Cita-cita untuk bertemu Agus Mulyadi, penulis muda berbakat idola banyak kaum wanita itu, kesampaian juga pada suatu siang. Saya dan dia bertemu di Warung Mas Kali, Yogyakarta, tanpa sengaja. Dan dia ternyata persis seperti yang saya bayangkan, dan sesuai dengan yang selalu digambarkan oleh yang bersangkutan di blognya: kurus, kecil dan (memang) mrongos.
“Saya Agus, Cak,” katanya tersenyum, sembari menyalami saya.
Sebetulnya saya hendak berdiri dan ingin memeluknya. Tapi karena di Warung Mas Kali siang itu banyak laki-laki (dan jomblo), saya urungkan keinginan itu. Belum tentu juga Agus mau saya peluk. Saya hanya tersenyum dan balas menyahut sapaannya, dan dia juga terus berusaha tersenyum kendati tampak minder di tengah mayoritas laki-laki yang terlihat percaya diri.
Siang itu, Agus datang ke Warung Mas Kali hanya dengan bersandal jepit. Warnanya kuning. Dia memanggul ransel warna hitam, mengenakan kaus hitam, topi safari putih ala turis Jepang, dan celana cokelat yang terlihat sudah menipis di bagian selangkangannya. “Saya ndak suka celana jins, Cak,” katanya.
Gara-gara cara berpakaiannya itu, bapaknya pernah menyarankan Agus untuk membeli celana jins dan mengenakan sepatu agar bisa tampil seperti teman-temannya. Kata Bapaknya biar terlihat setil. Tapi Agus tak menuruti saran bapaknya. Dia menganggap penampilannya sudah progresif, atau setidaknya sudah berbeda dengan penampilan bapaknya yang selalu memasukkan baju ke celana.
“Penampilan Bapak Orde Baru banget. Dia bahkan mengenakan arloji mati sekadar untuk mantes-mantesin,” kata Agus.
Lalu saya menyampaikan ke Agus bahwa saya adalah salah seorang pembaca setia tulisannya, dan memang, saya hampir selalu membaca tulisan Agus. Entah yang ada di blognya atau di mojok ini. Agus membalas hanya dengan mesam-mesem, dan melihat senyumnya itu, saya hanya memaki dalam hati: jancuk koen, Gus.
Kami lalu terlibat dalam obrolan ”utara- selatan” alias aneka topik. Mulai soal memperpanjang penis, tentang perempuan, sampai tentang Goenawan Mohamad alias GM. Agus tahu Goenawan Mohamad atau GM itu. Setidaknya dia pernah datang ke Salihara, Jakarta, tempat berkesenian yang didirikan oleh GM; dan di sana, dia bertemu dengan GM.
Saat itu musim kampanye capres, dan Agus mengenakan kaus bertuliskan “Merokok gak apa-apa yang penting hafal Pancasila.” Di atas tulisan itu ada simbol burung Garuda berwarna merah, dan simbol itu yang ditanyakan oleh GM.
“Kamu pendukung Prabowo ya?”
“Mboten Pak. Saya sudah memakai simbol Garuda merah ini jauh sebelum Prabowo pakai.”
Agus kemudian bercerita, GM yang dia bayangkan dengan semua khayalannya sebagai orang terkenal, ternyata orang yang biasa-biasa saja di Salihara. Salah satu buktinya, kata Agus, banyak orang hanya duduk dan diam ketika GM lewat. Tidak ada yang mengangguk-angguk atau menyapanya.
“Padahal dia itu tokoh, lho.”
“Ya sudah namamu diganti saja?”
“Diganti gimana tho, Cak?”
“Jadi Agus Mohamad.”
“Oh jangan. Agus Mulyadi itu sudah terkenal kok.”
“Kamu kan pengagum GM?”
“Oh ndak, Cak. Saya malah minder dengan orang-orang seperti itu.”
“Kenapa?”
“Soalnya dia pinter. Saya sulit memahami bahasanya.”
“Lah terus?”
“Saya lebih suka Umar Kayam. Bahasanya, bahasa orang kampung kayak saya.”
“Kalau namamu ganti Agus Kayam, gimana?”
“Wah ya ndak Cak. Agus Mulyadi sudah nama bagus. ‘Agus’ itu maksudnya Agustus, ‘Mulya’ itu mulia, dan ‘Di’ itu abadi. Jadi Agus Mulyadi itu, Agus yang mulia dan abadi.”
Dari semua topik obrolan siang itu, Agus terlihat lebih bersemangat dengan perbincangan soal teknik memperpanjang penis. Saya memang berbagi cerita tentang teknik memperpanjang penis secara mandiri yang bisa dilakukan sebelum mandi pagi. Tanpa obat dan tapa efek samping. Dan di luar dugaan saya: Agus menyimak dengan sepenuh wajahnya.
