MOJOK.CO – Sampah DKI memicu perdebatan antara Pemprov DKI dengan Pemkot Bekasi. Apalah isu lingkungan hanya akan sebatas pemanis saja di media?
Siapa suka membuang sampah sembarangan? Kamu? Ya jelas, siapa lagi. Kamu sering menemui kalimat “Yang buang sampah di sini nanti mati”? Kalimat itu biasanya ada persis di pinggir jalan, “melindungi” sebuah area yang diharapkan bebas sampah. Namun apa yang terjadi? Yak betul. Tetap saja sampah plastik tergelatak manja di bawah kalimat sangar itu.
Membuang sampah sembarangan masih menjadi kebiasaan orang Indonesia. Nyampah, nggak di dunia nyata, nggak di dunia maya. Sungguh hebat manusia memproduksi sampah. Lama kelamaan, ketika menumpuk, sampah bukan lagi masalah rumah tanggamu sendiri. Ketika menggunung, sampah menjadi masalah negara, bahkan dunia.
Contohnya ya sampah DKI yang membuat hubungan Pemprov DKI dan Pemkot Bekasi sedikit memanas. Keduanya sedang bersitegang soal duit kompensasi dan dana hibah terkait pengolahan sampah. Pemprov DKI dan Pemkot Bekasi sama-sama punya hak dan tanggung jawab terkait Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Kota Bekasi.
Dana kompensasi adalah bentuk tanggung jawab yang diterima masyarakat dan pemerintah Kota Bekasi yang terkena dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan penanganan sampah di tempat pemrosesan akhir. Keterangan ini disebut dalam Pasal 14 B.
Nah, dana kompensasi sampah DKI itu sendiri digunakan untuk penanggulangan kerusakan lingkungan, pemulihan lingkungan, biaya kesehatan dan pengobatan, serta kompensasi dalam bentuk lain berupa bantuan langsung tunai.
Masalahnya, Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi mengungkapkan bahwa Pemprov DKI memang sudah membayar dana kompensasi. Namun, yang dimaksud oleh Rahmat Effendi adalah dana kompensasi yang dibayar pada tahun 2018 berasa dari APBD DKI 2017. Dana kompensasi sudah dibayar, namun dana hibahnya belum.
Rahmat Effendi pun mengingatkan Anies Baswedan, Gubernur DKI untuk segera membayar dana hibah tersebut. Ancamannya pun tidak main-main. Jika satu minggu sampah DKI tidak dibawa ke Bantargebang, tumpukan sampah akan mencapai berat kubik ton. Jakarta, sebagai ibu kota negara akan dikepung oleh sampah.
Bisa dibayangkan, jalanan Jakarta yang begitu padat, ditambah tumpukan sampah yang tidak tertangani, apalagi diolah. Apalagi ketika menjelang musim penghujan di mana tumpukan sampah DKI, got yang mampat, drainase yang buruk, dan hujan lebat dalam waktu yang lama adalah combo pemicu kekesalan paling dahsyat di Jakarta.
Awalnya adalah kekesalan. Akhirnya bisa berujung kekacauan. Manusia memang bisa beradaptasi dengan lingkungan yang tidak menyenangkan. Tetapi, masing-masing manusia juga punya level toleransi yang berbeda satu sama lain terkait kondisi yang membuat kesal. Sampah DKI yang tidak tertangani akan menjadi masalah baru di tahun yang panas ini.
Tahun yang panas, tentu saja yang saya maksud adalah tahun politik. Situasi ini membuat jumlah pemberitaan terkait Pilpres 2019 meluber. Hampir semua media akan bersuka ria ketika ada salah satu calon bertingkah konyol atau membuat kebijakan yang dianggap tidak pro-rakyat. Bad news is a good news dan tema politik adalah kesayangan hampir semua media.
Tetapi kalian harus sadar, bahkan waspada. Di balik pemberitaan media soal politik yang membanjir itu, masalah lingkungan seperti ditepikan. Misalnya, berapa lama sih durasi pemberitaan terkait pencegahan tanah longsor atau rumah tahan gempa? Ya di sekitar “bencana” saja. Selepas itu, kembali soal Jokowi atau Prabowo lagi. Bahkan berita-berita soal isu lingkungan dipaksa masuk ke ranah politik.
Mau contoh yang lain? Misalnya seberapa lama sebuah pemberitaan tanah longsor di Jawa Barat, terkait bahaya dan pencegahan? Ya hanya di sekitar kejadian longsor saja, atau ketika masuk musim penghujan. Banyak media lalu ndakik–ndakik membahas hasil penelitian disertai infografis yang memukau mata.
Contoh lagi kamu bilang? Seberapa lama sih pemberitaan soal Jakarta menjadi kota yang paling cepat tenggelam di dunia? Kabar ini kembali naik satu hari yang lalu ketika masalah sampah DKI mulai ramai. Media-media lantas membuat berita dengan kata kunci “Jakarta” atau “sampah DKI” untuk mencari klik. Ya sama seperti Mojok ini.
Ini baru soal sampah DKI, belum soal usaha eksploitasi pegunungan karst di Kendeng, dampak lumpur Lapindo yang pemberitaannya tak lagi laku, eksploitasi Freeport di Papua, penebangan hutan, hingga pemanasan global.
Politik selalu ramai. Namun, yang membunuh bahkan memunahkan manusia kelak adalah isu lingkungan yang tak pernah dibahas, diperdebatkan, dan diulas secara rutin. Kita akan kenyang oleh politik untuk sesaat, tetapi sekarat oleh isu lingkungan di masa depan.
Apakah hanya sebuah utopia ketika membayangkan pemberitaan soal isu lingkungan berjalan beriringan dengan isu politik? Saya rasa, keduanya patut mendapatkan “porsi perdebatan” yang sama.