Saya sampai di terminal Jombor sekitar pukul 3 sore. Saya hendak bertolak ke Ambarawa karena malam harinya saya harus mengisi acara pembekalan untuk para admin akun-akun Ansor Jawa Tengah di Ambarawa.
Perjalanan Jogja-Ambawara saya perkirakan akan memakan waktu tiga jam, maklum, malam minggu, pasti akan sedikit macet.
“Magelang, Mas?” teriak seorang kernet pada saya.
“Terminal Bawen, Mas!” jawab saya.
“Naik sini, Mas,” balasnya sembari menunjuk bis yang sedang ngetem di belakangnya.
Saya pun segera naik dan duduk di kursi belakang. Sejak lama, saya memang suka duduk di kursi belakang, sebab entah kenapa, tiap kali saya duduk di kursi belakang, saya selalu mendapatkan banyak cerita menarik, utamanya dari obrolan para penumpang dan kernet yang bertugas di pintu belakang.
Bis (maaf, saya lebih suka menuliskannya sebagai bis, bukan bus) yang saya naiki sempat ngetem sekitar lima belas menit sebelum akhirnya berangkat.
Di sebelah saya, duduk seorang anak muda bersarung dengan kaos sederhana. Ia sibuk bermain game di ponsel jadul yang ia pegangi. Dari prejengannya, saya menduga, ia seorang santri.
Dan benar saja, ketika saya tanya, ia memang mengaku sebagai seorang santri.
“Saya mondok di An-Nur, Ngrukem, Mas,” katanya sambil memasukkan ponselnya ke saku bajunya.
“Nanti turun mana?”
“Secang.”
Kami kemudian ngobrol panjang lebar seputar dunia pesantren. Saya bercerita tentang pengalaman saya selama sebulan terakhir ini sowan ke beberapa kiai pengasuh pesantren di Jogja dan sekitarnya dalam program Sowan Kiai yang digagas oleh Mojok bekerjasama dengan Gusdurian.
Sedangkan dirinya (saya kok ya ndilalah lupa bertanya siapa namanya) bercerita tentang pengalamannya masuk pesantren.
“Saya ini dulu penginnya mondok di Jawa Timur, ya nJombang, lah, katanya, “Tapi kata bapak, saya disuruh untuk mondok di Jogja saja, yang deket. Di Jogja sini, saya milih Ngrukem sama Pandanaran, dan saya keterimanya ternyata di Ngrukem.”
Seperminuman kopi, kondektur bis mulai merangsek ke belakang menarik iuran ongkos bis. Saya serahkan uang 30 ribu kepadanya.
“Terminal Bawen, Pak,” kata saya.
Ia kemudian memberikan uang kembalian lima belas ribu. Saya tentu saja kaget. Kok murah betul, Jogja-Ambarawa cuma lima belas ribu.
“Ini bisnya nggak sampai Bawen, turun di Magelang, nanti di terminal oper,” ujar Kondektur.
Bajigur. Tadi saat di kernet bilang naik itu saya pikir langsung sampai Ambarawa, ternyata nggak. Haish, ra mashooook.
Satu jam berlalu. Bis akhirnya sampai terminal Magelang. Saya turun. Santri sebelah saya juga turun.
“Saya duluan, Mas,” katanya.
“Yak, ati-ati.”
Saya kemudian langsung naik bis yang sudah menunggu tak jauh dari tempat bis saya yang sebelumnya berhenti.
Di bis yang baru ini, saya naik bersama seorang ibu setengah baya.
“Turun mana, Bu?” Tanya saya berbasa-basi.
“Banyumanik, Mas. La njenengan?”
“Saya Bawen.”
Dasar sial, bis yang baru ini ternyata ngetem lama sekali. Dan sial kuadrat, sebab sampai setengah jam berlalu, belum juga ada penumpang lain yang naik. Sopir kemudian menyuruh kami untuk oper bis lagi.
“Pindah bis sebelah nggih, Bu, Mas. Ini bisnya nggak berani berangkat, soalnya penumpangnya cuma dua.”
Saya dan si ibu menurut. Kami pindah ke bis yang baru.
Tapi dasar apes. Di bis yang baru ini ternyata nasibnya tak berbeda dengan bis sebelumnya. Penumpangnya ya cuma saya dan si ibu tadi. Bis belum juga berangkat setelah setengah jam ngetem sebab memang belum ada penumpang lain yang naik.
Setelah cukup lama menunggu, akhirnya naik satu penumpang lagi. Ah lumayan, nambah satu, semoga habis ini berangkat, batin saya.
Tapi bajangkrek setan alas. Sopir bis yang kami naiki kali ini ternyata juga tak berani berangkat karena penumpangnya cuma tiga. Dan bisa ditebak, kami bertiga akhirnya dioper naik bis yang lain.
Di bis yang baru ini, penumpangnya ada empat. Selain tiga penumpang yang barusan, ada tambahan satu penumpang lagi yang sudah sedari tadi menunggu di bis yang baru ini.
Praktis, saya menunggu di terminal lebih dari satu jam hanya untuk dioper sana oper sini.
“Wis, remuk, penumpange resik,” keluh supir bis.
“Sakniki susah nggih, Mas, cari penumpang,” kata Ibu yang sedari tadi bersama saya.
“Nggih, Bu. Lha Juragannya tahunya cuma terima setoran, lha kita yang nrayek ini bingung setengah mati, soalnya penumpangnya nggak ada. Dari rumah sudah semangat kerja, sampai terminal cuma tenguk-tenguk begini.”
Jam sudah menunjukkan pukul enam sore. Azan maghrib Sudah berkumandang. Wajah saya pucat. Maklum, acara saya jadwalnya pukul delapan malam setelah selesai salat tarawih, sedangkan bis yang saya naiki belum juga berangkat, dan bahkan ada kemungkinan tidak akan berangkat dan kami para penumpang akan dioper lagi entah ke bis yang mana lagi.
Kesabaran saya habis. Saya kemudian mengambil keputusan yang nekat. Saya turun dari bis. Berjalan ke depan terminal, lalu mendatangi salah satu tukang ojek yang sedang mangkal.
“Mas, tolong antarkan saya ke Bawen. Ini saya terburu-buru, kalau harus nunggu bis jalan, keburu sahur,” kata saya.
Si tukang ojek tampak sumringah. Mungkin karena mendapat trayek jarak jauh yang tarifnya tentu saja lumayan.
“Seratus tujuh lima ya, Mas?” katanya. “Jauh soalnya.”
“Seratus dua puluh, deh.”
“Wah, wis, biar sama-sama enak. Seratus lima puluh, gimana?”
“Oke, setuju.”
Saya kemudian langsung membonceng tukang ojek yang menakhodai motor Jupiter Z lama yang pijakan kakinya bergetar hebat tiap kali melaju pada gigi satu sehingga bikin kaki saya seperti kesemutan. Sudah begitu, helm-nya kendor dan tidak bisa diklik. Itu masih ditambah dengan rasa gigil saya karena harus menahan dingin sepanjang perjalanan sebab saya tak pakai jaket.
Ya Tuhan, perjalanan kok begini amat, sih ya.