, beliau benar-benar sadar kisah Cinderella itu dongeng yang tak perlu diimplementasikan dalam hidup. Sebab ‘pangeran’ mana yang mau menikahi gadis miskin dalam dunia nyata? Hampir tidak ada.
Argumen saya dikuatkan dengan salah satu balasan netizen di kolom komentar akun Twitter @TRANS7 perihal acara Rumah Uya.
Emak ku udah dikasih tau kalo ini tuh settingan boongan tapi kata emakku iya tau gapapa buat hiburan ?
— s.p (@speachace) March 11, 2020
Saya yakin sih kalau ada orang yang benar-benar masih percaya tayangan Rumah Uya, dia pasti mempertimbangkan minimal dalam hati, “eh, ini settingan nggak ya.” Jika mereka sudah berpikir begitu pada dasarnya logikanya sedang jalan. Cogito ergo sum-lah.
Apa? Ada yang tanya soal Master Chef settingan atau nggak? Haduh, udah dewasa ya, kalian udah tahu jawabannya kok.
Sadarilah bahwa tayangan reality show settingan memang selalu menarik. Tapi yang kebohongannya terlalu maksa memang kita nggak suka. Karena kita selalu punya alternatif hiburan lain. Bayangkan, anak-anak milenial dan gen Z itu suka The Soleh Solihun Interview yang cuma direkam pakai ponsel selama berjam-jam tanpa cut.
Pemilik stasiun televisi dengan peralatan dan kru lengkap menangis menyaksikannya.
Milenial dan gen Z tampak sudah capek dengan berbagai tetek bengek framing tayangan yang ndakik-ndakik tapi kopong nggak berisi. Kita, kalian, dan mereka yang milenial dan gen Z menghargai sebuah esensi dibanding hal-hal yang peres.
Namun di tengah kenyataan nan pahit ini, kita nggak bisa menyalahkan penonton Rumah Uya begitu, apalagi para kru dan talent di dalamnya yang memang punya motif buat cari duit. Penonton Rumah Uya sebenarnya nggak punya pilihan lain selain menonton apa yang disajikan televisi.
Mereka bukanlah generasi medsos yang punya akses setiap waktu untuk buka YouTube, kayak kalian. Mereka terpaksa melahap apa yang disajikan televisi sebagai sebuah tayangan. Tidak ada tayangan lain, sehingga mereka mencintai kebohongan. Berterima dengan penuh bahwa sesuatu yang mereka konsumsi ibarat junk food di resto-resto cepat saji dan pilihannya memang itu-itu aja sih. Lha nggak ada pilihan lain. Semua ini bagai dosa sistemik. Akses tv kabel? You bet.
Maka alih-alih menyalahkan penonton Rumah Uya dan klaim para talent-nya yang ramashook, mendingan kita mulai memikirkan bagaimana menciptakan alternatif hiburan buat boomer dan generasi yang nggak terjamah literasi media.
BACA JUGA Tipikal Joke ‘Ada yang Menonjol Tapi Bukan Bakat’ Nggak Lucu, Bos! atau artikel AJENG RIZKA lainnya.