Tadi pagi, sepulang dari sarapan soto Pak Samsul, dalam perjalanan pulang naik motor, saya dan Kalis melewati jalan persawahan kampung Clumprit.
Saya memacu motor dengan kecepatan yang pelan. Maklum, semakin pelan, semakin bagus, sebab semakin banyak waktu yang bisa saya habiskan bersama kekasih.
Rasanya tak ada yang lebih menyenangkan ketimbang berboncengan dengan kekasih sendiri sambil mengamati hamparan sawah yang membentang hijau kekuningan yang penuh dengan padi yang mulai siap dipanen. Sebuah gaya pacaran yang bukan hanya romantis tapi juga agraris.
Sampai di sebuah tikungan, di depan saya, ada seseorang yang berjalan pelan. Rambutnya gembel, pakaiannya compang-camping, gaya berjalannya gontai. Tak butuh waktu lama bagi saya dan Kalis untuk mengidentifikasinya sebagai orang gila.
Saya berusaha untuk bersikap biasa saja. Motor saya pacu pelan. Kami bersikap santai. Saya bahkan berencana akan memelankan motor saat melaju di sebelah si orang gila. Niat saya sih memang ingin mengerjai Kalis yang tampaknya sangat takut pada orang gila.
Namun, hal itu kemudian saya urungkan, sebab terjadi insiden yang sangat mengejutkan kami berdua.
Lelaki gila itu mendadak mengambil batu dan lantas melemparkan batunya ke arah kami. Saya yang ada di depan tentu saja langsung panik. Kalis yang mbonceng saya apalagi.
“Asuuuu, wong edan’e mbalang watu!” kata saya
“Eh, hoo, Mas…”
Si orang gila melemparkan batunya dengan sangat keras. Jarak kami hanya dua meter. Saya Sudah hampir pasrah, jarak kami yang sangat dekat membuat saya yakin bahwa saya pasti akan terkena lemparan batunya.
Puji Tuhan, Alhamdulillah, gangguan yang ia derita bukan saja otaknya, tapi juga kecakapan dan kemampuan melemparnya.
Lemparan batunya meleset dan hanya mengenai angin kosong.
Begitu saya yakin lemparannya meleset dan tidak mengenai saya atau Kalis, saya yang tadinya memacu motor dengan pelan langsung putar gas dengan maksimal. Berusaha menjauh dari lelaki edan itu secepat mungkin.
Setelah jauh, Kalis tertawa. “Kuwi mau motivasine deknen mbalang watu ki opo yo, Mas?”
Saya hanya diam, sebab saya belum bisa menenangkan diri saya, jantung saya masih berdetak dengan sangat keras karena insiden barusan yang hampir saja mencelakai saya dan Kalis. Entah gangguan apa yang menyerang Kalis kok sampai dia bisa bersikap bisa, bahkan tertawa setelah hampir dicelakai oleh si orang gila.
Niat hati ingin mengagetkan Kalis dan membuatnya panik, ternyata justru saya sendiri yang jauh lebih panik dan kaget.
Di hadapan orang gila, hidup memang kerap tak seindah rencana.