“Serius, Cak, cara sampeyan itu bisa manjangin anu?”
Mimiknya serius dan belum bisa saya gambarkan lewat tulisan. Tapi saya tidak bertanya balik, mengapa dia serius bertanya tentang itu. Saya juga tak bisa menduga-duga, apakah penis Agus berukuran pendek, atau tidak pendek dan tidak panjang.
Hanya saja, sebelum topik tentang penis itu, kepada saya dan beberapa kawan yang lain seperti Arlian Buana, Arman Dhani, dan Dimas Wicaksono; Agus membuat sebuah pengakuan: sedang diuber-uber seorang perempuan.
“Jadi orang terkenal memang begitu ya?
“Begitu gimana?”
“Ya itu, bisa diuber-uber perempuan.”
“Wih, jadi sudah ada yang nguber-nguber nih?”
“Hehehe… iya, Cak.”
“Beneran?”
“Bener, Cak.”
“Siapa?”
“Wah, itu rahasia eh, Cak…”
Kami tertawa. Dari beberapa tulisannya terbaca, Agus punya pengalaman buruk dalam urusan naksir perempuan. Dan dia mengaku memang punya pengalaman pahit: cintanya pernah ditolak seorang perempuan. Dia teman sekelas Agus ketika mereka masih duduk di bangku SMA. Tempat duduknya dan perempuan pujaannya bersebelahan.
“Kata orang witing tresna jalaran saka kulina. Tapi saya yang tresna, dia hanya kulina.”
“Namanya siapa?”
“Sebut saja namanya Bunga, Cak.”
Sejak cintanya ditolak si Bunga, Agus jadi sakit-sakitan. Dia lantas juga tak berani menyatakan cinta pada perempuan kecuali membangga-banggakan diri sebagai jomblo lewat sejumlah tulisan. Muncul kemudian kalimat-kalimat “Jomblo tidak apa-apa, yang penting hafal Pancasila” atau “Lebih baik jomblo daripada punya pacar ganteng, ” atau kurang-lebih semacam itu.
Tapi bukan berarti Agus tidak percaya diri untuk memberi kiat tentang jatuh cinta. Laki-laki yang ditolak cintanya lalu pergi ke dukun agar bertindak, kata Agus, itu laki-laki yang bermain dengan risiko. Urusannya bisa sampai akhirat. Menurut dia, ditolak oleh perempuan adalah hal yang biasa-biasa saja. Tak perlu ditakuti. Apalagi dianggap kiamat.
“Siapa yang berani jatuh cinta, ya harus berani cintanya jatuh.”
Di Warung Mas Kali itu, di tengah persiapan keberangkatan rombongan Wisata Kretek, beberapa kawan lantas menawarkan rokok pada Agus.
“Gus, ngerokok Gus….”
“Mboten, Mas, kulo mboten ngrokok.”
Agus memang tidak merokok. Tapi dia tidak lebay sok anti-rokok. Apalagi sampai sok-sokan ikut kampanye anti-tembakau, anti-perokok dan sebagainya. Alasan Agus tidak merokok sederhana: tidak bisa menyedot. Itu alasan jujur terutama bila dilihat dari kemrongosannya. Tapi alasan dia yang lebih orisinil, karena “Saya lebih suka disedot, Cak.”
***
Di suatu siang yang lain, saya dan Agus berkesempatan mengunjungi areal pembibitan aneka tanaman. Pemandunya seorang perempuan. Insinyur pertanian. Ketika memasuki tempat penyimpanan biji-biji tanaman yang hendak dibibitkan, pemandu kami menerangkan nama-nama dan jenis-jenis biji yang ada di sana. Biji trembesi, biji kepoh, biji tunggal, biji belah dan sebagainya. Lalu Agus menyahut, “Saya juga punya biji belah, Mbak. Tapi akarnya, akar serabut.”
Sebelum menulis ini, saya dan Agus mendapat kabar telah terjadi kudeta di Korea Utara. Konon, pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un ditahan oleh tentara. Saya lantas meminta pendapat Agus tentang Kim dan kabar kudeta itu.
“Waduh, Cak, saya ndak tahu soal Kim Jong Un. Saya tahunya kimcil.”
“Apa itu kimcil?”
“Wah keterlaluan, pria separuh baya kayak Sampeyan ndak tahu kimcil?”
“Sumpah aku ndak ngerti.”
“Kimcil itu kimpetan cilik, Cak.”
Saya tertawa, dan entah kenapa, saya tiba-tiba teringat Iqbal Aji Daryono.