Dalam perjalanan pulang dari Semarang ke Jogja beberapa waktu yang lalu, saya lagi-lagi naik bis. Sudah beberapa kali saya harus bepergian Jogja-Magelang-Semarang karena memang sering mengisi kelas penulisan di Semarang. Terakhir, saya diundang komunitas blogger Gandjel Rel untuk mengisi materi penulisan di acara ulang tahun mereka.
Panitia sudah menyediakan travel untuk saya, namun saya lebih memilih bis.
Bagi saya, untuk perjalanan kota Joglo Semar (Jogja Solo Semarang), bis memang menjadi pilihan utama, sebab entah kenapa, setiap kali saya naik bis, selalu ada pengalaman menyenangkan yang layak untuk diceritakan, utamanya kalau di kursi deretan belakang.
Perjalanan dari Semarang-Magelang menggunakan “Maju Lancar” kemarin, misalnya.
Bis yang saya tumpangi sudah sampai terminal Magelang setelah menempuh perjalanan yang cukup lama sebab macet dan hujan. Pemberhentian saya masih sekitar dua kilo lagi dari terminal.
“Maju Lancar” berhenti untuk ngetem cukup lama di terminal. Saking lamanya, beberapa penumpang saya dengar sampai ngedumel. Sudah lebih dari setengah jam.
Saya yang tujuan pemberhentiannya hanya tinggal dua kilo lagi tentu saja juga ikut ngedumel.
“Namanya thok yang Maju Lancar, tapi ngetemnya lama setengah modar,” batin saya agak jengkel.
Di tengah-tengah perasaan jengkel saya, dari pintu samping dekat dengan kursi saya, mendadak muncul seorang bapak-bapak memboncengkan seorang perempuan. Belakangan baru saya tahu kalau si perempuan adalah anaknya. Keduanya sama-sama memakai mantol, sebab cuaca memang masih hujan.
Si bapak sengaja menghentikan motor tepat di samping pintu belakang bis agar anak perempuannya bisa langsung mencopot mantol dan langsung naik ke bis tanpa perlu kehujanan.
“Naik saja dulu, nanti dilepas di pintu,” kata si Bapak.
Si anak perempuan menuruti apa kata bapaknya. Ia naik ke pintu bis, kemudian mulai mencopot helm dan mantolnya. Setelah itu, ia sodorkan kepada ayahnya yang masih menunggu di bawah.
“Ya wis, sana, hati-hati, ya…” pesan si Bapak pada anak perempuannya.
“Iya, Pak…”
Si perempuan kemudian duduk persis di depan saya. Wajahnya tampak lelah. Jilbabnya basah sebagian.
Saya menengok ke luar, si bapak masih menunggu walaupun anaknya sudah naik ke bis. Saya yakin, si bapak sengaja menunggu sampai bis yang ditumpangi anak kesayangannya benar-benar berangkat.
Seperempat jam berlalu, dan bis masih belum juga berangkat.
Si anak kemudian menengok ke luar dan terperanjat karena ternyata bapaknya masih menunggu. Ia kemudian meletakkan tasnya di kursi kemudian berjalan ke arah pintu belakang.
“Pak..!!!” teriaknya. “Bapak pulang saja dulu, nggak usah nunggu aku…”
Si Bapak menjawab iya, tapi ia bergeming. Ia tetap menunggu. Si anak menyerah. Ia kemudian kembali ke tempat duduknya.
Tak berselang lama, bis kemudian benar-benar berangkat setelah penuh dengan penumpang.
Saya berdiri dan melihat ke kaca belakang. Si bapak masih di tempatnya. Melihat bis yang semakin menjauh membawa anak kesayangannya.
Bis melaju pelan. Setelah sepuluh menit, saya kemudian turun karena sudah sampai tujuan.
Esok paginya, saya harus kembali ke Jogja. Bis kembali menjadi pilihan saya.
Perjalanan Magelang-Jogja sepi sejak saya naik. Para penumpang baru mulai berdatangan setelah sampai Muntilan.
Sampai di daerah Tempel, dua pengamen naik. Satu pegang kencrung, satu lagi pegang kendang. Mereka memainkan dua-tiga nomor yang cukup menyenangkan untuk didengarkan.
Setelah mengumpulkan uang, mereka kemudian duduk di belakang dekat saya sambil ngobrol dengan sang kernet.
“Jo, Kowe ndak yo nduwe kepinginan meh ganti bojo?” kata kernet pada salah satu pengamen.
“Wa yo ora, nduwe bojo siji we le nggolek direwangi mobat-mabit…” jawab si pengamen.
Saya tersenyum. Cinta dan kesetiaan mudah ditemukan di mana-mana. Termasuk di kursi belakang.