Kongres XXXI Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), di Gedung Islamic Center Surabaya pada Selasa, 23 Maret 2021 malam lalu berakhir ricuh. Tak sedikit kader HMI peserta kongres yang kemudian berubah beringas dan kelewat atraktif dengan membanting kursi dan memecahkan pintu kaca gedung.
Dari berbagai pemberitaan yang ada, kericuhan tersebut disebabkan oleh adanya sekelompok peserta yang merasa diacuhkan dan usulnya tidak diperhatikan.
Imbas dari kerusuhan tersebut, Kepolisian Daerah Jawa Timur pun menahan 6 peserta kongres.
Kerusuhan yang terjadi dalam kongres HMI kemarin tentu sedikit banyak mengingatkan kita pada kisruh kongres-kongres partai politik.
Kongres ke-V Partai Amanat Nasional (PAN) yang digelar di Hotel Claro, Kendari, Sulawesi Tenggara, pada Februari 2020 lalu, misalnya. Kongres tersebut berubah menjadi arena perkelahian massal.
Kericuhan pecah. Para kader PAN yang sedang ikut kongres banyak yang saling lempar kursi saat sesi Rapat Pleno I yang tengah membahas agenda tentang tata tertib. Hal yang tentu saja menarik dan unik, sebab membahas tentang tata tertib dengan cara yang sangat tidak tertib.
Atau yang paling baru, Kongres Luar Biasa Partai Demokrat di Deli Serdang, Sumatera Utara, pada Jumat, 5 Maret 2021 lalu yang diwarnai bentrok antara massa pendukung Moeldoko dan pro AHY.
Dengan melihat kecenderungan yang ada, bentrok atau ricuh tampaknya menjadi agenda yang semakin lekat dengan kongres partai. Ia menjadi semacam acara hiburan agar kongres menjadi lebih menarik dan variatif. Kalau nggak ricuh, kongres menjadi kurang heroik. Kayak ada yang kurang.
Hal tersebut tentu saja dilatarbelakangi oleh konstelasi politik yang memang semakin lama semakin keras.
Kondisi tersebut sudah seharusnya menjadi perhatian tersendiri. Politik kini bukan lagi menjadi ajang pemikiran, namun juga ajang kontak fisik. Full body contact. Ide, gagasan, visi, dan aneka hal-hal abstrak lainnya harus disempurnakan dengan kecakapan berkelahi, atau minimal, kecakapan melempar kursi agar tepat sasaran.
Dalam lingkungan partai, gagasan tidak cukup hanya diperjuangkan melalui debat beradu argumentasi dan retorika, lebih dari itu, juga harus diperjuangkan dengan luka fisik. Karena itulah, keberadaan kisruh, saling tonjok, saling hantam, saling lempar kursi, menjadi instrumen yang sangat penting.
Nah, kisruh yang terjadi dalam kongres HMI kemarin sudah selayaknya diapresiasi.
Kita semua tentu paham, bahwa HMI, dan juga organisasi-organisasi pergerakan mahasiswa lainnya memang tak bisa dimungkiri merupakan ruang persinggahan dan pembibitan bagi banyak mahasiswa sebelum masuk ke dalam arena politik yang lebih nyata.
Dengan adanya kisruh, saling lempar kursi, dan hal-hal brutal lainnya, para mahasiswa diharapkan bisa lebih siap dan tidak kaget seandainya mereka masuk ke dalam partai politik dan kemudian harus merasakan sensasi tawur yang sesungguhnya.
Politik adalah dunia yang keras dan membutuhkan mental yang kuat lagi kokoh.
Tak sampai di situ, politik adalah identitas bangsa, di mana di dalamnya, terdapat banyak instrumen yang harus dijaga, salah satunya tentu adalah kearifan lokal. Dan kita semua tahu, sebagai negara pendekar, Indonesia punya identitas kelokalan dalam bentuk seni bela diri. Para politisi harus dengan sekiat tenaga menjaga warisan ini.
Agar bisa terus hidup, seni harus dipraktikkan. Nah, dalam posisi itulah tawur, ricuh, kisruh, dan sejenisnya mampu menjadi manifestasi penting kearifan lokal tersebut.
Sudah saatnya bagi kita untuk memaknai kisruh dalam kaca mata yang berbeda. Ia bukan lagi bersifat negatif, melainkan justru positif. Kisruh adalah medan pertarungan nyata untuk membuktikan mental seseorang.
Politisi, atau calon politisi harus bermental kuat, dan karena itulah ia perlu merasakan bagaimana rasanya kisruh dan tawur.
Apa yang terjadi pada kongres HMI kemarin adalah sebentuk usaha selemah-lemahnya iman untuk menguatkan peran mental itu. Para kader HMI yang terlibat dalam kisruh kemarin seakan ingin memberikan pesan nyata, bahwa sudah saatnya ilmu kanuragan dimasukkan dalam kurikulum pendidikan politik yang baru.
Ini merupakan langkah yang ideal. Jika hal tersebut bisa dilakukan, maka kelak, untuk masuk dalam sebuah partai politik, calon kader bukan hanya harus paham pengetahuan dasar tentang politik praktis, namun juga harus lolos tes mengambil kartu tanda anggota yang ditempel di batu nisan salah satu makam di kompleks kuburan wingit persis tengah malam.
Ini tentu bagus, sebab dengan begitu, politik bukan lagi dipandang sekadar perkara elektoral, namun juga perkara spiritual.